Banten Miliki Potensi Penghasil Kopi Terbaik
A
A
A
SERANG - Provinsi Banten tak hanya memiliki budaya unik yang paling terkenal, seperti debus dan pariwisatanya. Namun siapa sangka, provinsi termuda di Pulau Jawa yang dibentuk pada 2000 itu punya potensi kopi jenis robusta dan arabika yang tak kalah hebatnya dengan daerah lain di Indonesia.
Pada April 2019, kopi asal Tanah Jawara terse but dipamerkan dalam sebuah Festival Kopi Banten dengan tema “Banten Punya Kopi” di Pendopo Bupati Serang. Sejumlah komunitas barista hadir dan digelar berbagai kegiatan, mulai diskusi tentang kopi, melukis dengan bahan baku kopi, hingga memanjakan pengunjung dengan menggratiskan sekitar 1.000 gelas kopi.
Berdasarkan data yang di peroleh, Provinsi Banten memiliki luas tanaman kopi hampir 6.400 hektare tersebar di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang. Namun, tingkat produksinya per tahun masih rendah, yakni 2.428 hektare.
Gubernur Banten Wahidin Halim beberapa waktu lalu sempat mam pir ke perkampungan petani kopi di Desa Wanagiri, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Menurut dia, Banten memiliki potensi hasil kopi robusta dan arabika terbaik. Ini merupakan aset pertanian yang harus diberdayakan dan terus dikembangkan. “Komoditas kopi di Banten sangat luar biasa, kedai kopi sudah banyak bermunculan. Hal ini menandakan tingkat perekonomian yang meningkat,” ujar Wahidin.
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus Tauchid mengungkapkan, pengembangan komoditas kopi tidak lepas dari gaya hidup masyarakat, khususnya kaum milenial. Pertumbuhan kedai kopi di Banten merupakan hilir dari penjualan kopi.“Perkembangan kafe kopi muncul di mana-mana, semalam saja bisa dua kuintal,” ujar Agus. Soal kopi, kata dia, Banten memiliki sejarah sejak zaman kolonial, di mana tanaman kopi, vanila, dan lada, awalnya ada di Banten dan Maluku, sebelum akhirnya menyebar ke Sumatera dan daerah lainnya. Kopi di Pulau Jawa bisa menopang kehidupan para petani, bahkan baik untuk konservasi.
Menurut Agus, luas tanaman kopi di Banten hampir 6.400 hektare, tapi produksinya masih rendah di bawah satu ton per hektare. Padahal idealnya, kata Agus, tanaman kopi harus bisa mendapatkan dua ton per hektare.
“Dari 6.400 hektare tanaman kopi sebagian di antaranya belum digarap maksimal karena masih berbentuk hutan bukan kebun kopi. Artinya, kopi dibiar kan begitu saja sehingga tidak berbuah, harusnya dilakukan pemang kasan atau stek,” ujarnya.
Dia mengatakan, berbagai upaya dilakukan untuk menggenjot pro duksi kopi. Salah satunya memberikan bantuan pengering biji kopi sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal.
Dia mencontohkan, sebelum ada bantuan alat, harga biji kopi kering harga kopi per kilonya mencapai Rp16.000. Setelah ada bantuan alat, harganya naik menjadi Rp50.000 per kilo. “Banten itu eksotik dan kebanyakan kopi robusta-arabika,” tambahnya.Petani Kabupaten Lebak juga mengembangkan perkebunan kopi karena memiliki lahan seluas 400 hektare sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi perdesaan. Pengembangan tersebut merupakan bantuan benih dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Kabupaten Lebak. Saat ini, perkebunan tersebut dikelola oleh lima kelompok.
Bahkan, para petani sudah menanam benih kopi bantuan Pemprov Banten sekitar 12.300 batang dan di antaranya sudah panen dan di jual biji kopi sebesar Rp75.000/kg. Mereka menjual kopi itu melalui jaringan internet secara online. “Kami mendorong petani agar meningkatkan produksi dan produktivitas karena permintaan pasar cukup tinggi,” kata Kepala Desa Jagaraksa Jaro Wahid.
Menurut dia, pengembangan perkebunan kopi juga diintegrasikan sebagai kawasan agrowisata karena terdapat destinasi wisata hutan meranti, wisata air terjun, dan budaya Kaolotan.
Ada juga wisata piknik mengelilingi perkebunan kopi. Hasilnya luar biasa, pengunjung yang datang ke lokasi agrowisata itu mencapai ribuan orang baik lokal maupun mancanegara. “Kami yakin pengembangan tanaman kopi dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat,” terangnya.
Sejumlah petani mengaku bahwa mereka menyambut positif program pengembangan perkebunan kopi arabika dan robusta untuk meningkatkan pendapatan ekonomi. “Kami yakin pengembangan agro wisata perkebunan kopi akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat,” kata Rusdi, 45, seorang petani warga Desa Jagakarsa.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Lebak Dede Supriatna mengatakan, pengembangan perkebunan kopi di Desa Jagaraksa guna mendukung destinasi pariwisata. Para pengunjung, selain menikmati minuman kopi juga melihat keindahan panorama alam perkebunan kopi tersebut. Pengunjung bisa membeli kopi untuk dijadikan oleh-oleh.
“Kami optimistis pengembangan perkebunan kopi secara langsung dapat meningkatkan penda patan ekonomi warga setempat,” katanya. Dede mengatakan, pengembangan perkebunan tersebut menjadikan peluang usaha masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan meranti Kaolotan Karang.
