Kebakaran Lahan Masih Masalah Tahunan, Ini Kata Dewan Adat di Kalimantan
A
A
A
SANGGATA - Fenomena kebakaran lahan di Indonesia seolah-olah telah menjadi agenda tahunan yang kerap terjadi di musim kemarau. Meskipun pemerintah telah berupaya melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembakaran, peristiwa ini masih kembali dan terjadi lagi hampir setiap tahun, khususnya beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Terhitung berdasarkan analisis citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni yang dipublikasikan oleh website Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga hari ini terdapat lahan seluas 328.722,00 ha terbakar di Indonesia.
Mayoritas titik api yang muncul berada di areal lahan gambut. Gambut merupakan lapisan tanah yang terbentuk dari bahan-bahan organik seperti tumbuhan yang membusuk dan terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama. Budaya pembukaan lahan dengan cara membakar sebetulnya sudah ada sejak zaman nenek moyang zaman dahulu.
Sekjen Dewan Adat Besar Krayan Hulu, Kalimantan Utara, Ghat Khaleb, mengakui bahwa memang masyarakat Dayak di pedalaman melakukan pembakaran lahan, tapi dalam area dengan luasan yang terbatas.
Gat Khaleb menegaskan, meskipun warga Dayak membakar hutan, penduduk pedalaman sangat memperhitungkan kelestarian hutan. Lahan-lahan milik masyarakat sekadar untuk makan sehari-hari dan tidak untuk usaha besar. “Hanya sekadar mencari makan untuk berkebun, itu juga sangat terkendali,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Minggu (20/10/2019).
Menurut dia, hutan bagi warga pedalaman ibarat tanjung kehidupan. Tanpa mengambil sebagian lahan hutan, mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan cara ini telah ada sejak leluhur ratusan tahun lalu.
Seorang petani sawit bernama Ajew (24) di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, sebelumnya mengatakan bahwa masyarakat sekitar yang melakukan pembakaran lahan tidak pernah menyebabkan asap yang merugikan orang banyak. Mereka selalu membuat parit di tepian lahan yang dibakar untuk mencegah pembakaran melebar. “Luasnya juga paling hanya satu hektaran,” katanya.
Selain itu, dia juga memastikan bahwa setiap membakar lahan selalu ada beberapa orang yang bersiaga di lokasi pembakaran untuk menghalau api membesar. Meski demikian, Ajew merasa tidak bisa membenarkan jika aktivitas pembakaran lahan seperti itu, karena masih berisiko menimbulkan kebakaran lahan yang lebih besar.
Ia menilai, kebakaran hutan dan lahan juga sangat erat kaitannya dengan perusahaan perkebunan. Meski tidak semua, tapi ada sebagian perusahaan perkebunan yang selama ini telah menyumbang kabut asap akibat pembersihan lahan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan harus membabat hutan untuk membangun sebuah perkebunan. Karena biayanya yang mahal, tidak sedikit pengusaha mengambil jalan pintas membuka ratusan hektar lahan dengan cara dibakar. Hasilnya memang cepat dan signifikan, akan tetapi dampak yang ditimbulkan sangat mengerikan, mulai dari kerusakan ekosistem hingga kabut asap berkepanjangan.
Kebakaran hutan di mata sebagian perusahaan perkebunan menjadi hal yang mendapatkan perhatian khusus. Seperti yang dilakukan oleh PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC) di Kutai Timur, Kalimantan Timur. PT MKC berkomitmen untuk menjaga kelestarian dan mencegah kerusakan ekosistem alam yang diakibatkan oleh pembakaran lahan hingga penebangan liar. Salah satu bentuk kongkrit pencegahan kebakaran hutan dan lahan ini di antaranya adalah disediakannya kendaraan dan alat pemadam kebakaran lengkap yang dimiliki oleh PT MKC,” ujar Kepala Bidang Konservasi PT MKC, Rohimanfir.
Rohimanfir juga mengatakan bahwa tim pemadam kebakaran PT MKC Bersama masyarakat melakukan pemadaman intensif terhadap lahan yang terbakar di sekitar perusahaan yang disebabkan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Pada 22 September lalu , mereka mengamankan satu orang pelaku pembakaran lahan berinisial D (35) yang diamankan ke Polsek Bengalon. Pelaku sudah diangatkan beberapa kali sebelum akhirnya diamankan ke kantor polisi.
Kondisi sebagian besar lahan gambut Indonesia yang sudah tidak lagi prima seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak mengingat potensi kebakaran lahan di Indonesia sangat rentan terjadi di musim kemarau. Perbaikan ekosistem hutan dan lingkungan harus terus dilakukan, bukan hanya mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang kita miliki.
