BPN Pasangkayu Absen, Polemik HGU di Desa Lariang Kian Meresahkan
A
A
A
PASANGKAYU - Polemik tentang HGU PT. Letawa yang konon menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasangkayu mencaplok perkampungan di Desa Lariang telah lama meresahkan warga setempat.
Tidak hanya was-was lahan mereka sewaktu-waktu bakal diambil alih perusahaan, polemik itu juga telah merugikan sebagian warga Lariang secara ekonomi. Bagaimana tidak sertipikat warga tidak bisa lagi jadi agunan di bank.
Berupaya menyelesaikan permasalahan itu, Pemerintah Desa Lariang telah melakukan beberap upaya. Mendatangi langsung kantor BPN Pasangkayu untuk mengklarifikasi permasalahan tersebut, sampai beberapa kali melakukan upaya pertemuan tripartit yang melibatkan warga, perusahaan, dan pihak BPN sendiri.
Seperti pertemuan yang diinisiasi Pemerintah Desa Lariang pada, Rabu 12 Juni, yang berlangsung di balai desa. Sayang, pertemuan itu membuat warga kembali kecewa, bagaimana tidak perwakilan BPN absen dalam pertemuan itu. Pihak perusahaan pun hanya mengutus perwakilan yang dinilai tidak memiliki kompetensi untuk mengambil keputusan strategis.
“Padahal undangan telah kami sampaikan kepada mereka. Tapi nyatanya mereka tidak hadir. Masyarakat kami semakin resah dengan adanya persoalan ini,” keluh Kepala Desa Lariang Firman K, Rabu (12/6/2019).
Kata dia, persoalan tersebut mesti segera terselesaikan untuk menghindari bentrokan ditingkat bawah. Ia sendiri mengaku tidak mengerti mengapa sebagian wilayah desanya masuk HGU, padahal perkampungan disana telah ada jauh sebelum perusahaan hadir.
“Kalau begini, tadi warga sepakat akan ramai-ramai mendatangi BPN. Kami akan segera mengatur kapan bisa ramai-ramai ke BPN untuk menyelesaikan persoalan ini. Menurut kami BPN lah yang harus bertanggung jawab, karena dia yang menyebut sebagian desa kami masuk HGU,” ungkap Firman K.
Sementara dalam pertemuan itu, salah seorang warga membuka salinan peta pelepasan kawasan hutan PT. Letawa. Dalam peta itu nyata batas pelepasan tidak mencaplok perkampungan warga. Membuat, warga makin bertanya apa dasar BPN menyebut perkampungan warga ikut masuk dalam HGU.
“Peta pelepasan kawasan hutan ini tahun 1994 luas wilayah pelepasan sebanyak 13.218 hektar. Sementara berdasarkan sertipikat HGU milik PT. Letawa yang terbit tahun 1997, luas HGU hanya sebanyak 10.297 hektar. Artinya lebih kecil dari luas pelepasan kawasan hutan. Nah, bagaimana mungkin HGU mencaplok perkampungan warga,” terang Syamsul, pemilik salinan peta pelepasan kawasan hutan itu.
Tidak hanya was-was lahan mereka sewaktu-waktu bakal diambil alih perusahaan, polemik itu juga telah merugikan sebagian warga Lariang secara ekonomi. Bagaimana tidak sertipikat warga tidak bisa lagi jadi agunan di bank.
Berupaya menyelesaikan permasalahan itu, Pemerintah Desa Lariang telah melakukan beberap upaya. Mendatangi langsung kantor BPN Pasangkayu untuk mengklarifikasi permasalahan tersebut, sampai beberapa kali melakukan upaya pertemuan tripartit yang melibatkan warga, perusahaan, dan pihak BPN sendiri.
Seperti pertemuan yang diinisiasi Pemerintah Desa Lariang pada, Rabu 12 Juni, yang berlangsung di balai desa. Sayang, pertemuan itu membuat warga kembali kecewa, bagaimana tidak perwakilan BPN absen dalam pertemuan itu. Pihak perusahaan pun hanya mengutus perwakilan yang dinilai tidak memiliki kompetensi untuk mengambil keputusan strategis.
“Padahal undangan telah kami sampaikan kepada mereka. Tapi nyatanya mereka tidak hadir. Masyarakat kami semakin resah dengan adanya persoalan ini,” keluh Kepala Desa Lariang Firman K, Rabu (12/6/2019).
Kata dia, persoalan tersebut mesti segera terselesaikan untuk menghindari bentrokan ditingkat bawah. Ia sendiri mengaku tidak mengerti mengapa sebagian wilayah desanya masuk HGU, padahal perkampungan disana telah ada jauh sebelum perusahaan hadir.
“Kalau begini, tadi warga sepakat akan ramai-ramai mendatangi BPN. Kami akan segera mengatur kapan bisa ramai-ramai ke BPN untuk menyelesaikan persoalan ini. Menurut kami BPN lah yang harus bertanggung jawab, karena dia yang menyebut sebagian desa kami masuk HGU,” ungkap Firman K.
Sementara dalam pertemuan itu, salah seorang warga membuka salinan peta pelepasan kawasan hutan PT. Letawa. Dalam peta itu nyata batas pelepasan tidak mencaplok perkampungan warga. Membuat, warga makin bertanya apa dasar BPN menyebut perkampungan warga ikut masuk dalam HGU.
“Peta pelepasan kawasan hutan ini tahun 1994 luas wilayah pelepasan sebanyak 13.218 hektar. Sementara berdasarkan sertipikat HGU milik PT. Letawa yang terbit tahun 1997, luas HGU hanya sebanyak 10.297 hektar. Artinya lebih kecil dari luas pelepasan kawasan hutan. Nah, bagaimana mungkin HGU mencaplok perkampungan warga,” terang Syamsul, pemilik salinan peta pelepasan kawasan hutan itu.
(akn)