Komunitas belajar Jawa kuno Disuguhi Benda Purbakala
A
A
A
Sindonews.com - Memang tak banyak orang yang masih tertarik belajar Bahasa Jawa Kuno.Selain dianggap sulit,tak banyak pula tempat untuk belajar bahasa Jawa. Satu di antara sedikit tempat belajar Bahasa Jawa itu adalah museum Balai Pelestarian Peninggalan Purbaka (BP3) Trowulan.
Di tempat ini terdapat sebuah komunitas Bahasa Jawa Kuno yang telah eksis sejak beberapa tahun terakhir. ”Ini adalah bahasa yang dipakai pada abad ke empat,” ujar seorang pemuda kepada delapan pemuda lain,yang tampak sangat serius menyimak rangkaian kata di papan tulis. Pemuda berambut klemis itu adalah Rakaihino,ahli bahasa Jawa Kuno asal Kota Malang.
Beberapa bulan terakhir, dia menjadi ketua komunitas bahasa Jawa kuno di museum Trowulan.”Yang kita bahas di sini bukan Bahasa Jawa baru,bukan yang hanacarakaitu. Tapi yang jauh sebelumnya,” terang pemuda yang akrab disapa Raka ini. Bahasa Jawa baru memang masih banyak diajarkan di sekolah- sekolah.Namun Bahasa Jawa? Tak satu pun sekolah yang mengajarkan bahasa ini di bangku kelas.
Bahasa Jawa Kuno dipelajari di tingkat perguruan tinggi,itu pun pada jurusan- jurusan tertentu seperti Satra Jawa atau Arekologi. ”Dan memang tak mudah untuk mencari tempat belajar Bahasa Jawa Kuno,”ungkapnya.
Fenomena ini menggugah Raka untuk uri-uri budaya Jawa,khususnya Majapahit melalui komunitas Bahasa Jawa Kuno. Pemilihan museum Trowulan sebagai tempat belajar dianggap sangat tepat karena dengan begitu, anggota komunitas bisa lebih mudah mempraktikkan teori.
Komunitas yang rutin bertemu pada setiap hari Sabtu, minggu pertama dan ketiga ini memfokuskan pembahasan pada Bahasa Jawa Kuno,yang pernah populer pada abad ke IV-XVI.Mulai dari abjad Pallawa, Sansekerta,hingga huruf pada masa millenium I. ”Sejarah juga kita selipkan.Karena keduanya saling berhubungan,” katanya. Rakaihino meyakini, belajar bahasa Jawa kuno tak begitu sulit.
Kuncinya pun hanya dengan kontinyuitas dan praktik.”Selama ini,orang yang mampu membaca bahasa di prasasti,benda-benda purbakala, justru mereka yang berasal dari negara lain.Padahal itu bahasa Jawa.Kayaknya kita ini orang yang bodoh saja,” tegasnya. Kepala museum Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho menegaskan, sampai sejauh ini, komunitas tersebut memang sangat minim peminat.
Pasalnya, minimnya kesadaran masyarakat terhadap budaya, menjadi salah satu penyebabnya.” Saya berharap bisa terus berkembang.Biar budaya kita bisa terus berkembang,”kata. (wbs)
Di tempat ini terdapat sebuah komunitas Bahasa Jawa Kuno yang telah eksis sejak beberapa tahun terakhir. ”Ini adalah bahasa yang dipakai pada abad ke empat,” ujar seorang pemuda kepada delapan pemuda lain,yang tampak sangat serius menyimak rangkaian kata di papan tulis. Pemuda berambut klemis itu adalah Rakaihino,ahli bahasa Jawa Kuno asal Kota Malang.
Beberapa bulan terakhir, dia menjadi ketua komunitas bahasa Jawa kuno di museum Trowulan.”Yang kita bahas di sini bukan Bahasa Jawa baru,bukan yang hanacarakaitu. Tapi yang jauh sebelumnya,” terang pemuda yang akrab disapa Raka ini. Bahasa Jawa baru memang masih banyak diajarkan di sekolah- sekolah.Namun Bahasa Jawa? Tak satu pun sekolah yang mengajarkan bahasa ini di bangku kelas.
Bahasa Jawa Kuno dipelajari di tingkat perguruan tinggi,itu pun pada jurusan- jurusan tertentu seperti Satra Jawa atau Arekologi. ”Dan memang tak mudah untuk mencari tempat belajar Bahasa Jawa Kuno,”ungkapnya.
Fenomena ini menggugah Raka untuk uri-uri budaya Jawa,khususnya Majapahit melalui komunitas Bahasa Jawa Kuno. Pemilihan museum Trowulan sebagai tempat belajar dianggap sangat tepat karena dengan begitu, anggota komunitas bisa lebih mudah mempraktikkan teori.
Komunitas yang rutin bertemu pada setiap hari Sabtu, minggu pertama dan ketiga ini memfokuskan pembahasan pada Bahasa Jawa Kuno,yang pernah populer pada abad ke IV-XVI.Mulai dari abjad Pallawa, Sansekerta,hingga huruf pada masa millenium I. ”Sejarah juga kita selipkan.Karena keduanya saling berhubungan,” katanya. Rakaihino meyakini, belajar bahasa Jawa kuno tak begitu sulit.
Kuncinya pun hanya dengan kontinyuitas dan praktik.”Selama ini,orang yang mampu membaca bahasa di prasasti,benda-benda purbakala, justru mereka yang berasal dari negara lain.Padahal itu bahasa Jawa.Kayaknya kita ini orang yang bodoh saja,” tegasnya. Kepala museum Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho menegaskan, sampai sejauh ini, komunitas tersebut memang sangat minim peminat.
Pasalnya, minimnya kesadaran masyarakat terhadap budaya, menjadi salah satu penyebabnya.” Saya berharap bisa terus berkembang.Biar budaya kita bisa terus berkembang,”kata. (wbs)
()