TNI banyak sumbang konflik agraria di Jatim
A
A
A
Sindonews.com - Tentara Nasional Indonesia (TNI) ternyata disebut memiliki peran banyak dalam berbagai macam konflik agraria di Jawa Timur (Jatim).
Hal itu berdasarkan data yang dihimpun Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem). TNI Angkatan Laut (AL) disebut sebagai penyumbang angka terbesar kasus sengketa agraria yang terjadi di wilayah Jatim. Lantaran, dari 25 konflik tanah yang melibatkan militer, 12 kasus diantaranya adalah TNI AL.
“Dan lawan dari institusi militer ini adalah masyarakat sipil dari kelompok tani. Yang secara sosial ekonomi dan pengetahuan tentang hukum masih rendah, “ujar Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada, Kamis (21/3/2013).
Lembaga militer berikutnya adalah TNI Angkatan Darat (AD) yang terlibat sebagai pihak berkonflik di tujuh kasus. Kemudian TNI Angkatan Udara (AU) sebanyak enam kasus.
Total lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 15.374, 29 hektar yang mayoritas berupa tanah perkebunan yang sekaligus menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat petani di sana.
“Tentunya militer lebih kuat. Sebagai alat negara yang memiliki posisi politis 'menjaga' kekuasaan, militer memiliki kemampuan memaksakan kehendaknya kepada rakyat, karena apa yang dilakukan institusi militer berpotensi terjadinya pelanggaran HAM," terangnya.
Lebih jauh, untuk wilayah Kabupaten Blitar, kata Sidik terdapat enam titik sengketa agraria yang melibatkan institusi TNI. Yakni TNI AD sebanyak lima titik, dan TNI AU sebanyak satu titik.
“Konflik ini berada di wilayah Kecamatan Wonotirto, Garum dan Ponggok. Untuk di Ponggok saat ini tengah dilakukan mediasi dengan Komnas HAM,“ terangnya.
Sementara di Kabupaten Malang terdapat lima titik konflik yang semuanya melibatkan TNI AL. Yakni diantaranya berada di Kecamatan Pagak, dan Kecamatan bantur dengan total luas lahan 4.881 hektar.
Dengan masih berlangsungnya konflik agraria tanpa penyelesaian yang jelas, kata Sidik menunjukkan pemerintah kurang serius dalam menuntaskan masalah tanah. Di sisi lain fakta itu membuktikan militer di Jawa Timur masih menguasai perkebunan obyek landreform yang seharusnya jatuh (redistribusi) ke tangan rakyat.
“Jika perundangan ditaati seharusnya sengketa agraria tidak perlu terjadi. Ini menunjukkan militer masih melestarikan bisnisnya,“ tegasnya.
Dan terkait kasus mediasi antara Komnas Ham, TNI AU dan petani Kecamatan Ponggok Blitar soal pembangunan lapangan terbang (lapter) yang mendadak mengalihkan ke Malang, menunjukkan militer kurang beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa. Dan hal itu yang menjadikan sengketa agraria yang ada TNI di dalamnya tidak kunjung usai.
“Padahal sesuai UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas menyatakan larangan TNI menjalankan bisnis. Karenanya, tidak ada alasan lagi bagi militer untuk mengembalikan aset ke negara. Dan selanjutnya negara yang meredistribusikan kepada rakyat,“ pungkasnya.
Hal itu berdasarkan data yang dihimpun Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem). TNI Angkatan Laut (AL) disebut sebagai penyumbang angka terbesar kasus sengketa agraria yang terjadi di wilayah Jatim. Lantaran, dari 25 konflik tanah yang melibatkan militer, 12 kasus diantaranya adalah TNI AL.
“Dan lawan dari institusi militer ini adalah masyarakat sipil dari kelompok tani. Yang secara sosial ekonomi dan pengetahuan tentang hukum masih rendah, “ujar Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada, Kamis (21/3/2013).
Lembaga militer berikutnya adalah TNI Angkatan Darat (AD) yang terlibat sebagai pihak berkonflik di tujuh kasus. Kemudian TNI Angkatan Udara (AU) sebanyak enam kasus.
Total lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 15.374, 29 hektar yang mayoritas berupa tanah perkebunan yang sekaligus menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat petani di sana.
“Tentunya militer lebih kuat. Sebagai alat negara yang memiliki posisi politis 'menjaga' kekuasaan, militer memiliki kemampuan memaksakan kehendaknya kepada rakyat, karena apa yang dilakukan institusi militer berpotensi terjadinya pelanggaran HAM," terangnya.
Lebih jauh, untuk wilayah Kabupaten Blitar, kata Sidik terdapat enam titik sengketa agraria yang melibatkan institusi TNI. Yakni TNI AD sebanyak lima titik, dan TNI AU sebanyak satu titik.
“Konflik ini berada di wilayah Kecamatan Wonotirto, Garum dan Ponggok. Untuk di Ponggok saat ini tengah dilakukan mediasi dengan Komnas HAM,“ terangnya.
Sementara di Kabupaten Malang terdapat lima titik konflik yang semuanya melibatkan TNI AL. Yakni diantaranya berada di Kecamatan Pagak, dan Kecamatan bantur dengan total luas lahan 4.881 hektar.
Dengan masih berlangsungnya konflik agraria tanpa penyelesaian yang jelas, kata Sidik menunjukkan pemerintah kurang serius dalam menuntaskan masalah tanah. Di sisi lain fakta itu membuktikan militer di Jawa Timur masih menguasai perkebunan obyek landreform yang seharusnya jatuh (redistribusi) ke tangan rakyat.
“Jika perundangan ditaati seharusnya sengketa agraria tidak perlu terjadi. Ini menunjukkan militer masih melestarikan bisnisnya,“ tegasnya.
Dan terkait kasus mediasi antara Komnas Ham, TNI AU dan petani Kecamatan Ponggok Blitar soal pembangunan lapangan terbang (lapter) yang mendadak mengalihkan ke Malang, menunjukkan militer kurang beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa. Dan hal itu yang menjadikan sengketa agraria yang ada TNI di dalamnya tidak kunjung usai.
“Padahal sesuai UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas menyatakan larangan TNI menjalankan bisnis. Karenanya, tidak ada alasan lagi bagi militer untuk mengembalikan aset ke negara. Dan selanjutnya negara yang meredistribusikan kepada rakyat,“ pungkasnya.
(rsa)