RSJD Surakarta Transformasi Nama demi Layanan Prima
A
A
A
Pamor Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta sangat dikenal. Namun, masyarakat Solo dan sekitarnya justru lebih mengenal nama rumah sakit ini dengan sebutan Rumah Sakit Jiwa Mangunjayan, tepatnya kala masih di Jalan Bhayangkara Nomor 50 Solo atau kawasan Sriwedari.
Tepat satu abad setelah berdiri, RS Khusus Kelas A ini terbukti masih kokoh dan melayani hingga kini. Pembaharuan layanan dan fasilitas pun tak pernah henti dilakukan pengelolanya. Termasuk yang terakhir, saat ini pengelola tengah mengusulkan penggantian nama RSJD Surakarta menjadi RS Arif Zainudin demi bisa lebih mudah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kata “jiwa” yang menempel di RSJD dinilai menimbulkan stigma kurang nyaman bagi calon pasiennya.
Kehadiran RSJD yang telah melekat bagi warga Solo memang memiliki sejarah panjang. Awalnya rumah sakit yang didirikan pada 1918 dan mulai beroperasi pada 17 Juli 1919 ini dinamakan Doorganghuisvoor Krankzinnigen.
Lokasi rumah sakit ini dulunya berada di kawasan Sriwedari, menempati areal sekitar 0,69 hektare dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.
Atas dasar kesepakatan bersama pada 1986, dalam bentuk ruilslag dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, Kantor RS Jiwa Pusat Surakarta akan digunakan sebagai Kantor KONI Kodia Surakarta. Maka itu, pada 3 Februari 1986 Rumah Sakit Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru ditepian Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Jalan Ki Hajar Dewantara Nomor 80 Solo dengan luas area 10 hektare lebih dengan luas bangunan 10.067 meter persegi.
Saat ini rumah sakit telah diintegrasikan ke dalam binaan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dari luasan itu, sekitar 45% lahannya telah di manfaatkan. RSJD Surakarta memiliki daya tampung sebanyak 297 tempat tidur. Tak hanya dari Solo Raya, pasien yang masuk juga dari daerah-daerah di Provinsi Jawa Timur bagian barat dan sebagian Yogyakarta.
Kepala Instalasi Humas dan Pemasaran RSJD Surakarta Totok Hardianto mengungkapkan, satu di antara alat peninggalan masa lalu di RSJD yang masih berfungsi adalah gamelan. Alat musik pentatonis tersebut dipakai untuk rehabilitasi pasien sampai kini. Di rumah sakit ini durasi pasien tinggal (long of stay) hampir tiga bulan. Selama masa itu pasien menjalani masa rehabilitasi. Proses rehabilitasi beragam mulai pertanian, pertukangan, musik, dan olahraga.
Sebelum dilepas kemasyarakat, pasien terlebih dahulu dilatih bermasyarakat melalui proses rehabilitasi. Namun, masa tinggal ini kemudian dipersingkat lantaran ada aturan baru dari BPJS.
RSJD Surakarta saat ini terus berkembang. Selain dokter jiwa, kini dokter dengan keahlian lain juga masuk. Seperti penyakit dalam, ahli syaraf, kulit dan kelamin, ahli anak, rehab medik, dan radiologi. “Biar one stop service dan komprehensif. Tidak perlu dirujuk lagi jika ada penyakit lainnya,” jelas Totok.
Perkembangan signifikan terjadi pada 2015 seiring penambahan alat-alat medis yang lebih lengkap guna menunjang pelayanan. “Kalau dulu juga komplet, tapi untuk pasien jiwa saja,” terangnya. Alat baru itu mulai dari analisis stres, pemetaan otak, dan lainnya. Sebelumnya, jika ada pasien yang menderita sakit diluar kejiwaan, maka dirujuk ke RSUD Dr Moewardi Solo.
