Konflik di Keraton Solo Kembali Panas, Lembaga Dewan Adat Merasa Diusir

Selasa, 03 September 2019 - 22:24 WIB
Konflik di Keraton Solo Kembali Panas, Lembaga Dewan Adat Merasa Diusir
Konflik di Keraton Solo Kembali Panas, Lembaga Dewan Adat Merasa Diusir
A A A
SOLO - Kondisi internal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo kembali bergejolak. Sejumlah kerabat keraton merasa terusir menyusul dilayangkannya surat dari SISKS Pakoe Boewono (PB) XIII. Dalam surat itu, Raja Keraton Solo meminta 14 nama yang tercantum untuk mengosongkan tanah dan bangunan keraton yang dipakai.

Surat yang dilayangkan nomor 011/PBXIII-KKSH/VIII/2019 tertanggal 26 Agustus 2019 dan ditandatangani Raja PB XIII. Sementara, 14 nama yang tercantum adalah GPH Puger, Gray Koes Moertiyah (Gusti Moeng), KP Eddy Wirabhumi, Gray Koes Supiyah, GRay Koes Handariyah, GRay Isbandiyah, GRay Koes Indriyah, GRay Timoer Rumbai Dewayani, BRM Bimo Rantas SRHW, BRM Adityo Soeryo Harbanu, Sardiatmo Brotodiningrat, BRM Djoko Marsaid, RM Djoko Budi Suharnowo, KRMH Bambang Sutedjo.

“Yang sudah menerima surat itu adalah GRay Timoer Rumbai Dewayani, kalau saya belum menerima,” kata KP Eddy Wirabhumi, Selasa (3/9/2019).

Meski demikian, juru bicara Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Kasunanan Surakarta itu telah membaca surat yang dilayangkan kepada GRay Timoer Rumbai Dewayani yang tak lain adalah anak PB XIII Hangabehi. Terkait munculnya surat itu, dirinya menilai ada pihak yang merasa tidak nyaman atas kondisi keraton yang sedikit mereda.

“Sejak 2004 hingga 2019 (konflik internal), melahirkan pemahaman bagi keluarga besar bahwa pada akhirnya yang terpenting adalah mencari solusi,” katanya.

Sembari mencari solusi, sebenarnya yang terpenting adalah menciptakan suasana sejuk dan nyaman.

Terlebih keraton merupakan lembaga adat dan budaya yang semestinya menjadi contoh yang baik masyarakat. Saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gusti Moeng yang merupakan Ketua LDA Keraton Solo telah meminta penyelesaian yang komprehensif, menyeluruh, dan melibatkan seluruh komponen.

“Itu merupakan pedoman sikap dari keluarga besar untuk mencari solusi atas persoalan yang terjadi,” tegasnya.

Pihaknya telah memberi ruang kepada tim yang tugaskan Presiden untuk mencari formula penyelesaian. Konsekwensinya, LDA tiarap, tidak mau mengganggu dan bersikap yang aneh aneh.

“Sehingga kami kemudian kaget karena mendapatkan surat seperti itu,” tandasnya. Dari analisis yang dilakukan, sejumlah nama yang disebutkan dalam surat bukan kapasitas sebagai seseorang melainkan ada kaitan secara kelembagaan.

Ketika 2004 saat terjadi proses pergantian tahta, lanjutnya, keluarga besar keraton yang tergabung dalam komunitas adat adalah yang mendorong, memproses, dan menyepakati agar Hangabehi menjadi Raja PB XIII.

Kesepakatan adat itu selanjutnya menjadi dokumen Lembaga Dewan Adat. Artinya, komunitas adat meneguhkan diri hanya mengakui Hangabehi sebagai PB XIII. Sehingga dapat diartikan bahwa LDA yang mendudukkan dan memberi legitimasi Hangabehi sebagai Raja PB XIII.

Sehingga tudingan menempati dan memanfaatkan bangunan bangunan keraton tanpa izin sebagaimana yang dialamatkan tidak berdasar. Sebab sebelumnya sudah ada izin dari Raja terdahulu, yakni PB XII. Sehingga aturan yang disampaikan PB XIII tidak bisa berlaku surut.

“Kedua adalah keraton merupakan kelembagaan adat, bukan privat atau pribadinya raja,” tegasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Raja PB XIII, KP Ferry Firman Nurwahyu membantah surat yang dilayangkan adalah sebagai bentuk pengusiran. Namun yang benar adalah Raja PB XIII selaku pemimpin di keraton melakukan penertiban.

“Penertiban seperti ini bukan yang pertama kali, namun telah berkali kali. Ulahnya dilakukan oleh orang yang sama,” ucap Firman. Seperti tahun 2017 lalu, ada permintaan bantuan pengamanan dalam rangka penertiban terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang menduduki, memanfaatkan tanah dan bangunan keraton.

Saat itu, penertiban dilakukan terhadap Gusti Puger, Gusti Moeng, dan KP Eddy Wirabhumi yang dinilai menempati atau menguasai keraton sekitar empat tahun. Sehingga Raja PB XIII tidak bisa melaksanakan kepemimpinannya dengan sempurna.

Seperti tidak bisa melaksanakan jumenengan (peringatan raja naik tahta). Selain menduduki keraton, Gusti Moeng dan lainnya juga mengusai bangunan bangunan di sekitar Kori Kamandungan maupun alun-alun utara.

Mereka menempati bangunan bangunan itu tanpa izin dari Sinuhun Raja PB XIII. “Jadi penertiban ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan kepentingan pribadi,” tegasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5536 seconds (0.1#10.140)