Polda Sumut Usut Dugaan Korupsi Kontribusi PAD PDAM Tirtanadi
A
A
A
MEDAN - Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) melakukan penyelidikan atas adanya dugaan korupsi kontribusi Pendapatan Asal Daerah (PAD) ke Provinsi Sumut oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.
"Iya benar, saat ini sedang penyelidikan," ungkap Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sumut Kombes Pol Rony Samtana saat dikonfirmasi wartawan, Senin (2/3/2020).
Rony juga mengaku jika pihaknya telah melakukan pemeriksaan (saksi). Namun ia tidak menjelaskan secara spesifik siapa dan sudah berapa orang yang diperiksa oleh penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut ini.
"Pemeriksaan ada, dan sekarang masih dalam tahap penyelidikan," tandasnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh, dalam kasus ini Ditreskrimsus Polda Sumut baru melakukan pemanggilan terhadap mantan Kepala Direksi Keuangan PDAM Arif Haryadian. Ditemui usai keluar dari ruang penyidik, Arif mengakui bahwa dirinya dipanggil sebagai saksi atas adanya dugaan korupsi tersebut.
Arif menjelaskan, penyelidikan yang dilakukan kepolisian berkaitan dengan kontribusi PAD PDAM Tirtanadi. Dimana, sesuai Perda Nomor 3 Tahun 2018 dalam Pasal 50 disebutkan, apabila PDAM Tirtanadi cakupan wilayahnya sudah mencapai 80% lebih atau sama, maka diwajibkan menyetor kontribusi PAD ke Pemprov Sumut sebesar 55% dari keuntungan.
"Namun sewaktu saya masih menjabat hingga pertengahan tahun 2019, saya ada menyetorkan cicilan pertama sebesar Rp20 miliar. Kenapa menyetorkan segitu, karena saat itu hasil audit belum keluar, jadi masih berdasarkan estimasi keuntungan," jelasnya.
Tetapi, berdasarkan hasil audit kinerja 2018 yang diumumkan 2019 beberapa waktu lalu, ternyata keuntungan perusahaan mencapai Rp74 miliar dan cakupan wilayah pelayanan sudah 82%. Namun berdasarkan pernyataan penyidik, sebut dia, diduga Direksi Keuangan yang saat ini menjabat tidak pernah memberikan PAD ke Pemprov Sumut.
"Berarti masih ada sisa yang harus dibayar sekitar lebih dari Rp10 miliar. Saya dipanggil untuk diminta keterangan sebagai saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi PAD ke Pemprov Sumut," ucapnya.
Arif mengaku sudah tidak menjabat lagi sejak Mei 2019. Karenanya, ia sudah tidak mengetahui kenapa kekurangan setoran kontribusi PAD tersebut belum dibayarkan.
Sebenarnya, pada 2018, karena Pemprovsu membutuhkan dana, Arif mengaku juga pernah menyetorkan sebesar Rp10,6 miliar. Padahal, cakupan saat itu belum 80%.
"Pada bulan 5 tahun 2019 masa jabatan saya berakhir, sehingga tidak tahu kelanjutannya sampai saya di panggil ke Polda Sumut untuk mempertanyakan itu," tandasnya.
"Iya benar, saat ini sedang penyelidikan," ungkap Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sumut Kombes Pol Rony Samtana saat dikonfirmasi wartawan, Senin (2/3/2020).
Rony juga mengaku jika pihaknya telah melakukan pemeriksaan (saksi). Namun ia tidak menjelaskan secara spesifik siapa dan sudah berapa orang yang diperiksa oleh penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut ini.
"Pemeriksaan ada, dan sekarang masih dalam tahap penyelidikan," tandasnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh, dalam kasus ini Ditreskrimsus Polda Sumut baru melakukan pemanggilan terhadap mantan Kepala Direksi Keuangan PDAM Arif Haryadian. Ditemui usai keluar dari ruang penyidik, Arif mengakui bahwa dirinya dipanggil sebagai saksi atas adanya dugaan korupsi tersebut.
Arif menjelaskan, penyelidikan yang dilakukan kepolisian berkaitan dengan kontribusi PAD PDAM Tirtanadi. Dimana, sesuai Perda Nomor 3 Tahun 2018 dalam Pasal 50 disebutkan, apabila PDAM Tirtanadi cakupan wilayahnya sudah mencapai 80% lebih atau sama, maka diwajibkan menyetor kontribusi PAD ke Pemprov Sumut sebesar 55% dari keuntungan.
"Namun sewaktu saya masih menjabat hingga pertengahan tahun 2019, saya ada menyetorkan cicilan pertama sebesar Rp20 miliar. Kenapa menyetorkan segitu, karena saat itu hasil audit belum keluar, jadi masih berdasarkan estimasi keuntungan," jelasnya.
Tetapi, berdasarkan hasil audit kinerja 2018 yang diumumkan 2019 beberapa waktu lalu, ternyata keuntungan perusahaan mencapai Rp74 miliar dan cakupan wilayah pelayanan sudah 82%. Namun berdasarkan pernyataan penyidik, sebut dia, diduga Direksi Keuangan yang saat ini menjabat tidak pernah memberikan PAD ke Pemprov Sumut.
"Berarti masih ada sisa yang harus dibayar sekitar lebih dari Rp10 miliar. Saya dipanggil untuk diminta keterangan sebagai saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi PAD ke Pemprov Sumut," ucapnya.
Arif mengaku sudah tidak menjabat lagi sejak Mei 2019. Karenanya, ia sudah tidak mengetahui kenapa kekurangan setoran kontribusi PAD tersebut belum dibayarkan.
Sebenarnya, pada 2018, karena Pemprovsu membutuhkan dana, Arif mengaku juga pernah menyetorkan sebesar Rp10,6 miliar. Padahal, cakupan saat itu belum 80%.
"Pada bulan 5 tahun 2019 masa jabatan saya berakhir, sehingga tidak tahu kelanjutannya sampai saya di panggil ke Polda Sumut untuk mempertanyakan itu," tandasnya.
(thm)