Revitalisasi Pemasyarakatan di Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i

Sabtu, 05 Oktober 2019 - 11:47 WIB
Revitalisasi Pemasyarakatan di Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i
Revitalisasi Pemasyarakatan di Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i
A A A
CIANJUR - Jika mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cianjur, Jawa Barat, sempatkan menyambangi Masjid At Taubah, dan melongok beberapa blok di lantai atas dan bawah sebelah selatan masjid. Anda akan menemukan suasana yang sama sekali bukan khas penjara, tapi pesantren.

Itu memang pesantren. Namanya Pesantren At Taubah. Berbeda dengan pesantren biasa, yang ‘mondok’ – istilah pesantren untuk orang yang belajar di pesantren – di sini bukan masyarakat umum, tapi para tahanan.

Mereka terbagi ke dalam banyak kelompok. Kelompok-kelompok itu belajar di beberapa blok yang disulap menjadi kelas. Tidak ada meja dan kursi. Semua tahanan belajar di lantai beralas tikar.

Di luar blok, kelompok-kelompok lain belajar di masjid. Setiap kelompok terdiri dari 10 sampai 20 orang, dengan kelas-kelas yang dibatasi tripleks. Ada yang belajar baca-tulis huruf Arab. Lainnya belajar membaca Alquran dan tajwid.

Kelompok lain serius berdzikir. Di luar kelompok-kelompok itu, satu kelompok tahanan lain berkerumun menyaksikan rekan mereka berwudlu dengan bimbingan asatidz alias ustadz. Usai wudlu, setiap tahanan mengangkat tangan dan berdoa.

“Ini kelompok yang mulai belajar shalat,” ujar Gumilar Budirahayu, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas IIB Cianjur, Jawa Barat.

Pesantren At Taubah berdiri 9 Mei 2012, dengan seluruh santri adalah tahanan Lapas Kelas IIB Cianjur beragama Islam. Jumlah mereka, menurut perkiraan Gumilar, sekitar 95 persen dari 833 tahanan. Sebagian besar tahanan adalah narapidana kasus narkoba, dengan masa hukuman antara tiga sampai 15 tahun.

“Mereka wajib mengikuti kegiatan pesantren,” ujar Gumilar di ruang kerjanya. Namun, namanya juga manusia, selalu saja ada yang malas dan membandel. Petugas kami tak pernah bosan mengingatkan," katanya.

Sejenak melihat ke belakang, penggunaan metode pesantren untuk membina para tahanan muncul tahun sekitar tahun 2010, atau saat Lapas Kelas IIB Cianjur dipimpin Sahat Philip Parapat.

Saat itu, Philip mendatangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur, mengutarakan keinginannya menggunakan metode pesantren untuk membina tahanan.
Revitalisasi Pemasyarakatan di Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i

“MUI Kabupaten Cianjur merespons positif gagasan Pak Philip yang merupakan pemeluk Katolik,” ujar Pak Gumilar.

MUI Cianjur kemudian menunjuk Kiai Totoy Muchtar Ghozali sebagai pengajar yang ditempatkan di Lapas Kelas II B Cianjur. Selain mengajar, Kiai Totoy yang akrab dipanggil tahanan dengan sebutan Mama Lapas, mempelajari kemungkinan mendirikan pesantren di lapas.

Setelah setahun lebih, KH Totoy melapor ke MUI Cianjur bahwa membuat pesantren di Lapas Kelas IIB Cianjur sangat mungkin. Ia mempersiapkan pendirian pesantren, membangun masjid, dan merekrut tenaga pengajar.

Menurut rekan sesama perintis pesantren, Haji Sopandi, tidak ada honor, gaji, atau bayaran untuk asatidz. Menurut pensiunan polisi berpangkat Ipda berusia 65 tahun itu, MUI hanya memberikan uang transport Rp300 ribu per bulan.

“Itu pun tidak setiap bulan dibayarkan. Bahkan sampai saat ini kami telah lima bulan belum menerima uang transport,” kata Sopandi.

Lapas Kelas IIB Cianjur juga tidak memberikan honor, karena ketiadaan anggaran. “Bagaimana mungkin kami membayar para asatidz yang berjumlah sekitar 36 orang. Tapi, para asatidz telah berkomitmen bahwa mengajar di sini adalah bagian syiar agama. Mereka tak mengharap materi," katanya.
Revitalisasi Pemasyarakatan di Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i

Sementara itu, Herman Faqih, alumnus UIN Bandung yang telah mengajar sejak 2012, tidak pernah berniat meninggalkan Pesantren At Taubah kendati materi yang diterima tak sepadan.

Ia juga harus piawai membagi waktu mengajar di sebuah madrasah di Cianjur. Selain Sopandi dan Herman Faqih, asatidz lain berasal dari beberapa pesantren di seluruh Cianjur.

Setelah tujuh tahun berjalan, Pesantern At Taubah Lapas Kelas IIB Cianjur relatif telah menghasilkan dua da’i. Neneng bin Cece dan Heri Suherlan. Kedua laki-laki itu kerap datang untuk mengajar para tahanan.

Neneng bin Cece kini menjadi penceramah di kampungnya. Heri Suherlan, dengan latar belakang pendidikan agama yang lebih baik sebelum menjadi tahanan, kini menjadi kepala sekolah di sebuah madrasah di Cianjur.

Setelah tujuh tahun berjalan, muncul keinginan untuk meningkatkan kualitas Pesantren At Taubah. “Saya sudah berbicara dengan Mama Lapas tentang hal ini,” kata Gumilar.

“Saya bertekad menjaga kelangsungan pesantren dan meningkatkan kualitasnya. Pesantren At Taubah juga harus memiliki perpustakaan,' ujarnya.

Pihak Lapas telah membangun rak-rak buku. Untuk isinya, setiap petugas Lapas yang berjumlah 90 orang, diwajibkan menyumbang dua buku. “Saya sendiri akan membeli 50 buku untuk mengisi perpustakaan,” kata Gumilar.

Beberapa waktu lalu, Dirjen Pemasyarakatan Kemen KUMHAM Sri Puguh Budi Utami menyatakan pentingnya keberadaan pesantren yang berada di dalam Lapas. Baginya, hal tersebut sangat strategis, apalagi pemerintah pun menekankan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk bagi warga binaan di dalam Lapas.

Dirjen Utami menambahkan, pembinaan sisi relijius para tahanan dan napi di Lapas dan Rutan itu memungkinkan pembinaan yang lebih baik dan manusiawi, baik dari sisi mental maupun kepribadian.

Menurut Dirjenpas, menyadari betapa pentingnya sisi relijiusitas tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mencanangkan program penghapusan buta aksara huruf Alquran bagi para tahanan dan napi Muslim sejak September 2018 lalu.

"Sejak hari pertama 1440 H, dengan niat tulus dan ikhlas kita semua berharap bisa menjadi dan mencetak lebih banyak lagi insan-insan Ilahi yang lebih baik dan bertakwa," kata Dirjen Utami.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7707 seconds (0.1#10.140)