Akhirnya, blokade jalan Trans Papua Barat dibuka
A
A
A
Sindonews.com – Warga lima distrik, Mubrani, Kebar, Senopi, Amberbaken, Masni, akhirnya sepakat untuk membuka blokade jalan Trans Papua Barat. Kesepakatan ini dilakukan usai berdialog dengan 4 perwakilan Majelis Rakyat Papua provinsi Papua Barat (MRP-PB), di Balai Desa Arfu, dekat lokasi pemalangan.
Tokoh masyarakat setempat, Simson Arani mengatakan, aksi yang dilakukan semata-mata untuk menolak hasil rapat paripurna DPR-RI terkait pengesahan RUU perubahan atas UU No. 56 Tahun 2008. Apapun alasannya, mereka tetap menolak digabung ke Kabupaten Tambrauw.
“Jangan bikin Undang-Undang baru, kami warga lima distrik tidak mau digabung ke Kabupaten Tambrauw. Sebab, kami akan semakin menderita, apalagi tidak ada jalan ke Fef, ibukota Tambrauw. Kenapa kami mau dibawa ke hutan,” jelasnya di lokasi, Senin (29/4/2013).
Menurutnya, langkah Pemda Manokwari yang telah mendaftarkan calon pemekaran Manokwari Barat ke Kemendagri dan Komisi II DPR-RI, merupakan solusi tepat untuk menjawab persoalan ini.
Ia bersama warga lima distrik menolak tegas upaya Bupati Tambrauw di Jakarta, untuk mencaplok wilayah mereka ke Tambrauw, termasuk memaksakan kehendak pelaksanaan Pemilihan Umum Caleg dan Presiden lewat KPU Tambrauw.
Ketua tim MRP-PB, Mesianus Wanay berjanji akan meneruskan aspirasi tersebut dan memefasilitasi warga untuk bertemu dengan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi.
“Aspek sejarah, antropologi dan geografis, akan menjadi pertimbangan kami sebagai lembaga kultur orang Papua. Saya akan laporkan ini ke pimpinan MRP-PB,” ujar Wanay.
Usai menyampaikan aspirasi, warga membuka blokade jalan, disaksikan tim MRP-PB.
Sejak Selasa 24 April 2013 lalu, masyarakat adat di 5 Distrik Kabupaten Manokwari, meliputi Mubrani, Kebar, Senopi, Amberbaken dan Distrik Sidey, memblokade jalan Trans Papua Barat yang menghubungkan Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong.
Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap hasil Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 April 2013, yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
Tokoh masyarakat setempat, Simson Arani mengatakan, aksi yang dilakukan semata-mata untuk menolak hasil rapat paripurna DPR-RI terkait pengesahan RUU perubahan atas UU No. 56 Tahun 2008. Apapun alasannya, mereka tetap menolak digabung ke Kabupaten Tambrauw.
“Jangan bikin Undang-Undang baru, kami warga lima distrik tidak mau digabung ke Kabupaten Tambrauw. Sebab, kami akan semakin menderita, apalagi tidak ada jalan ke Fef, ibukota Tambrauw. Kenapa kami mau dibawa ke hutan,” jelasnya di lokasi, Senin (29/4/2013).
Menurutnya, langkah Pemda Manokwari yang telah mendaftarkan calon pemekaran Manokwari Barat ke Kemendagri dan Komisi II DPR-RI, merupakan solusi tepat untuk menjawab persoalan ini.
Ia bersama warga lima distrik menolak tegas upaya Bupati Tambrauw di Jakarta, untuk mencaplok wilayah mereka ke Tambrauw, termasuk memaksakan kehendak pelaksanaan Pemilihan Umum Caleg dan Presiden lewat KPU Tambrauw.
Ketua tim MRP-PB, Mesianus Wanay berjanji akan meneruskan aspirasi tersebut dan memefasilitasi warga untuk bertemu dengan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi.
“Aspek sejarah, antropologi dan geografis, akan menjadi pertimbangan kami sebagai lembaga kultur orang Papua. Saya akan laporkan ini ke pimpinan MRP-PB,” ujar Wanay.
Usai menyampaikan aspirasi, warga membuka blokade jalan, disaksikan tim MRP-PB.
Sejak Selasa 24 April 2013 lalu, masyarakat adat di 5 Distrik Kabupaten Manokwari, meliputi Mubrani, Kebar, Senopi, Amberbaken dan Distrik Sidey, memblokade jalan Trans Papua Barat yang menghubungkan Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong.
Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap hasil Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 April 2013, yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
(ysw)