Dianiaya Depan Anak, Petani Sawit Mengadu ke Komnas HAM
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi dan Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan didorong mempercepat proses penanganan perkara penganiayaan Basta Siahaan, petani sawit di Kampung Sawah, Desa Mendis Jaya, Kecamatan Bayu Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, oleh oknum polisi kehutanan (Polhut).
“Saya meminta keadilan terhadap penganiayaan yang dilakukan oknum polhut dan preman terhadap suami saya (Basta Siahaan). Suami saya diseret dan dipukuli di hadapan saya dan anak saya yang masih kecil,” kata Peberenti, istri korban saat ditemui di Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Rabu (14/8/2019).
Peberenti mengisahkan, pada 28 Februari 2019 malam, oknum polhut bersama preman mengendarai mobil dinas Polhut Sumsel mendatangi dan menuding lahan berkebun milik korban berada pada areal hutan produksi. Selanjutnya oknum polhut melakukan BAP (berita acara pemeriksaan) terhadap korban dengan intimidasi senjata laras panjang ke arah korban.
Tak berhenti sampai di situ, korban bersama keluarga digiring ke kantor KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Bayung Lincir, untuk bertemu Kepala Resot pada UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) KPH Wilayah II Lalan Mendis berinisial MBK.
Seusai BAP, MBK menurut Peberenti, kemudian mengingatkan korban agar memberi sejumlah uang karena anggota polhut telah jauh-jauh datang dari Palembang. “Mengertilah, mereka (oknum polhut) kan jauh-jauh datang dari provinsi,” kisah Peberenti menirukan ucapan MBK.
Namun, karena korban tak bisa memenuhi permintaannya, seorang anggota polhut berinsial Jup kemudian memerintahkan membawa ke Palembang. Pada saat itulah terjadi penganiayaan berupa penyeretan, pemukulan terhadap Basta, istri dan anaknya yang mencoba menghalangi. “Kami diseret ke mobil preman dan dibawa ke Balai Gakum Kehutanan Palembang,” jelasnya.
Andy Nababan, kuasa hukum korban menuturkan kedatangan pihaknya ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan merupakan upaya menindaklanjuti laporan yang telah dilakukan pada 11 Juli 2019. Kala itu pihaknya melaporkan Polda Sumsel, Kepolisian Kehutanan Sumsel. “Kami mendesak Komnas HAM dan Komnas Perempuan segera memeriksa saksi-saksi yang terlibat dalam kasus ini,” tukasnya.
Lebih jauh Andy menjelaskan, penganiayaan ini sebenarnya sudah dilaporkan ke Polda Sumsel, 2 Maret 2019. Hanya saja hingga kini pelaporan tersebut menurut Andi tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
“Bahkan pada 25 Juni 2019 kami diberitahu lewat surat oleh Polda Sumsel bahwa pelaporan dinilai tidak mencukupi alat bukti. Padahal saksi dan hasil visum dari penganiayaan itu sudah dilampirkan,” tukas Andy.
Dalam perjalanannya Basta Siahaan kemudian didakwa dengan Pasal 92 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b Jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a dan /atau huruf b UU RI No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
”Basta Siahaan yang berdasarkan Surat Keterangan Usaha dari Kecamatan Bayung Lencir mengerjakan 10 hektare lahannya, harus ditangkap, disiksa dan ditahan bahkan diadili. Sedangkan tak kurang dari 70.000 hektare lahan di Kecamatan Bayung Lencir sendiri sudah berubah menjadi perkebunan sawit dan karet, ada apa?,” Jelas Andy.
Andy menjelaskan lebih lanjut bahwa Presiden telah mengeluarkan aturan Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Secara rinci Perpres tersebut mengatur tata cara penyelesaian sengketa terkait penguasaan tanah di kawasan hutan oleh masyarakat, pemidanaan tidak serta merta dapat diterapkan.
“Justru peraturan tersebut menghindari penyelesaian konflik pertanahan dengan memidanakan masyarakat,” jelasnya.