Jangan sampai peristiwa karhutla terus menjadi tamu tahunan yang terus menghantui sebagian masyarakat Indonesia bahkan hingga ke negri jiran. Semoga penderitaan para korban asap kebakaran bisa menjadi pelajaran dan perbaikan bukan sekedar perang kepentingan para peraup keuntungan.
Terhitung berdasarkan analisis citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni yang dipublikasikan oleh website Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga hari ini terdapat lahan seluas 328.722,00 ha terbakar di Indonesia.
Mayoritas titik api yang muncul berada di areal lahan gambut. Gambut merupakan lapisan tanah yang terbentuk dari bahan-bahan organik seperti tumbuhan yang membusuk dan terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama. Budaya pembukaan lahan dengan cara membakar sebetulnya sudah ada sejak zaman nenek moyang zaman dahulu.
Sekjen Dewan Adat Besar Krayan Hulu, Kalimantan Utara, Ghat Khaleb, mengakui bahwa memang masyarakat Dayak di pedalaman melakukan pembakaran lahan, tapi dalam area dengan luasan yang terbatas.
Gat Khaleb menegaskan, meskipun warga Dayak membakar hutan, penduduk pedalaman sangat memperhitungkan kelestarian hutan. Lahan-lahan milik masyarakat sekadar untuk makan sehari-hari dan tidak untuk usaha besar. “Hanya sekadar mencari makan untuk berkebun, itu juga sangat terkendali,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Minggu (20/10/2019).
Menurut dia, hutan bagi warga pedalaman ibarat tanjung kehidupan. Tanpa mengambil sebagian lahan hutan, mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan cara ini telah ada sejak leluhur ratusan tahun lalu.
Seorang petani sawit bernama Ajew (24) di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, sebelumnya mengatakan bahwa masyarakat sekitar yang melakukan pembakaran lahan tidak pernah menyebabkan asap yang merugikan orang banyak. Mereka selalu membuat parit di tepian lahan yang dibakar untuk mencegah pembakaran melebar. “Luasnya juga paling hanya satu hektaran,” katanya.
Selain itu, dia juga memastikan bahwa setiap membakar lahan selalu ada beberapa orang yang bersiaga di lokasi pembakaran untuk menghalau api membesar. Meski demikian, Ajew merasa tidak bisa membenarkan jika aktivitas pembakaran lahan seperti itu, karena masih berisiko menimbulkan kebakaran lahan yang lebih besar.
Ia menilai, kebakaran hutan dan lahan juga sangat erat kaitannya dengan perusahaan perkebunan. Meski tidak semua, tapi ada sebagian perusahaan perkebunan yang selama ini telah menyumbang kabut asap akibat pembersihan lahan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan harus membabat hutan untuk membangun sebuah perkebunan. Karena biayanya yang mahal, tidak sedikit pengusaha mengambil jalan pintas membuka ratusan hektar lahan dengan cara dibakar. Hasilnya memang cepat dan signifikan, akan tetapi dampak yang ditimbulkan sangat mengerikan, mulai dari kerusakan ekosistem hingga kabut asap berkepanjangan.
Kebakaran hutan di mata sebagian perusahaan perkebunan menjadi hal yang mendapatkan perhatian khusus. Seperti yang dilakukan oleh PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC) di Kutai Timur, Kalimantan Timur. PT MKC berkomitmen untuk menjaga kelestarian dan mencegah kerusakan ekosistem alam yang diakibatkan oleh pembakaran lahan hingga penebangan liar. Salah satu bentuk kongkrit pencegahan kebakaran hutan dan lahan ini di antaranya adalah disediakannya kendaraan dan alat pemadam kebakaran lengkap yang dimiliki oleh PT MKC,” ujar Kepala Bidang Konservasi PT MKC, Rohimanfir.
Rohimanfir juga mengatakan bahwa tim pemadam kebakaran PT MKC Bersama masyarakat melakukan pemadaman intensif terhadap lahan yang terbakar di sekitar perusahaan yang disebabkan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Pada 22 September lalu , mereka mengamankan satu orang pelaku pembakaran lahan berinisial D (35) yang diamankan ke Polsek Bengalon. Pelaku sudah diangatkan beberapa kali sebelum akhirnya diamankan ke kantor polisi.
Kondisi sebagian besar lahan gambut Indonesia yang sudah tidak lagi prima seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak mengingat potensi kebakaran lahan di Indonesia sangat rentan terjadi di musim kemarau. Perbaikan ekosistem hutan dan lingkungan harus terus dilakukan, bukan hanya mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang kita miliki.
Jangan sampai peristiwa karhutla terus menjadi tamu tahunan yang terus menghantui sebagian masyarakat Indonesia bahkan hingga ke negri jiran. Semoga penderitaan para korban asap kebakaran bisa menjadi pelajaran dan perbaikan bukan sekedar perang kepentingan para peraup keuntungan.
(thm)