Sumur Jobong dan Kisah Kejayaan Majapahit di Surabaya

Senin, 16 September 2019 - 05:00 WIB
Sumur Jobong dan Kisah...
Sumur Jobong dan Kisah Kejayaan Majapahit di Surabaya
A A A
Temuan sumur Jobong di Kota Pahlawan membuka tabir baru pengaruh jejak Majapahit. Kejayaan Majapahit itu menegaskan peran sentral kebudayaan mereka dalam pembentukan berbagai kehidupan di hilir sungai.

Pada sebuah petang, sumur yang berada di kawasan Pandean Gang 1 Surabaya itu merajut patahan sejarah di Surabaya. Di sebuah gang kecil, terdapat Sumur Jobong sisa kejayaan Majapahit yang masih membekas di Kota Surabaya.

Kejayaan kerajaan yang tersohor di seluruh nusantara meninggalkan beberapa kisah yang sulit untuk dilupakan di Surabaya.

Dalam penutup sumur itu pun ditulisi bahwa Sumur Jobong ini terbuat dari bahan terakota. Sebuah bahan yang begitu lekat dengan kejayaan Majapahit di masa silam. Sumur Jobong seperti ini banyak terdapat pada situs-situs permukiman pada masa Hindu Budha, khususnya di kawasan Trowulan yang merupakan Ibu Kota Kerajaan Majapahit.

Di dalam sumur, berbagai gerabah bongkahan keramik serta tulang belulang yang ditemukan menjadi kisah yang tak bisa dipisahkan. Jobong yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di masa itu, di saat Surabaya belum terlihat sebagai pemukiman yang bisa ditinggali manusia.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencoba membuka beberapa dokumen hasil kajian tim dari Trowulan tentang Sumur Jobong ini. Beberapa lembar dilahap untuk dipahami dan memastikan keberadaan sumur tua yang sudah hadir pada era Majapahit.

Risma mengatakan, dulu ada cerita bahwa Kota Surabaya itu namanya ujung galuh. Dengan adanya bukti-bukti sejarah ini, maka berarti betul bahwa Surabaya itu jadi kota pada zaman Majapahit. Oleh karena itu, bukti sejarah ini bisa menjadi situs dan kawasan yang dilindungi, sehingga nantinya bisa dimanfaatkan untuk sektor turisme di Surabaya.

“Kami butuh waktu untuk merangkai sebuah cerita antara data yang ada di buku sejarah dengan hasil temuan kita di lapangan. Memang sulit tapi bukan tidak bisa, butuh biaya dan waktu,” kata Risma, Minggu (15/9/2019).

Risma mengatakan, di kampung ini pasti ada sebuah cerita yang terkait dengan masa lampau atau bahkan sebelum kolonial datang. Makanya, pihaknya ke depan akan semua bukti itu karena semua ini sangat sulit, apalagi usia dari benda-benda itu berbeda-beda. Sehingga nanti akan sulit untuk merangkaikan dalam satu cerita.

“Tapi sekali lagi bukan tidak bisa. Yang paling penting jangan sampai keterkaitan sejarah ini hilang begitu saja,” kata dia.

Nantinya, benda-benda itu akan diteliti dan digandengkan cerita-ceritanya, sehingga diharapkan akan diketahui bahwa kawasan ini berkembang pada masa apa. Jika berhasil menggandengkan cerita-cerita itu, dia yakin bahwa cerita itu akan lebih bagus dan menarik dari pada cerita di Eropa.

“Makanya nanti suatu saat ini dibuat serangkaian cerita, apalagi kawasan ini sudah termasuk kawasan cagar budaya,” kata dia.

Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim di Trowulan beberapa waktu lalu melakukan tinjauan langsung ke Sumur Jobong di Pandean. Dari hasil tinjauannya, ada temuan berupa jobong bertumpuk dua. Jobong itu berupa bis terakota yang terbuat dari tanah liat seperti yang banyak ditemukan ditemukan di situs Trowulan, Mojokerto.

“Hasil temuan ini merupakan masuk dalam cagar budaya, itu yang kami lihat dari Sumur Jobong di Pandean,” kata Ikhwan , Pengkaji Pelestarian Cagar Budaya dari BPCB Jatim.

Dia menjelaskan, jobong bertumpuk yang ditemukan juga memiliki ukuran yang berbeda. Untuk jobong atas diameternya 83 cm, ketebalan 2,5 cm, tinggi 48 cm. Selanjutnya yang ada di bawah itu lebih kecil, diameter 69 cm, ketebalan 3 cm dan tinggi 49 cm.

“Jadi Jobong ini hampir sama dengan temuan seperti yang ada di Trowulan, ukurannya juga sama,” jelas dia.

Kedalaman sumur tua ini diperkirakan mencapai 2 meter. Sebuah batu bata raksasa yang ditemukan di dalam jobong juga dipastikan sama dengan yang kerap ditemukan di Trowulan. Material yang dipakai juga sama denganciri khas batu bata di Mojokerto.

“Temuan ini merupakan batu-batu kuno yang ukurannya hampir sama dengan di era Majapahit di Trowulan,” kata dia.

Selain batu bata, di dalam sumur juga ditemukan tulang-belulang dan pecahan tembikar. Pihaknya belum bisa menyimpulkan usia dan data lainnya tentang temuan itu. Namun, Sumur Jobong ini membuka tabir baru tentang sejarah panjang kerajaan.

Dalam buku "Er Werd Eenstad Geboren", karya GH Von Faber (1953), ada beberapa lembar halaman yang mengulas keberadaan sebuah kota yang berada di pinggir bengawan.

Dalam tulisan itu memang tidak disebutkan bahwa tempat peradaban itu adalah Hujung Galuh. Von Faber menyebut bahwa kota ini adalah Surabaya. Kota ini dibangun oleh Raja Kertanegara pada 1275 sebagai tempat yang layak bagi orang-orang yang telah berjasa dalam menumpas pemberontakan kemuruhan pada 1270.

Sebelumnya, mereka ini tinggal di Glagah Arum, yang lokasinya berada di selatan kota pelabuhan yang berkalang kali. Glagah Arum adalah nama sebuah kawasan yang cukup luas. Lebih luas dari kota berkalang kali yang menurut Von Faber menjadi cikal bakal Surabaya.

Glagah Arum adalah sebuah kawasan, yang secara geografis, berada di wilayah delta sungai Kalimas dan kali Pegirian. Kawasan Glagah Arum dikekilingi oleh air atau sungai.

Di selatan terdapat Kalimas, di sisi barat masih terusan Kalimas, di sisi timur ada kali Pegirian dan di utara terdapat terusan air (verbindinggracht) yang menghubungkan Kalimas dan kali Pegirian. Kini saluran penghubung itu sudah berubah menjadi Jalan Jagalan.

Pada eranya, kawasan Glagah Arum seperti sebuah benteng alami yang wilayahnya dilingkari oleh sungai. Alamnya rimbun dengan pepohonan, konturnya sedikit membukit.

Menurut Von Faber, Glagah Arum adalah lokasi pengasingan bagi orang-orang yang dianggap sebagai kotoran rakyat (korak). Selanjutnya, justru di tangan dan pundak merekalah, pada tahun 1270 pemberontakan Kemuruhan bisa ditumpas.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1067 seconds (0.1#10.140)