UU pemilu masih menyisakan persoalan

Selasa, 28 Agustus 2012 - 17:01 WIB
UU pemilu masih menyisakan persoalan
UU pemilu masih menyisakan persoalan
A A A
Sindonews.com - Lahirnya Undang-undang (UU) No 8/2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD dinilai belum dapat memberikan harapan bagi pembangunan demokrasi di Indonesia ke arah lebih baik. Indikasinya dalam UU tersebut masih banyak persoalan pemilu yang belum diatur dengan jelas.

Salah satunya dalam pembiayaan kampanye, belum diatur secara tegas dalam UU itu. Sebab yang diatur hanya sebatas sumbangan dan pengelolaan dana kampanye. Padahal, kedua aturan itu sangat lemah dalam penegakkannya. Sehingga dapat menjadi celah makin suburnya politik uang.

"Selain itu, dalam UU ini juga belum mengatur dengan tegas soal money poltic dan implementasinya," ungkap dosen Fisipol UGM Ari Dwipayana, dalam Workshop Memahami Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Bagi Guru dan Dosen kewarganegaraan se-DIY yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) bekerja sama dengan Hanss Seidel Foundation (HSF) Indonesia, di Hotel Saphir Yogyakarta, Jawa Tengah, Selasa (28/8/2012).

Menurut Ari untuk pengaturan masalah tersebut, mestinya bukan hanya dilihat dari praktek buying vote (pembelian suara) tetapi juga berkaitan dengan pola hubungan antar kandindat dengan partai, termasuk upaya pembelian kandidat dari partai juga perlu diantisipasi. Lanjutnya, politik uang dapat terjadi dengan membeli kandidat lain, atau penyelenggara pemilu. Sehingga masalah ini harus menjadi titik perhatian dalam UU Pemilu.

"Artinya, untuk membangun pemilu yang berkualitas, tidak hanya dengan melektakkan electoral laws, tetapi juga dalam electoral proses, termasuk juga dengan mengawal lembaga penyelenggara pemilu agar dapat mandiri dari para kontestan," tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan anggota KPU DIY Moh. Najib yang juga menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut. Dia mengatakan, UU pemilu baru itu oleh sebagian tokoh non parlemen dianggap diskrimnatif, sehingga tidak mengherankan UU itu diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Munculnya klausul partai politik peserta pemilu 2009 yang tidak lolos ambang batas nasional harus mengikuti serangkaian pendaftaran dan verifikasi jelas menjadi persoalan bagi sebagian kalangan," tegasnya.

Sedangkan Wakil rektor I UII Nandang Sutrisno mengatakan, dalam ilmu hukum dikenal adanya fiksi hukum, yang berarti ketika UU telah disahkan pemerintah, maka semua warga negara dianggap sudah mengetahuinya. Namun dmikian fiksi hukum tidak sama dengan kondisi sosilogis masyarakat, dimana tidak semua orang mengetahui hukum. Sehingga perlu adanya sosialisasi oleh semua pihak, khususnya lembaga pendidikan.

"Oleh karena itu, atas nama pimpinan saya sangat apresiasi atas langkah PSHK yang mengadakan workshop ini dan diharapkan akan muncul ide atau gagasan tentang paradigma pemilu yang baru dan hasilnya dapat disampaikan ke masyarakat luas, terutama bagi pemilih pemula," harapnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5389 seconds (0.1#10.140)