Warga Simpang Tolang tolak eksekusi lahan
A
A
A
Sindonews.com - Warga Simpang Tolang, Sipirok menolak rencana Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan mengeksekusi lahan tempat mereka tinggal. Hari ini, mereka mendatangi DPRD Tapanuli Selatan dan Kantor Bupati untuk menyampaikan pernyataan sikap.
Warga yang menamakan diri sebagai Forum Komunikasi Korban SK MENHUT NO. 244/MENHUT-II/2011 Desa Simpang Tolang dan Janji Maulai, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan setidaknya akan menyampaikan 10 poin pernyataan sikap.
Pertama, menolak rencana eksekusi, karena warga merupakan pemilik lahan/tanah yang sah seluas + 50 hektar berdasarkan surat-surat tanah yang ditandatangani dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di bidang pertanahan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kedua, warga menguasai, memelihara dan mengelola serta memanfaatkan lahan tersebut sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun lamanya jauh sebelum diterbitkannya Surat Keputusan Nomor SK.244/Menhut-II/2011 tertanggal 29 April 2011 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Sipirok Untuk Pembangunan Pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan dan Sarana Prasarana lainnya atas nama Bupati Tapanuli Selatan, yang terletak di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara seluas 271,10 hektar.
Ketiga, tanah yang mereka miliki bukan termasuk kawasan hutan sebagaimana diklaim oleh Pemda Tapanuli Selatan. Tanah-tanah itu merupakan hutan produktif yang dikelola untuk mempertahankan hidup.
Empat, tanah warga sudah dikuasai, digarap dan dijadikan sebagai lahan perkebunan dan pertanian secara turun temurun sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Tanah-tanah dimaksud diperoleh dengan berbagai cara peralihan hak yaitu melalui Akta Jual beli, Hibah dan sebagian lainnya diperoleh karena warisan dari para leluhur dan atau tanah ulayat yang lahir dengan sendirinya jauh sebelum Negara Republik Indonesia didirikan dan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Lima, warga juga rakyat yang bermartabat dan memiliki hak untuk hidup dengan cara memanfaatkan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33, dan oleh karenanya seharusnya Negara Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan harus memberikan kesejahteraan bukan sebaliknya merampas tanah-tanah dengan alasan untuk kepentingan umum.
Enam, warga membutuhkan tanah untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Tujuh, berdasarkan bukti dari Badan Pertanahan Nasional Padangsidimpuan menerangkan lokasi tanah warga yang termasuk dalam ruang lingkup SK 244 tersebut adalah tanah Hak Milik Adat sehingga secara jelas bahwa tanah-tanah milik kami tidaklah merupakan bagian dari kawasan hutan. Sehingga sangatlah beralasan jika SK Menhut a quo disebut sebagai keputusan yang keliru, dan oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan tidaklah berwenang untuk mengambil alih tanah-tanah milik kami dengan alasan untuk pembangunan sarana pemerintah.
Delapan, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 secara jelas dan tegas telah merevisi/menghapus hak/wewenang UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan untuk mengatur sesuatu lahan menjadi kawasan hutan hanya dengan penunjukan, maka oleh karena itu secara mutatis mutandis seluruh kawasan hutan yang masih sekedar berstatus penunjukan, tidak mengikat dan tidak berkekuatan hukum.
Sembilan, seharusnya Bupati Tapanuli Selatan mempertimbangkan isi Putusan MK dengan nomor perkara 35/puu-x/2012 yang telah memberikan perlindungan hukum untuk kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hak tenurialnya (memelihara, memegang, dan memiliki).
Sepuluh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), maka warga mendesak agar Bupati Tapanuli Selatan tidak melakukan kesewenang-wenangan untuk mengeksekusi dan atau membersihkan lahan yang ada di areal SK 244 sepanjang tanah-tanah dimaksud termasuk dan menyangkut lahan tanah milik warga.
Selain itu, warga juga meminta kepada pemerintah dalam hal ini KOMNAS HAM untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga sebagai warga negara.
