LPSK banyak terima laporan korban 65
A
A
A
Sindonews.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 714 permohonan kasus pelanggaran HAM, terhitung sejak awal Januari 2013 ini. Pengaduan itu datang dari berbagai wilayah, tak terkecuali dari Jawa Tengah.
Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi, dan Humas LPSK Hotma David Nixon mengatakan, pengaduan yang diterima dari Jawa Tengah, terdiri dari aneka kasus.
“Paling banyak itu kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat, terkait peristiwa 65. Dari daerah Pati dan sekitarnya. Mereka mengadu kerabatnya atau suaminya yang di penjara tanpa proses hukum, diculik. Jadi yang datang mengadu itu sudah tua–tua usianya,” ujarnya, di Semarang, Rabu (25/9/2013).
Selain kasus pelanggaran HAM berat itu, pengaduan juga masuk untuk kasus korupsi di Jawa Tengah. Namun, jumlahnya tidak sebanyak kasus pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan data LPSK diketahui jumlah permohonan yang diterima terus meningkat dari tahun ke tahun. Tepatnya sejak tahun 2008, di mana LPSK pertama kali dibentuk. Pada periode 2008–2009 terhitung ada 84 permohonan, pada 2010 ada 154 permohonan, pada 2011 ada 340 permohonan, dan pada 2012 ada 655 permohonan.
“Jumlah yang terus meningkat itu membuktikan meningkatnya kepercayaan dan harapan publik pada LPSK. Kalau untuk kasus korupsi, hampir semua lembaga negara terindikasi korupsi,” lanjutnya.
Selama berdiri itu juga, LPSK memberikan bantuan medis dan psikologis terhadap 400 korban pelanggaran HAM berat.
Penanggung Jawab Bidang Pengawasan, Penelitian dan Pengembangan dan Pelaporan LPSK, R.M. Shindu Krishno mengatakan, pihaknya memberikan perlindungan baik saksi maupun korban tidak mempunyai batas waktu.
“Perlindungan itu biasanya kami lakukan sampai relokasi, berikut anggota keluarganya. Semuanya rahasia. Tapi untuk perlindungan hingga merubah identitas, sejauh ini belum bisa dilakukan,” tambahnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan, fenomena penegakan hukum di Indonesia mengindikasikan hal yang tidak menguntungkan bagi mereka yang membantu mengungkap terjadinya penyimpangan atau penyelewengan suatu lembaga pemerintahan ataupun lembaga penegak hukum.
“Ada beberapa kasus yang seperti itu. Mulai dari kasus cek pelawat terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI pada 2004, terkait kasus kolusi di Mahkamah Agung sekira Oktober 2001 atau kasus makelar pajak yang disampaikan Komjen SD,” paparnya.
Nyoman berpendapat, sesuai Pasal 10 Undang–undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan perlindungan kepada saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana ataupun perdata. Hal itu atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau yang telah diberikan.
“Tapi bila itu saksi yang juga tersangka, maka tidak membebaskan dari tuntutan hukum, hanya peringanan dalam pemidanaan. Itu sepanjang keterangannya diberikan dengan itikad baik,” tegasnya.
Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi, dan Humas LPSK Hotma David Nixon mengatakan, pengaduan yang diterima dari Jawa Tengah, terdiri dari aneka kasus.
“Paling banyak itu kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat, terkait peristiwa 65. Dari daerah Pati dan sekitarnya. Mereka mengadu kerabatnya atau suaminya yang di penjara tanpa proses hukum, diculik. Jadi yang datang mengadu itu sudah tua–tua usianya,” ujarnya, di Semarang, Rabu (25/9/2013).
Selain kasus pelanggaran HAM berat itu, pengaduan juga masuk untuk kasus korupsi di Jawa Tengah. Namun, jumlahnya tidak sebanyak kasus pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan data LPSK diketahui jumlah permohonan yang diterima terus meningkat dari tahun ke tahun. Tepatnya sejak tahun 2008, di mana LPSK pertama kali dibentuk. Pada periode 2008–2009 terhitung ada 84 permohonan, pada 2010 ada 154 permohonan, pada 2011 ada 340 permohonan, dan pada 2012 ada 655 permohonan.
“Jumlah yang terus meningkat itu membuktikan meningkatnya kepercayaan dan harapan publik pada LPSK. Kalau untuk kasus korupsi, hampir semua lembaga negara terindikasi korupsi,” lanjutnya.
Selama berdiri itu juga, LPSK memberikan bantuan medis dan psikologis terhadap 400 korban pelanggaran HAM berat.
Penanggung Jawab Bidang Pengawasan, Penelitian dan Pengembangan dan Pelaporan LPSK, R.M. Shindu Krishno mengatakan, pihaknya memberikan perlindungan baik saksi maupun korban tidak mempunyai batas waktu.
“Perlindungan itu biasanya kami lakukan sampai relokasi, berikut anggota keluarganya. Semuanya rahasia. Tapi untuk perlindungan hingga merubah identitas, sejauh ini belum bisa dilakukan,” tambahnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan, fenomena penegakan hukum di Indonesia mengindikasikan hal yang tidak menguntungkan bagi mereka yang membantu mengungkap terjadinya penyimpangan atau penyelewengan suatu lembaga pemerintahan ataupun lembaga penegak hukum.
“Ada beberapa kasus yang seperti itu. Mulai dari kasus cek pelawat terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI pada 2004, terkait kasus kolusi di Mahkamah Agung sekira Oktober 2001 atau kasus makelar pajak yang disampaikan Komjen SD,” paparnya.
Nyoman berpendapat, sesuai Pasal 10 Undang–undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan perlindungan kepada saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana ataupun perdata. Hal itu atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau yang telah diberikan.
“Tapi bila itu saksi yang juga tersangka, maka tidak membebaskan dari tuntutan hukum, hanya peringanan dalam pemidanaan. Itu sepanjang keterangannya diberikan dengan itikad baik,” tegasnya.
(san)