Negosiasi pembebasan lahan tambang PT JMI deadlock
A
A
A
Sindonews.com - Negosiasi pembebasan lahan antara PT Jogja Magasa Iron (JMI) dengan warga Desa Karangwuni, Wates, Kulonprogo berakhir buntu.
PT JMI menilai menawaran harga tanah Rp170 ribu permeter persegi yang disampaikan warga terlalu tinggi. Angka itu di atas kesanggupan perusahaan.
Sumardi, negosiastor dari 200-an warga Dusun I-IV Karangwuni mengatakan, perusahaan pemegang kontrak karya tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan warga. Perusahaan menginginkan harga Rp50 ribu untuk setiap meter persegi lahan, sedangkan warga menawaarkan Rp170 ribu.
“Pembahasan harga tanah berakhir deadlock. Warga sepakat pada harga Rp175 ribu per meter, tapi JMI hanya Rp50 ribu. Saya masih memprediksi warga bisa turun tapi angka berapa tidak bisa kami jawab. Itu tergantung masyarakat karena kami hanya penyampai aspirasi,” kata Sumardi, Minggu (28/7/2013).
Dia mengatakan, meski berakhir buntu, namun proses negosiasi masih akan terus dilanjutkan. Rencananya, negosiasi lanjutan dilakukan Selasa (30/7) mendatang.
Dia menjelaskan, warga sendiri menyampaikan 13 tuntutan dalam negosiasi tersebut. Namun JMI tidak menyanggupi tuntutan pemberian kompensasi sebesar Rp1.750 per meter per bulan bagi sekitar 550 KK dari wilayah Dusun I-V, Karangwuni. Tuntutan ini sebagai kompensasi selama masa transisi. Terlebih, pembangunan konstruksi diperkirakan butuh waktu 3-5 tahun.
“Kompensasi yang diajukan selama masa transisi tidak disepakati. Perusahaan tidak bisa memberikan nominal tapi akan memberi dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat. Dalam point ini masyarakat bisa menerima,” jelasnya.
Tuntutan lain yang disampaikan warga adalah jaminan menjadi karyawanPT JMI, jaminan kesehatan dan pendidikan gratis, pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan UMKM oleh perusahaan disertai pendampingan. Setelah seluruh tuntutan disepakati tertuang dalam MoU, warga meminta setiap petani penggarap memegang dokumen MoU sebagai tanda bukti kehilangan laha.
Dokumen yang akan diberikan kepada para petani penggarap juga harus disahkan oleh semua pihak secara hukum. Di samping itu, warga juga menuntut agar pengembalian lahan diprioritaskan kepada petani penggarap semula. Walaupun dalam teknisnya akan ditata Pura Pakualaman.
PT JMI menilai menawaran harga tanah Rp170 ribu permeter persegi yang disampaikan warga terlalu tinggi. Angka itu di atas kesanggupan perusahaan.
Sumardi, negosiastor dari 200-an warga Dusun I-IV Karangwuni mengatakan, perusahaan pemegang kontrak karya tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan warga. Perusahaan menginginkan harga Rp50 ribu untuk setiap meter persegi lahan, sedangkan warga menawaarkan Rp170 ribu.
“Pembahasan harga tanah berakhir deadlock. Warga sepakat pada harga Rp175 ribu per meter, tapi JMI hanya Rp50 ribu. Saya masih memprediksi warga bisa turun tapi angka berapa tidak bisa kami jawab. Itu tergantung masyarakat karena kami hanya penyampai aspirasi,” kata Sumardi, Minggu (28/7/2013).
Dia mengatakan, meski berakhir buntu, namun proses negosiasi masih akan terus dilanjutkan. Rencananya, negosiasi lanjutan dilakukan Selasa (30/7) mendatang.
Dia menjelaskan, warga sendiri menyampaikan 13 tuntutan dalam negosiasi tersebut. Namun JMI tidak menyanggupi tuntutan pemberian kompensasi sebesar Rp1.750 per meter per bulan bagi sekitar 550 KK dari wilayah Dusun I-V, Karangwuni. Tuntutan ini sebagai kompensasi selama masa transisi. Terlebih, pembangunan konstruksi diperkirakan butuh waktu 3-5 tahun.
“Kompensasi yang diajukan selama masa transisi tidak disepakati. Perusahaan tidak bisa memberikan nominal tapi akan memberi dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat. Dalam point ini masyarakat bisa menerima,” jelasnya.
Tuntutan lain yang disampaikan warga adalah jaminan menjadi karyawanPT JMI, jaminan kesehatan dan pendidikan gratis, pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan UMKM oleh perusahaan disertai pendampingan. Setelah seluruh tuntutan disepakati tertuang dalam MoU, warga meminta setiap petani penggarap memegang dokumen MoU sebagai tanda bukti kehilangan laha.
Dokumen yang akan diberikan kepada para petani penggarap juga harus disahkan oleh semua pihak secara hukum. Di samping itu, warga juga menuntut agar pengembalian lahan diprioritaskan kepada petani penggarap semula. Walaupun dalam teknisnya akan ditata Pura Pakualaman.
(rsa)