Terhimpit ekonomi, nelayan bantu imigran gelap
Senin, 19 November 2012 - 02:00 WIB

Terhimpit ekonomi, nelayan bantu imigran gelap
A
A
A
Sindonews.com - Maraknya imigran gelap yang berniat menyebrang ke Pulau Christmas, Australia, melalui pesisir pantai Garut Selatan, ternyata memberikan keuntungan tersendiri bagi warga sekitar untuk meraup keuntungan.
Sebagian kecil dari warga yang mengambil untung dari kasus ini adalah para nelayan dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dahulu pernah bekerja di sejumlah negara Timur Tengah (Timteng).
Seorang warga nelayan asal Desa Mancagahar, Kecamatan Cikelet, yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan, bayaran paling sedikit untuk satu kali menyebrangkan imigran gelap adalah Rp5 juta. Tidak jarang, bayaran lebih tinggi biasanya juga diperoleh bila para imigran tengah diburu waktu.
“Tidak heran, sebagian dari warga nelayan tergiur oleh bayaran yang tinggi. Sebab, pendapatan kami setiap hari tidak mencapai sebesar itu,” katanya, Minggu 18 November 2012.
Dia sendiri mengaku pernah beberapa kali menyebrangkan para imigran karena terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, akhir-akhir ini dirinya enggan kembali terlibat dalam penyelundupan tersebut karena takut ditangkap aparat kepolisian.
“Beberapa waktu terakhir ini, banyak sekali kasus penyebrangan yang terungkap. Para imigran sebagian besar ditangkap petugas. Karena cukup berisiko, saya enggak mau menyebrangkan mereka lagi. Lebih baik cari aman,” ungkapnya.
Menurut dia, selain para nelayan, sejumlah warga yang pernah bekerja sebagai TKI juga ikut berperan dalam kasus penyelundupan manusia ke Australia ini. Biasanya, peran para mantan TKI ini hanyalah sebagai penghubung antara imigran selaku pencari jasa penyebrangan dan nelayan selaku penjual jasanya.
“Biasanya, para mantan TKI ini sedikit lebih mengerti bahasa yang digunakan para imigran. Makanya, nelayan yang akan menjual jasanya untuk menyebrangkan imigran, sangat memerlukan keahlian bahasa dari mantan TKI tersebut meski kemampuan berbahasa arabnya rendah,” urainya.
Kepala Satuan Polisi Air (Kasatpolair) Polres Garut AKP Asep Suherli membenarkan praktik nelayan dan warga yang hingga kini masih membantu proses penyelundupan imigran. Hal itu menurutnya murni karena himpitan ekonomi.
Asep menilai, permasalahan mengenai maraknya penyelundupan imigran yang dibantu warga nelayan tidak akan pernah berhenti bila kehidupan perekonomian warga di kawasan pesisir pantai tetap minim. Asep menegaskan, seharusnya pemerintah melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan ini.
Seperti diketahui, Sebanyak 35 imigran gelap kembali ditangkap di perairan Pantai Santolo, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, pada Kamis 15 November 2012 lalu sekira pukul 02.30 WIB dini hari. Para imigran asal Irak itu diamankan saat akan berlayar ke Pulau Christmas, Australia.
Sebagian kecil dari warga yang mengambil untung dari kasus ini adalah para nelayan dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dahulu pernah bekerja di sejumlah negara Timur Tengah (Timteng).
Seorang warga nelayan asal Desa Mancagahar, Kecamatan Cikelet, yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan, bayaran paling sedikit untuk satu kali menyebrangkan imigran gelap adalah Rp5 juta. Tidak jarang, bayaran lebih tinggi biasanya juga diperoleh bila para imigran tengah diburu waktu.
“Tidak heran, sebagian dari warga nelayan tergiur oleh bayaran yang tinggi. Sebab, pendapatan kami setiap hari tidak mencapai sebesar itu,” katanya, Minggu 18 November 2012.
Dia sendiri mengaku pernah beberapa kali menyebrangkan para imigran karena terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, akhir-akhir ini dirinya enggan kembali terlibat dalam penyelundupan tersebut karena takut ditangkap aparat kepolisian.
“Beberapa waktu terakhir ini, banyak sekali kasus penyebrangan yang terungkap. Para imigran sebagian besar ditangkap petugas. Karena cukup berisiko, saya enggak mau menyebrangkan mereka lagi. Lebih baik cari aman,” ungkapnya.
Menurut dia, selain para nelayan, sejumlah warga yang pernah bekerja sebagai TKI juga ikut berperan dalam kasus penyelundupan manusia ke Australia ini. Biasanya, peran para mantan TKI ini hanyalah sebagai penghubung antara imigran selaku pencari jasa penyebrangan dan nelayan selaku penjual jasanya.
“Biasanya, para mantan TKI ini sedikit lebih mengerti bahasa yang digunakan para imigran. Makanya, nelayan yang akan menjual jasanya untuk menyebrangkan imigran, sangat memerlukan keahlian bahasa dari mantan TKI tersebut meski kemampuan berbahasa arabnya rendah,” urainya.
Kepala Satuan Polisi Air (Kasatpolair) Polres Garut AKP Asep Suherli membenarkan praktik nelayan dan warga yang hingga kini masih membantu proses penyelundupan imigran. Hal itu menurutnya murni karena himpitan ekonomi.
Asep menilai, permasalahan mengenai maraknya penyelundupan imigran yang dibantu warga nelayan tidak akan pernah berhenti bila kehidupan perekonomian warga di kawasan pesisir pantai tetap minim. Asep menegaskan, seharusnya pemerintah melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan ini.
Seperti diketahui, Sebanyak 35 imigran gelap kembali ditangkap di perairan Pantai Santolo, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, pada Kamis 15 November 2012 lalu sekira pukul 02.30 WIB dini hari. Para imigran asal Irak itu diamankan saat akan berlayar ke Pulau Christmas, Australia.
(rsa)