Pemblokiran Internet di Papua, Wartawan Kesulitan Bekerja
A
A
A
PAPUA - Pemerintah memblokir jaringan internet di Papua dan Papua Barat sejak Rabu, 23 Agustus 2019. Pemerintah beralasan untuk memulihkan ketertiban di Tanah Papua. Pemerintah mengklaim pemblokiran data internet di Papua untuk kepentingan dan kebaikan bersama masyarakat Indonesia.
Pemblokiran internet pada mulanya hanya terjadi pada paket data Telkomsel yang diawali dengan sedikit sinyal. Sedangkan untuk Indihome Telkom masih lancar. Tapi sejak Minggu, 25 Agustus waktu Papua, semua jaringan benar-benar off. Akibatnya, wartawan di Papua dan Papua Barat kesulitan bekerja.
"Sejak pembatasan hingga pemblokiran paket data internet Telkomsel di Papua dan Papua Barat, kami para wartawan berusaha mencari sinyal internet di beberapa WiFi corner dan cafe yang mempunyai sinyal internet, namun sayangnya sinyal internet tak berfungsi sama sekali," ujar Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Papua Barat, Chanry Suripatty, Selasa (27/8/2019). (Baca juga: Internet Diblokir, Dinilai Bukan Solusi Pintar Atasi Masalah di Papua)
Ia menyebutkan, sejumlah kantor koran dan media online lumpuh karena wartawan di lapangan tidak bisa mengirimkan berita dan redaktur tidak bisa memeriksa email dan pesan WA atau Telegram mereka. Bahkan para koresponden Media nasional yang bertugas di Papua dan Papua Barat, sama sekali kesulitan untuk mengirimkan laporan reportase mereka dari lapangan ke kantor Redaksi mereka masing-masing di Jakarta.
Dengan kondisi ini IJTI Papua Barat menyampaikan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1. Pers tidak berfungsi di Papua karena pemerintah memblokir jaringan internet.
2. Tindakan pemerintah yang sepihak mematikan internet dalam penanganan kasus Papua telah melanggar Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan, setiap orang berhak memperoleh dan menerima informasi serta pasal 19 tentang Deklarasi HAM, yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari dan menerima informasi. Namun pemerintah pusat seolah-olah tidak mengindahkan gugatan tersebut.
3. Pers beraktivitas melalui aturan yang berbeda dari media sosial. Jika pemerintah beralasan pemblokiran internet untuk mengurangi dampak hoaks di media sosial, mestinya pemerintah juga mempertimbangkan dampaknya kepada pers.
4. Jurnalis di Papua dan Papua Barat dalam pemberitaan terkait dalam penanganan kasus Papua telah berusaha menjalankan sesuai kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.
5. Untuk meredam konflik di Papua dan Papua Barat, jurnalis telah mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme damai.
6. Jika keputusan harus diambil, pemerintah mesti membantu pers di Papua dengan pelayanan internet alternatif agar mereka tetap bisa bekerja melayani publik di bidang informasi dan kontrol sosial. Tentu terlebih dulu berkoordinasi dengan pemimpin-pemimpin redaksi media di Papua dan Jakarta, dan bisa melibatkan Dewan Pers.
7. Pemerinah mesti mengajak pers berunding, meminta maaf telah mengganggu, dan menghormati kelancaran kerja pers seperti diamanatkan dalam UU Pers, yaitu menjamin kemerdekaan pers.
9. Pers zaman sekarang tidak akan merdeka atau bebas jika internet ke meja redaksinya diputus.
10. Meminta Kementerian Informasi dan Komunikasi dalam hal ini Menkominfo untuk segera membuka kembali akses internet di Papua dan Papua Barat, dimana saat ini kondisi di Papua dan Papua Barat sangat kondusif.
Menurut dia, situasi yang terjadi di Papua adalah reaksional warga Papua yang menuntut harkat dan martabat mereka untuk dihargai dan dihormati. Warga Papua memprotes beberapa kejadian persekusi dan intimidasi oleh oknum-oknum aparat keamanan dan ormas di Surabaya, Malang dan Semarang.