Meski dokter dan perlengkapan medis di luar kejiwaan cukup komplet, namun pasien yang datang diakui masih jauh dari harapan karena stigma rumah sakit jiwa. Rata-rata masih memilih rumah sakit umum karena takut dengan stigma yang melekat. Guna mendekatkan diri kepada masyarakat, pihaknya mengembangkan rumah sakit tanpa dinding. RSJD Surakartapun menggandeng kelurahan dan kecamatan dalam rangka penyuluhan.
Dalam membentuk kader jiwa, pihak rumah sakit mengajari bagaimana mendeteksi orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Dengan kader-kader itu, orang yang memiliki potensi gangguan kejiwaan dapat diarahkan untuk berkonsultasi. Cara konsultasi dapat melalui telepon dan home care.
Pemerhati sejarah Solo Hendromasto mengatakan. RS Mangunjayan dibangun di era Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakoe Boewono (PB) X. Pihaknya menduga rumah sakit jiwa kala itu didirikan karena memang ada kebutuhan. RS Mangunjayan dulunya tak jauh dari Kadipolo yang dulunya ada rumah sakit. “Berdirinya beriringan, setelah Kadipolo kemudian baru Mangunjayan,” terangnya.
Dari keterangan pengelola RSJD, nama dr Arif Zainudin dipilih karena meninggal saat tugas, artinya masih menjabat di RSJD Surakarta. Pihak keluarganya juga sudah bisa ditemui dan untuk dimintai persetujuan. Namun, secara resmi nama RS Arif Zainudin belum sepenuhnya mendapat persetujuan mengingat peraturan daerah (perda) penggantian nama juga belum keluar.
CEO PMI Solo Sumartono Hadinoto mengatakan, RSJD Surakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Setelah pindah ke lokasi yang saat ini, RSJD Surakarta semakin berkualitas, baik dari fasilitas maupun lokasinya. “Pelayanannya juga semakin baik,” terang Sumartono.
Griya PMI Peduli yang dimiliki PMI Solo juga sering bekerja sama dengan RSJD Surakarta. Saat menjaring gelandangan atau orang telantar, PMI Solo terkadang menemukan dalam kondisi stres atau gangguan kejiwaan. Setelah melalui pemeriksaan dokter PMI Solo dan ada indikasi sakit jiwa, selanjutnya dirujuk ke RSJD Surakarta. (Ary wahyu Wibowo)
Tepat satu abad setelah berdiri, RS Khusus Kelas A ini terbukti masih kokoh dan melayani hingga kini. Pembaharuan layanan dan fasilitas pun tak pernah henti dilakukan pengelolanya. Termasuk yang terakhir, saat ini pengelola tengah mengusulkan penggantian nama RSJD Surakarta menjadi RS Arif Zainudin demi bisa lebih mudah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kata “jiwa” yang menempel di RSJD dinilai menimbulkan stigma kurang nyaman bagi calon pasiennya.
Kehadiran RSJD yang telah melekat bagi warga Solo memang memiliki sejarah panjang. Awalnya rumah sakit yang didirikan pada 1918 dan mulai beroperasi pada 17 Juli 1919 ini dinamakan Doorganghuisvoor Krankzinnigen.
Lokasi rumah sakit ini dulunya berada di kawasan Sriwedari, menempati areal sekitar 0,69 hektare dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.
Atas dasar kesepakatan bersama pada 1986, dalam bentuk ruilslag dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, Kantor RS Jiwa Pusat Surakarta akan digunakan sebagai Kantor KONI Kodia Surakarta. Maka itu, pada 3 Februari 1986 Rumah Sakit Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru ditepian Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Jalan Ki Hajar Dewantara Nomor 80 Solo dengan luas area 10 hektare lebih dengan luas bangunan 10.067 meter persegi.
Saat ini rumah sakit telah diintegrasikan ke dalam binaan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dari luasan itu, sekitar 45% lahannya telah di manfaatkan. RSJD Surakarta memiliki daya tampung sebanyak 297 tempat tidur. Tak hanya dari Solo Raya, pasien yang masuk juga dari daerah-daerah di Provinsi Jawa Timur bagian barat dan sebagian Yogyakarta.