Selain itu, dapat meningkatkan produksi kopi arabika. Keunggulan tanaman kopi arabika sangat diminati masyarakat juga wisatawan dibandingkan kopi robusta. “Kami yakin, pengembangan perkebunan kopi di integrasikan dengan kawasan wisata sangat menjanjikan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” tutupnya. (Teguh Mahardika/Ant)
Pada April 2019, kopi asal Tanah Jawara terse but dipamerkan dalam sebuah Festival Kopi Banten dengan tema “Banten Punya Kopi” di Pendopo Bupati Serang. Sejumlah komunitas barista hadir dan digelar berbagai kegiatan, mulai diskusi tentang kopi, melukis dengan bahan baku kopi, hingga memanjakan pengunjung dengan menggratiskan sekitar 1.000 gelas kopi.
Berdasarkan data yang di peroleh, Provinsi Banten memiliki luas tanaman kopi hampir 6.400 hektare tersebar di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang. Namun, tingkat produksinya per tahun masih rendah, yakni 2.428 hektare.
Gubernur Banten Wahidin Halim beberapa waktu lalu sempat mam pir ke perkampungan petani kopi di Desa Wanagiri, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Menurut dia, Banten memiliki potensi hasil kopi robusta dan arabika terbaik. Ini merupakan aset pertanian yang harus diberdayakan dan terus dikembangkan. “Komoditas kopi di Banten sangat luar biasa, kedai kopi sudah banyak bermunculan. Hal ini menandakan tingkat perekonomian yang meningkat,” ujar Wahidin.
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus Tauchid mengungkapkan, pengembangan komoditas kopi tidak lepas dari gaya hidup masyarakat, khususnya kaum milenial. Pertumbuhan kedai kopi di Banten merupakan hilir dari penjualan kopi.“Perkembangan kafe kopi muncul di mana-mana, semalam saja bisa dua kuintal,” ujar Agus. Soal kopi, kata dia, Banten memiliki sejarah sejak zaman kolonial, di mana tanaman kopi, vanila, dan lada, awalnya ada di Banten dan Maluku, sebelum akhirnya menyebar ke Sumatera dan daerah lainnya. Kopi di Pulau Jawa bisa menopang kehidupan para petani, bahkan baik untuk konservasi.
Menurut Agus, luas tanaman kopi di Banten hampir 6.400 hektare, tapi produksinya masih rendah di bawah satu ton per hektare. Padahal idealnya, kata Agus, tanaman kopi harus bisa mendapatkan dua ton per hektare.
“Dari 6.400 hektare tanaman kopi sebagian di antaranya belum digarap maksimal karena masih berbentuk hutan bukan kebun kopi. Artinya, kopi dibiar kan begitu saja sehingga tidak berbuah, harusnya dilakukan pemang kasan atau stek,” ujarnya.
Dia mengatakan, berbagai upaya dilakukan untuk menggenjot pro duksi kopi. Salah satunya memberikan bantuan pengering biji kopi sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal.
Dia mencontohkan, sebelum ada bantuan alat, harga biji kopi kering harga kopi per kilonya mencapai Rp16.000. Setelah ada bantuan alat, harganya naik menjadi Rp50.000 per kilo. “Banten itu eksotik dan kebanyakan kopi robusta-arabika,” tambahnya.Petani Kabupaten Lebak juga mengembangkan perkebunan kopi karena memiliki lahan seluas 400 hektare sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi perdesaan. Pengembangan tersebut merupakan bantuan benih dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Kabupaten Lebak. Saat ini, perkebunan tersebut dikelola oleh lima kelompok.
Bahkan, para petani sudah menanam benih kopi bantuan Pemprov Banten sekitar 12.300 batang dan di antaranya sudah panen dan di jual biji kopi sebesar Rp75.000/kg. Mereka menjual kopi itu melalui jaringan internet secara online. “Kami mendorong petani agar meningkatkan produksi dan produktivitas karena permintaan pasar cukup tinggi,” kata Kepala Desa Jagaraksa Jaro Wahid.
Menurut dia, pengembangan perkebunan kopi juga diintegrasikan sebagai kawasan agrowisata karena terdapat destinasi wisata hutan meranti, wisata air terjun, dan budaya Kaolotan.
Ada juga wisata piknik mengelilingi perkebunan kopi. Hasilnya luar biasa, pengunjung yang datang ke lokasi agrowisata itu mencapai ribuan orang baik lokal maupun mancanegara. “Kami yakin pengembangan tanaman kopi dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat,” terangnya.
Sejumlah petani mengaku bahwa mereka menyambut positif program pengembangan perkebunan kopi arabika dan robusta untuk meningkatkan pendapatan ekonomi. “Kami yakin pengembangan agro wisata perkebunan kopi akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat,” kata Rusdi, 45, seorang petani warga Desa Jagakarsa.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Lebak Dede Supriatna mengatakan, pengembangan perkebunan kopi di Desa Jagaraksa guna mendukung destinasi pariwisata. Para pengunjung, selain menikmati minuman kopi juga melihat keindahan panorama alam perkebunan kopi tersebut. Pengunjung bisa membeli kopi untuk dijadikan oleh-oleh.
“Kami optimistis pengembangan perkebunan kopi secara langsung dapat meningkatkan penda patan ekonomi warga setempat,” katanya. Dede mengatakan, pengembangan perkebunan tersebut menjadikan peluang usaha masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan meranti Kaolotan Karang.
Selain itu, dapat meningkatkan produksi kopi arabika. Keunggulan tanaman kopi arabika sangat diminati masyarakat juga wisatawan dibandingkan kopi robusta. “Kami yakin, pengembangan perkebunan kopi di integrasikan dengan kawasan wisata sangat menjanjikan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” tutupnya. (Teguh Mahardika/Ant)
(nfl)