"Karena kami juga berhak untuk mempertahankan hidup dengan cara memiliki dan mengelola sebagian kecil tanah-tanah yang ada di Negara Republik Indonesia ini. Kami mendukung pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dalam program pembangunan namun di sisi lain janganlah proses pembangunan itu sendiri membuat kami sengsara dan menderita, karena Pembangunan Nasional sejatinya tidaklah menindas dan menyengsarakan rakyat atau mengakibatkan kemiskinan bagi masyarakat sebagai pemilik bangsa,” ujar warga dalam rilisnya, Selasa (28/5/2013)
Warga yang menamakan diri sebagai Forum Komunikasi Korban SK MENHUT NO. 244/MENHUT-II/2011 Desa Simpang Tolang dan Janji Maulai, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan setidaknya akan menyampaikan 10 poin pernyataan sikap.
Pertama, menolak rencana eksekusi, karena warga merupakan pemilik lahan/tanah yang sah seluas + 50 hektar berdasarkan surat-surat tanah yang ditandatangani dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di bidang pertanahan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kedua, warga menguasai, memelihara dan mengelola serta memanfaatkan lahan tersebut sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun lamanya jauh sebelum diterbitkannya Surat Keputusan Nomor SK.244/Menhut-II/2011 tertanggal 29 April 2011 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Sipirok Untuk Pembangunan Pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan dan Sarana Prasarana lainnya atas nama Bupati Tapanuli Selatan, yang terletak di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara seluas 271,10 hektar.
Ketiga, tanah yang mereka miliki bukan termasuk kawasan hutan sebagaimana diklaim oleh Pemda Tapanuli Selatan. Tanah-tanah itu merupakan hutan produktif yang dikelola untuk mempertahankan hidup.
Empat, tanah warga sudah dikuasai, digarap dan dijadikan sebagai lahan perkebunan dan pertanian secara turun temurun sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Tanah-tanah dimaksud diperoleh dengan berbagai cara peralihan hak yaitu melalui Akta Jual beli, Hibah dan sebagian lainnya diperoleh karena warisan dari para leluhur dan atau tanah ulayat yang lahir dengan sendirinya jauh sebelum Negara Republik Indonesia didirikan dan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Lima, warga juga rakyat yang bermartabat dan memiliki hak untuk hidup dengan cara memanfaatkan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33, dan oleh karenanya seharusnya Negara Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan harus memberikan kesejahteraan bukan sebaliknya merampas tanah-tanah dengan alasan untuk kepentingan umum.
Enam, warga membutuhkan tanah untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Tujuh, berdasarkan bukti dari Badan Pertanahan Nasional Padangsidimpuan menerangkan lokasi tanah warga yang termasuk dalam ruang lingkup SK 244 tersebut adalah tanah Hak Milik Adat sehingga secara jelas bahwa tanah-tanah milik kami tidaklah merupakan bagian dari kawasan hutan. Sehingga sangatlah beralasan jika SK Menhut a quo disebut sebagai keputusan yang keliru, dan oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan tidaklah berwenang untuk mengambil alih tanah-tanah milik kami dengan alasan untuk pembangunan sarana pemerintah.
Delapan, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 secara jelas dan tegas telah merevisi/menghapus hak/wewenang UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan untuk mengatur sesuatu lahan menjadi kawasan hutan hanya dengan penunjukan, maka oleh karena itu secara mutatis mutandis seluruh kawasan hutan yang masih sekedar berstatus penunjukan, tidak mengikat dan tidak berkekuatan hukum.
Sembilan, seharusnya Bupati Tapanuli Selatan mempertimbangkan isi Putusan MK dengan nomor perkara 35/puu-x/2012 yang telah memberikan perlindungan hukum untuk kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hak tenurialnya (memelihara, memegang, dan memiliki).
Sepuluh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), maka warga mendesak agar Bupati Tapanuli Selatan tidak melakukan kesewenang-wenangan untuk mengeksekusi dan atau membersihkan lahan yang ada di areal SK 244 sepanjang tanah-tanah dimaksud termasuk dan menyangkut lahan tanah milik warga.
Selain itu, warga juga meminta kepada pemerintah dalam hal ini KOMNAS HAM untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga sebagai warga negara.
"Karena kami juga berhak untuk mempertahankan hidup dengan cara memiliki dan mengelola sebagian kecil tanah-tanah yang ada di Negara Republik Indonesia ini. Kami mendukung pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dalam program pembangunan namun di sisi lain janganlah proses pembangunan itu sendiri membuat kami sengsara dan menderita, karena Pembangunan Nasional sejatinya tidaklah menindas dan menyengsarakan rakyat atau mengakibatkan kemiskinan bagi masyarakat sebagai pemilik bangsa,” ujar warga dalam rilisnya, Selasa (28/5/2013)
(lns)