Andy menambahkan, penerapan pidana berdasarkan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dinilai tidak cermat. Padahal Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
“Saya meminta keadilan terhadap penganiayaan yang dilakukan oknum polhut dan preman terhadap suami saya (Basta Siahaan). Suami saya diseret dan dipukuli di hadapan saya dan anak saya yang masih kecil,” kata Peberenti, istri korban saat ditemui di Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Rabu (14/8/2019).
Peberenti mengisahkan, pada 28 Februari 2019 malam, oknum polhut bersama preman mengendarai mobil dinas Polhut Sumsel mendatangi dan menuding lahan berkebun milik korban berada pada areal hutan produksi. Selanjutnya oknum polhut melakukan BAP (berita acara pemeriksaan) terhadap korban dengan intimidasi senjata laras panjang ke arah korban.
Tak berhenti sampai di situ, korban bersama keluarga digiring ke kantor KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Bayung Lincir, untuk bertemu Kepala Resot pada UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) KPH Wilayah II Lalan Mendis berinisial MBK.
Seusai BAP, MBK menurut Peberenti, kemudian mengingatkan korban agar memberi sejumlah uang karena anggota polhut telah jauh-jauh datang dari Palembang. “Mengertilah, mereka (oknum polhut) kan jauh-jauh datang dari provinsi,” kisah Peberenti menirukan ucapan MBK.
Namun, karena korban tak bisa memenuhi permintaannya, seorang anggota polhut berinsial Jup kemudian memerintahkan membawa ke Palembang. Pada saat itulah terjadi penganiayaan berupa penyeretan, pemukulan terhadap Basta, istri dan anaknya yang mencoba menghalangi. “Kami diseret ke mobil preman dan dibawa ke Balai Gakum Kehutanan Palembang,” jelasnya.
Andy Nababan, kuasa hukum korban menuturkan kedatangan pihaknya ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan merupakan upaya menindaklanjuti laporan yang telah dilakukan pada 11 Juli 2019. Kala itu pihaknya melaporkan Polda Sumsel, Kepolisian Kehutanan Sumsel. “Kami mendesak Komnas HAM dan Komnas Perempuan segera memeriksa saksi-saksi yang terlibat dalam kasus ini,” tukasnya.
Lebih jauh Andy menjelaskan, penganiayaan ini sebenarnya sudah dilaporkan ke Polda Sumsel, 2 Maret 2019. Hanya saja hingga kini pelaporan tersebut menurut Andi tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
“Bahkan pada 25 Juni 2019 kami diberitahu lewat surat oleh Polda Sumsel bahwa pelaporan dinilai tidak mencukupi alat bukti. Padahal saksi dan hasil visum dari penganiayaan itu sudah dilampirkan,” tukas Andy.
Dalam perjalanannya Basta Siahaan kemudian didakwa dengan Pasal 92 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b Jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a dan /atau huruf b UU RI No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
”Basta Siahaan yang berdasarkan Surat Keterangan Usaha dari Kecamatan Bayung Lencir mengerjakan 10 hektare lahannya, harus ditangkap, disiksa dan ditahan bahkan diadili. Sedangkan tak kurang dari 70.000 hektare lahan di Kecamatan Bayung Lencir sendiri sudah berubah menjadi perkebunan sawit dan karet, ada apa?,” Jelas Andy.
Andy menjelaskan lebih lanjut bahwa Presiden telah mengeluarkan aturan Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Secara rinci Perpres tersebut mengatur tata cara penyelesaian sengketa terkait penguasaan tanah di kawasan hutan oleh masyarakat, pemidanaan tidak serta merta dapat diterapkan.
“Justru peraturan tersebut menghindari penyelesaian konflik pertanahan dengan memidanakan masyarakat,” jelasnya.
Andy menambahkan, penerapan pidana berdasarkan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dinilai tidak cermat. Padahal Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(wib)