"Warga Papua hanya menginginkan para pelaku segera diproses hukum dan pemerintah harus hadir di tengah-tengah rakyat Papua agar tindakan rasisme dan persekusi yang sudah sering terjadi terhadap rakyat Papua tidak lagi terjadi," pungkasnya.
Pemblokiran internet pada mulanya hanya terjadi pada paket data Telkomsel yang diawali dengan sedikit sinyal. Sedangkan untuk Indihome Telkom masih lancar. Tapi sejak Minggu, 25 Agustus waktu Papua, semua jaringan benar-benar off. Akibatnya, wartawan di Papua dan Papua Barat kesulitan bekerja.
"Sejak pembatasan hingga pemblokiran paket data internet Telkomsel di Papua dan Papua Barat, kami para wartawan berusaha mencari sinyal internet di beberapa WiFi corner dan cafe yang mempunyai sinyal internet, namun sayangnya sinyal internet tak berfungsi sama sekali," ujar Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Papua Barat, Chanry Suripatty, Selasa (27/8/2019). (Baca juga: Internet Diblokir, Dinilai Bukan Solusi Pintar Atasi Masalah di Papua)
Ia menyebutkan, sejumlah kantor koran dan media online lumpuh karena wartawan di lapangan tidak bisa mengirimkan berita dan redaktur tidak bisa memeriksa email dan pesan WA atau Telegram mereka. Bahkan para koresponden Media nasional yang bertugas di Papua dan Papua Barat, sama sekali kesulitan untuk mengirimkan laporan reportase mereka dari lapangan ke kantor Redaksi mereka masing-masing di Jakarta.
Dengan kondisi ini IJTI Papua Barat menyampaikan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1. Pers tidak berfungsi di Papua karena pemerintah memblokir jaringan internet.
2. Tindakan pemerintah yang sepihak mematikan internet dalam penanganan kasus Papua telah melanggar Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan, setiap orang berhak memperoleh dan menerima informasi serta pasal 19 tentang Deklarasi HAM, yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari dan menerima informasi. Namun pemerintah pusat seolah-olah tidak mengindahkan gugatan tersebut.
3. Pers beraktivitas melalui aturan yang berbeda dari media sosial. Jika pemerintah beralasan pemblokiran internet untuk mengurangi dampak hoaks di media sosial, mestinya pemerintah juga mempertimbangkan dampaknya kepada pers.
4. Jurnalis di Papua dan Papua Barat dalam pemberitaan terkait dalam penanganan kasus Papua telah berusaha menjalankan sesuai kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.
5. Untuk meredam konflik di Papua dan Papua Barat, jurnalis telah mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme damai.
6. Jika keputusan harus diambil, pemerintah mesti membantu pers di Papua dengan pelayanan internet alternatif agar mereka tetap bisa bekerja melayani publik di bidang informasi dan kontrol sosial. Tentu terlebih dulu berkoordinasi dengan pemimpin-pemimpin redaksi media di Papua dan Jakarta, dan bisa melibatkan Dewan Pers.
7. Pemerinah mesti mengajak pers berunding, meminta maaf telah mengganggu, dan menghormati kelancaran kerja pers seperti diamanatkan dalam UU Pers, yaitu menjamin kemerdekaan pers.
9. Pers zaman sekarang tidak akan merdeka atau bebas jika internet ke meja redaksinya diputus.
10. Meminta Kementerian Informasi dan Komunikasi dalam hal ini Menkominfo untuk segera membuka kembali akses internet di Papua dan Papua Barat, dimana saat ini kondisi di Papua dan Papua Barat sangat kondusif.
Menurut dia, situasi yang terjadi di Papua adalah reaksional warga Papua yang menuntut harkat dan martabat mereka untuk dihargai dan dihormati. Warga Papua memprotes beberapa kejadian persekusi dan intimidasi oleh oknum-oknum aparat keamanan dan ormas di Surabaya, Malang dan Semarang.
"Warga Papua hanya menginginkan para pelaku segera diproses hukum dan pemerintah harus hadir di tengah-tengah rakyat Papua agar tindakan rasisme dan persekusi yang sudah sering terjadi terhadap rakyat Papua tidak lagi terjadi," pungkasnya.
(thm)