Mansur kehilangan istri & anak dalam kandungan
A
A
A
Sindonews.com - Suasana haru mewarnai rumah duka tempat korban angin puting beliung, Lina (28) yang tewas tertimbun reruntuhan rumah, pada saat kejadian tragis yang terjadi Jumat 24 Februari 2012.
Seusai di salatkan, empat keluarga korban sempat pingsan. Bahkan ibu korban berteriak histeris memanggil nama anaknya yang dalam kondisi mengandung dengan usia kandungan tujuh bulan, sebelum akhirnya jatuh pingsan.
"Waktu kejadian, istri saya sedang memasak, seraya membuatkan saya kopi," kata Mansur (28), suami korban disela-sela isak tangisnya sambil memandangi tubuh istrinya yang terbujur kaku di bungkus kain kafan.
Mansur menceritakan, istrinya saat itu sedang memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara gemuruh layaknya pesawat terbang dan menghantam beberapa rumah di sekitar rumah korban. Saat itulah, Mansur memerintahkan istri dan sepupunya untuk berlari keluar rumah.
"Saya langsung berlari keluar rumah, saya sempat menoleh ketika mendengar teriakan istri saya yang bercampur dengan gemuruh angin. Dalam hitungan menit, semua langsung rata dengan tanah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena rumah kami langsung roboh, saya juga tidak melihat istri saya," katanya.
Ketika Angin sudah reda, Mansur bersama kerabat dan warga lainnya melakukan pencarian terhadap istrinya di tengah reruntuhan. Setelah beberapa saat mencari, Lina ditemukan di bawah sebuah perahu yang ikut tertimbun reruntuhan rumah dengan kondisi sudah tidak bernyawa.
"Istri saya sangat baik, dan kami sudah mendambakan anak sejak perkawinan kami lima tahun silam," katanya sambil bercucuran air mata.
Orang tua korban Abdul Kadir, mengaku anaknya adalah seorang yang sangat penyabar serta penurut, menjelang ajalnya tidak ada tanda-tanda keanehan yang diperlihatkan korban.
"Seperti biasa, kalau suaminya sudah pulang dari danau untuk menangkap ikan, dia melaksanakan kewajibannya sebagai istri, membuatkan segelas kopi, sebelum makan malam bersama," katanya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini juga dikenal sebagai pribadi yang baik hati, dan tidak pernah mengeluh. "Dia baik kepada semua orang," katanya.
Sementara itu, menurut keterangan salah seorang warga Nonci, angin kencang yang menewaskan tiga warga termasuk Lina, Hj Rosi dan Janggo Sana tersebut terjadi sebelum adzan magrib.
Dirinya yang saat itu sedang mengayuh perahu kesayangannya melihat gulungan awan tebal dengan suara bergemuruh. Awalnya, awan tebal seperti tiang itu bergerak beriringan layaknya dua orang sejoli yang lagi kasmaran, berpegangan tangan, berkejaran tanpa menghiraukan, benda-benda yang dia lewati.
"Angin kencang tersebut, layaknya dua orang pemuda-pemudi yang lagi berpacaran. Bermain dan tidak menghiraukan apa yang ia lewati, dan berlalu dan menghilang begitu saja," katanya.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dua titik angin tersebut kembali, kemudian bersatu layaknya berpelukan, tiba-tiba angin tersebut berjalan kearahnya sehingga dirinya terpental.
Dia mengaku sempat tidak sadarkan diri selama dua jam, sehingga pada saat penyisiran, yang dilakukan oleh TNI dan masyarakat, dirinya hanya berlindung pada tanaman enceng gondok tersebut hingga pagi hari.
"Seluruh badan saya sakit, siku kiri saya terluka terkena perahu. Perahu saya hancur hingga berkeping-keping," katanya. (san)
Seusai di salatkan, empat keluarga korban sempat pingsan. Bahkan ibu korban berteriak histeris memanggil nama anaknya yang dalam kondisi mengandung dengan usia kandungan tujuh bulan, sebelum akhirnya jatuh pingsan.
"Waktu kejadian, istri saya sedang memasak, seraya membuatkan saya kopi," kata Mansur (28), suami korban disela-sela isak tangisnya sambil memandangi tubuh istrinya yang terbujur kaku di bungkus kain kafan.
Mansur menceritakan, istrinya saat itu sedang memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara gemuruh layaknya pesawat terbang dan menghantam beberapa rumah di sekitar rumah korban. Saat itulah, Mansur memerintahkan istri dan sepupunya untuk berlari keluar rumah.
"Saya langsung berlari keluar rumah, saya sempat menoleh ketika mendengar teriakan istri saya yang bercampur dengan gemuruh angin. Dalam hitungan menit, semua langsung rata dengan tanah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena rumah kami langsung roboh, saya juga tidak melihat istri saya," katanya.
Ketika Angin sudah reda, Mansur bersama kerabat dan warga lainnya melakukan pencarian terhadap istrinya di tengah reruntuhan. Setelah beberapa saat mencari, Lina ditemukan di bawah sebuah perahu yang ikut tertimbun reruntuhan rumah dengan kondisi sudah tidak bernyawa.
"Istri saya sangat baik, dan kami sudah mendambakan anak sejak perkawinan kami lima tahun silam," katanya sambil bercucuran air mata.
Orang tua korban Abdul Kadir, mengaku anaknya adalah seorang yang sangat penyabar serta penurut, menjelang ajalnya tidak ada tanda-tanda keanehan yang diperlihatkan korban.
"Seperti biasa, kalau suaminya sudah pulang dari danau untuk menangkap ikan, dia melaksanakan kewajibannya sebagai istri, membuatkan segelas kopi, sebelum makan malam bersama," katanya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini juga dikenal sebagai pribadi yang baik hati, dan tidak pernah mengeluh. "Dia baik kepada semua orang," katanya.
Sementara itu, menurut keterangan salah seorang warga Nonci, angin kencang yang menewaskan tiga warga termasuk Lina, Hj Rosi dan Janggo Sana tersebut terjadi sebelum adzan magrib.
Dirinya yang saat itu sedang mengayuh perahu kesayangannya melihat gulungan awan tebal dengan suara bergemuruh. Awalnya, awan tebal seperti tiang itu bergerak beriringan layaknya dua orang sejoli yang lagi kasmaran, berpegangan tangan, berkejaran tanpa menghiraukan, benda-benda yang dia lewati.
"Angin kencang tersebut, layaknya dua orang pemuda-pemudi yang lagi berpacaran. Bermain dan tidak menghiraukan apa yang ia lewati, dan berlalu dan menghilang begitu saja," katanya.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dua titik angin tersebut kembali, kemudian bersatu layaknya berpelukan, tiba-tiba angin tersebut berjalan kearahnya sehingga dirinya terpental.
Dia mengaku sempat tidak sadarkan diri selama dua jam, sehingga pada saat penyisiran, yang dilakukan oleh TNI dan masyarakat, dirinya hanya berlindung pada tanaman enceng gondok tersebut hingga pagi hari.
"Seluruh badan saya sakit, siku kiri saya terluka terkena perahu. Perahu saya hancur hingga berkeping-keping," katanya. (san)
()