Larangan duduk ngangkang di motor urusan kearifan lokal
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menerapkan larangan duduk mengangkang di atas sepeda motor bagi wanita. Hal itu sesuai dengan syariat Islam yang berlaku di Aceh.
Pengamat Sosial dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, terkait permasalahan Islam dan budaya, pasti menimbulkan banyak pro dan kontra. Namun, Devie menganggap aturan tersebut biasa dilakukan di setiap negara sesuai dengan otonomi atau desentralisasi daerah.
"Bicara soal syariat Islam pasti banyak perdebatan, itu karena Alquran yang diinterpretasikan oleh pemerintah Aceh, dalam konteks negara itu biasa. Di Amerika juga punya kekuasaan aturan, di tiap negara bagian atau desentralisasi, perkawinan sesama jenis misalnya boleh," jelasnya di Depok, Sabtu (5/1/2013) malam.
Selama tak merugikan kepentingan umum, kata Devie, tak akan menjadi masalah dengan kebijakan tersebut. Devie juga yakin Pemerintah Aceh pasti sudah melakukan banyak kajian disertai evaluasi nantinya.
"Nantinya kan bisa diamandemen kalau ada yang tak disepakati, selama rakyatnya setuju sah–sah saja, kalau dilihat akan berjalan baik bahkan bisa dteladani oleh daerah lainnya, toh tidak sampai ada kalangan masyarakat di sana yang menentang, ini kan terkait dengan kearifan lokal," tegasnya.
Karena itu, bagi pendatang atau warga yang datang ke Aceh, nantinya patut menghormati peraturan yang terkait dengan kearifan lokal tersebut. Terkait dengan esensi duduk mengangkang itu sendiri, lanjut Devie, memang islam memaknai perempuan memiliki derajat dan diwajibkan untuk menutup aurat.
"Bentuk aurat dimaknai derajat perempuan sendiri, dari sisi manapun, aturan agama manapun, itu keselamatan bagi umatnya, kalau menimbulkan gairah bagi lawan jenis, perempuan berarti member peluang," imbuhnya.
Pengamat Sosial dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, terkait permasalahan Islam dan budaya, pasti menimbulkan banyak pro dan kontra. Namun, Devie menganggap aturan tersebut biasa dilakukan di setiap negara sesuai dengan otonomi atau desentralisasi daerah.
"Bicara soal syariat Islam pasti banyak perdebatan, itu karena Alquran yang diinterpretasikan oleh pemerintah Aceh, dalam konteks negara itu biasa. Di Amerika juga punya kekuasaan aturan, di tiap negara bagian atau desentralisasi, perkawinan sesama jenis misalnya boleh," jelasnya di Depok, Sabtu (5/1/2013) malam.
Selama tak merugikan kepentingan umum, kata Devie, tak akan menjadi masalah dengan kebijakan tersebut. Devie juga yakin Pemerintah Aceh pasti sudah melakukan banyak kajian disertai evaluasi nantinya.
"Nantinya kan bisa diamandemen kalau ada yang tak disepakati, selama rakyatnya setuju sah–sah saja, kalau dilihat akan berjalan baik bahkan bisa dteladani oleh daerah lainnya, toh tidak sampai ada kalangan masyarakat di sana yang menentang, ini kan terkait dengan kearifan lokal," tegasnya.
Karena itu, bagi pendatang atau warga yang datang ke Aceh, nantinya patut menghormati peraturan yang terkait dengan kearifan lokal tersebut. Terkait dengan esensi duduk mengangkang itu sendiri, lanjut Devie, memang islam memaknai perempuan memiliki derajat dan diwajibkan untuk menutup aurat.
"Bentuk aurat dimaknai derajat perempuan sendiri, dari sisi manapun, aturan agama manapun, itu keselamatan bagi umatnya, kalau menimbulkan gairah bagi lawan jenis, perempuan berarti member peluang," imbuhnya.
(mhd)