Tudingan miring proyek jalan nasional di Bima & Dompu
A
A
A
Sindoenws.com - Proses tender proyek pembangunan jalan nasional di Kabupaten/Kota Bima dan Kabupaten Dompu tahun 2013 disinyalir ada kejanggalan. Diduga dalam tender itu ada aroma monopoli.
Persoalan ini kemudian berujung pada persoalan hukum yang dilaporkan Aliansi masyarakat antipersekongkolan dan monopoli usaha (Amamu), Haeruddin Parewa. Amamu melaporkan persoalan ini ke beberapa lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri dan Kejaksaan Agung.
Selain itu juga dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaningan Usaha (KPPU), Komisi V DPR, dan Kementerian Pekerjaan Umum.
"Tender proyek ini sarat dengan pelanggaran Undang-Undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga pelanggaran atas Perpres 54/2010 dan perubahannya perpres 70/2012 tentang Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah, serta pelanggaran terhadap dokumen pengadaan,'' demikian dalam surat laporan yang ditandatangani Koordinator Amamu, Haerudin Parewa.
Pihaknya Amamu meyebut indikasi dugaan persekongkolan ini bisa dilihat dari perusahaan-perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran. Misalnya, dugaan persekongkolan dan tindakan diskriminatif panitia adalah mewajibkan salah satu perusahaan untuk memperoleh izin pengolahan batu dan pembangunan Asphalt Mixing Plant (AMP) terlebih dahulu di lokasi proyek.
''Salah satu perusahaan pemenang tender berusaha menghalangi perusahaan lain melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima untuk mendapatkan izin yang dimaksud itu,'' lanjut Haerudin.
Menurutnya, dugaan monopoli ini sudah berlangsung cukup lama dan terkesan dibiarkan Balai Pelaksana Jalan Nasioanal VIII. Alasannya, peserta lain tidak memiliki Asphalt Mixing Plant dan alat-alat penunjang lain.
''Perusahaan-perusahaan tersebut sepertinya sudah memiliki jatah masing-masing dalam paket proyek di wilayah Bima, Kota Bima dan Dompu,'' tukasnya.
Sementara itu, diberitakan di media, pihak Humas Hukum Balai Pelaksana Jalan Nasional VIII Jonny Feri Pangaribuan sudah membantah mengenai tudingan tersebut. Menurutnya, proses tender yang menggunakan sistem layanan elektronik, menutup peluang kongkalikong tersebut.
''Kita tahu bersama dalam sistem ini panita dan rekanan tidak bisa bertemu. Tak ada komunikasi di dalamnya. Cara ini (elektronik) telah diyakini mampu menutup praktik-praktik kotor itu,'' jelasnya.
Persoalan ini kemudian berujung pada persoalan hukum yang dilaporkan Aliansi masyarakat antipersekongkolan dan monopoli usaha (Amamu), Haeruddin Parewa. Amamu melaporkan persoalan ini ke beberapa lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri dan Kejaksaan Agung.
Selain itu juga dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaningan Usaha (KPPU), Komisi V DPR, dan Kementerian Pekerjaan Umum.
"Tender proyek ini sarat dengan pelanggaran Undang-Undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga pelanggaran atas Perpres 54/2010 dan perubahannya perpres 70/2012 tentang Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah, serta pelanggaran terhadap dokumen pengadaan,'' demikian dalam surat laporan yang ditandatangani Koordinator Amamu, Haerudin Parewa.
Pihaknya Amamu meyebut indikasi dugaan persekongkolan ini bisa dilihat dari perusahaan-perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran. Misalnya, dugaan persekongkolan dan tindakan diskriminatif panitia adalah mewajibkan salah satu perusahaan untuk memperoleh izin pengolahan batu dan pembangunan Asphalt Mixing Plant (AMP) terlebih dahulu di lokasi proyek.
''Salah satu perusahaan pemenang tender berusaha menghalangi perusahaan lain melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bima untuk mendapatkan izin yang dimaksud itu,'' lanjut Haerudin.
Menurutnya, dugaan monopoli ini sudah berlangsung cukup lama dan terkesan dibiarkan Balai Pelaksana Jalan Nasioanal VIII. Alasannya, peserta lain tidak memiliki Asphalt Mixing Plant dan alat-alat penunjang lain.
''Perusahaan-perusahaan tersebut sepertinya sudah memiliki jatah masing-masing dalam paket proyek di wilayah Bima, Kota Bima dan Dompu,'' tukasnya.
Sementara itu, diberitakan di media, pihak Humas Hukum Balai Pelaksana Jalan Nasional VIII Jonny Feri Pangaribuan sudah membantah mengenai tudingan tersebut. Menurutnya, proses tender yang menggunakan sistem layanan elektronik, menutup peluang kongkalikong tersebut.
''Kita tahu bersama dalam sistem ini panita dan rekanan tidak bisa bertemu. Tak ada komunikasi di dalamnya. Cara ini (elektronik) telah diyakini mampu menutup praktik-praktik kotor itu,'' jelasnya.
(kur)