Kepala Instalasi Humas dan Pemasaran RSJD Surakarta Totok Hardianto mengungkapkan, satu di antara alat peninggalan masa lalu di RSJD yang masih berfungsi adalah gamelan. Alat musik pentatonis tersebut dipakai untuk rehabilitasi pasien sampai kini. Di rumah sakit ini durasi pasien tinggal (long of stay) hampir tiga bulan. Selama masa itu pasien menjalani masa rehabilitasi. Proses rehabilitasi beragam mulai pertanian, pertukangan, musik, dan olahraga.
Sebelum dilepas kemasyarakat, pasien terlebih dahulu dilatih bermasyarakat melalui proses rehabilitasi. Namun, masa tinggal ini kemudian dipersingkat lantaran ada aturan baru dari BPJS.
RSJD Surakarta saat ini terus berkembang. Selain dokter jiwa, kini dokter dengan keahlian lain juga masuk. Seperti penyakit dalam, ahli syaraf, kulit dan kelamin, ahli anak, rehab medik, dan radiologi. “Biar one stop service dan komprehensif. Tidak perlu dirujuk lagi jika ada penyakit lainnya,” jelas Totok.
Perkembangan signifikan terjadi pada 2015 seiring penambahan alat-alat medis yang lebih lengkap guna menunjang pelayanan. “Kalau dulu juga komplet, tapi untuk pasien jiwa saja,” terangnya. Alat baru itu mulai dari analisis stres, pemetaan otak, dan lainnya. Sebelumnya, jika ada pasien yang menderita sakit diluar kejiwaan, maka dirujuk ke RSUD Dr Moewardi Solo.
Meski dokter dan perlengkapan medis di luar kejiwaan cukup komplet, namun pasien yang datang diakui masih jauh dari harapan karena stigma rumah sakit jiwa. Rata-rata masih memilih rumah sakit umum karena takut dengan stigma yang melekat. Guna mendekatkan diri kepada masyarakat, pihaknya mengembangkan rumah sakit tanpa dinding. RSJD Surakartapun menggandeng kelurahan dan kecamatan dalam rangka penyuluhan.
Dalam membentuk kader jiwa, pihak rumah sakit mengajari bagaimana mendeteksi orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Dengan kader-kader itu, orang yang memiliki potensi gangguan kejiwaan dapat diarahkan untuk berkonsultasi. Cara konsultasi dapat melalui telepon dan home care.
Pemerhati sejarah Solo Hendromasto mengatakan. RS Mangunjayan dibangun di era Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakoe Boewono (PB) X. Pihaknya menduga rumah sakit jiwa kala itu didirikan karena memang ada kebutuhan. RS Mangunjayan dulunya tak jauh dari Kadipolo yang dulunya ada rumah sakit. “Berdirinya beriringan, setelah Kadipolo kemudian baru Mangunjayan,” terangnya.
Dari keterangan pengelola RSJD, nama dr Arif Zainudin dipilih karena meninggal saat tugas, artinya masih menjabat di RSJD Surakarta. Pihak keluarganya juga sudah bisa ditemui dan untuk dimintai persetujuan. Namun, secara resmi nama RS Arif Zainudin belum sepenuhnya mendapat persetujuan mengingat peraturan daerah (perda) penggantian nama juga belum keluar.
CEO PMI Solo Sumartono Hadinoto mengatakan, RSJD Surakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Setelah pindah ke lokasi yang saat ini, RSJD Surakarta semakin berkualitas, baik dari fasilitas maupun lokasinya. “Pelayanannya juga semakin baik,” terang Sumartono.
Griya PMI Peduli yang dimiliki PMI Solo juga sering bekerja sama dengan RSJD Surakarta. Saat menjaring gelandangan atau orang telantar, PMI Solo terkadang menemukan dalam kondisi stres atau gangguan kejiwaan. Setelah melalui pemeriksaan dokter PMI Solo dan ada indikasi sakit jiwa, selanjutnya dirujuk ke RSJD Surakarta. (Ary wahyu Wibowo)
(ysw)