Menyusut drastis, hutan Riau terancam punah
A
A
A
Sindonews.com - Kondisi hutan di Provinsi Riau terancam punah. Pasalnya, kawasan hutan di Riau sudah mengalami penyusutan drastis menjadi lahan perkebunan.
Berdasarkan data WWF, di tahun 2010 saja lebih dari 2,7 juta hektare hutan nasional telah disulap menjadi lahan perkebunan. Jumlah itu, baru hanya meliputi perkebunan kelapa sawit, belum termasuk perkebunan jenis lainnya.
Pada tahun 2005-2006, setiap dua menit, hutan seluas 1,08 hektar terbuka di Riau, musnah. Dalam satu jam, ribuan pohon tumbang di atas areal 32,4 hektar. Dan dalam satu hari, seluas 777 hektar lahan hutan gundul. Artinya dalam kurun satu tahun, sekira 286.142 hektar lahan hutan Riau 'hilang'. Saat itu, deforestasi tersebut adalah terbesar di dunia.
Dalam tempo 25 tahun sejak tahun 1982-2007, Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta hektar hutan alamnya. Tutupan hutan menyusut, dari 78 persen pada tahun 1982, menjadi 27 persen pada tahun 2007, atau lebih dari setengahnya.
Menurut Dewan Pengurus Sawit World, Berry Nahdian Furqon, hal itu disebabkan ketidaktegasan status hutan nasional yang masih di ranah abu-abu, antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan tapal batas dan perundang-undangan yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik.
Pemerintah daerah dalam hal ini disebutnya sering mengatasnamakan otonomi daerah untuk memberikan izin pengelolaan hutan dan perkebunan sembarangan terhadap para investor.
"Ketidakjelasan status hutan akan menimbulkan kebijakan yang salah, ditambah sanksi hukum yang lemah, tata ruang yang tidak teratur, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya akan dipastikan terus terjadi. Karena tipikal korporasi adalah lapar lahan, mereka akan terus ekspansi melakukan perluasan lahan untuk mendapatkan keuntungan banyak," jelas Berry kepada Sindonews, Jumat (28/6/2013).
Dikatakannya, bukan tidak mungkin jika lahan hutan nasional di wilayah itu akan punah jika pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) terus menghalalkan praktik pembalakan hutan.
"Kebangkitan industri kelapa sawit membuat pengawasan hukum sangat lemah. Ini juga yang melatarbelakangi para Bupati, Gubernur, menggunakan tameng otonomi daerah," tegas mantan Direktur Eksekutif Walhi ini.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus bersikap cepat agar momok kekhawatiran hutan di Riau dapat segera ditanggulangi.
"Caranya dengan reformasi agraria, baik untuk warga, perkebunan, dan hutan lewat penataan lahan kawasan hutan, supaya jelas," lanjutnya.
Pemerintah juga disebutnya harus tegas melakukan sanksi hukum terkait perizinan serta kasus kebakaran hutan terhadap para perusahaan yang nakal. Karena, dari tahun ke tahun tidak ada efek jera yang tegas dari pemerintah terhadap para perusahaan yang nakal.
"Soal kebakaran, hak pengelolaan kan punya perusahaan, artinya perusahaan tersebut harus bertanggung jawab. Sanksinya harus tegas, pencabutan izin dan memenjarakan orang yang bertanggung jawab di perusahaan bersangkutan. Jangan hanya membayar denda, tak akan memberikan efek jera kepada mereka, mereka bisa bayar itu. Selain itu, blacklist perusahaan yang nakal, sehingga mereka akan takut jika melakukan kesalahan."
"Karena, membakar hutan itu sangat murah biayanya, ketimbang mereka harus melakukan pembukaan lahan dengan cara yang dianjurkan (normal), mahal biayanya," tutupnya.
Berdasarkan data WWF, di tahun 2010 saja lebih dari 2,7 juta hektare hutan nasional telah disulap menjadi lahan perkebunan. Jumlah itu, baru hanya meliputi perkebunan kelapa sawit, belum termasuk perkebunan jenis lainnya.
Pada tahun 2005-2006, setiap dua menit, hutan seluas 1,08 hektar terbuka di Riau, musnah. Dalam satu jam, ribuan pohon tumbang di atas areal 32,4 hektar. Dan dalam satu hari, seluas 777 hektar lahan hutan gundul. Artinya dalam kurun satu tahun, sekira 286.142 hektar lahan hutan Riau 'hilang'. Saat itu, deforestasi tersebut adalah terbesar di dunia.
Dalam tempo 25 tahun sejak tahun 1982-2007, Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta hektar hutan alamnya. Tutupan hutan menyusut, dari 78 persen pada tahun 1982, menjadi 27 persen pada tahun 2007, atau lebih dari setengahnya.
Menurut Dewan Pengurus Sawit World, Berry Nahdian Furqon, hal itu disebabkan ketidaktegasan status hutan nasional yang masih di ranah abu-abu, antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan tapal batas dan perundang-undangan yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik.
Pemerintah daerah dalam hal ini disebutnya sering mengatasnamakan otonomi daerah untuk memberikan izin pengelolaan hutan dan perkebunan sembarangan terhadap para investor.
"Ketidakjelasan status hutan akan menimbulkan kebijakan yang salah, ditambah sanksi hukum yang lemah, tata ruang yang tidak teratur, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya akan dipastikan terus terjadi. Karena tipikal korporasi adalah lapar lahan, mereka akan terus ekspansi melakukan perluasan lahan untuk mendapatkan keuntungan banyak," jelas Berry kepada Sindonews, Jumat (28/6/2013).
Dikatakannya, bukan tidak mungkin jika lahan hutan nasional di wilayah itu akan punah jika pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) terus menghalalkan praktik pembalakan hutan.
"Kebangkitan industri kelapa sawit membuat pengawasan hukum sangat lemah. Ini juga yang melatarbelakangi para Bupati, Gubernur, menggunakan tameng otonomi daerah," tegas mantan Direktur Eksekutif Walhi ini.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus bersikap cepat agar momok kekhawatiran hutan di Riau dapat segera ditanggulangi.
"Caranya dengan reformasi agraria, baik untuk warga, perkebunan, dan hutan lewat penataan lahan kawasan hutan, supaya jelas," lanjutnya.
Pemerintah juga disebutnya harus tegas melakukan sanksi hukum terkait perizinan serta kasus kebakaran hutan terhadap para perusahaan yang nakal. Karena, dari tahun ke tahun tidak ada efek jera yang tegas dari pemerintah terhadap para perusahaan yang nakal.
"Soal kebakaran, hak pengelolaan kan punya perusahaan, artinya perusahaan tersebut harus bertanggung jawab. Sanksinya harus tegas, pencabutan izin dan memenjarakan orang yang bertanggung jawab di perusahaan bersangkutan. Jangan hanya membayar denda, tak akan memberikan efek jera kepada mereka, mereka bisa bayar itu. Selain itu, blacklist perusahaan yang nakal, sehingga mereka akan takut jika melakukan kesalahan."
"Karena, membakar hutan itu sangat murah biayanya, ketimbang mereka harus melakukan pembukaan lahan dengan cara yang dianjurkan (normal), mahal biayanya," tutupnya.
(rsa)