Stop Uplod Foto Audrey, Hentikan Hate Speech Terhadap Pelaku
A
A
A
JAKARTA - Audrey, siswi SMP yang dianiaya belasan siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat, tiba-tiba menjadi kasus nasional. Audrey (14), gadis manis ini mengalami trauma fisik dan psikis akibat dianiaya secara brutal oleh sekelompok pelajar SMA di Pontianak, Kalimantan Barat.
Petisi yang menuntut keadilan untuk menjerat para pelaku penganiayaan pun sudah ditandatangani ribuan orang. Dukungan untuk Audrey datang dari berbagai elemen masyarakat, tagar #justiceforaudrey pun menjadi trending topic.
Menurut Ketua Departemen Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo Dyah Arum Sari, fokus kekerasan pada anak ada tiga, yaitu di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak-anak bisa menjadi korban, bahkan berpotensi menjadi pelaku.
"Di era digital ini informasi sangat cepat menyebar melalui sosial media, platform pesan, grup dan sebagainya. Ini menandakan bahwa masyarakat kita semakin peka" kata Dyah, Rabu 10 April 2019.
Aktivis perempuan dan anak yang dipercaya sebagai Ketua DPP Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) ini menyampaikan, kepekaan seperti ini memang dibutuhkan, guna menekan angka tindak kekerasan terutama terhadap anak-anak. Kepedulian masyarakat ini juga merupakan proses edukasi bagi para orangtua pelaku bahwa anak membutuhkan pola asuh yang baik dan benar.
"Oleh sebab itu orang tua harus mampu mengetahui kausa primer yang menyebabkan anak-anak cenderung melakukan kekerasan terhadap anak-anak lainnya," terang Dyah.
Dalam kasus pengeroyokan Audrey yang diawali konflik di media sosial ini, Dyah beranggapan, selain pengaruh banalitas pergaulan, arkatipe gadget-lah yang menjadi kausa primer tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak. Penggunaan gadget bagi anak yang tidak dipantau dapat berakibat buruk.
"Ketidakmampuan anak dalam mengontrol pemakaian gadget dapat berdampak buruk pada dirinya. Resultannya beragam, bisa karena kemudahan aksesibilitas situs kekerasan, games yang sarat kekejaman, penyalahgunaan media sosial, laman sharing video youtube dan spesimen kejahatan lainnya di dunia maya," tuturnya.
Penyalahgunaan sosial media oleh anak-anak yang paling banyak ditemui berpotensi menyebabkan konflik pertemanan akibat saling sindir dan saling bully yang berujung pada perkelahian saat mereka bertemu. "Orang tua tidak boleh abai soal ini", tegasnya.
Dyah yang tengah fokus pada program pelatihan kemandirian dan pemberdayaan sumber daya manusia di pelosok-pelosok desa di Indonesia ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Lembaga Pembangungan Kepemudaan Nasional, Bintang Muda Nusantara BIUUS Indonesia. Dalam hal ini, dia juga mengimbau, agar semua pihak terus mengawal kasus Audrey secara komprehensif serta memastikan proses hukum terus berjalan tanpa menghilangkan hak keadilan bagi korban dan hak tumbuh kembang bagi pelaku.
"Stop mengupload foto korban, trauma psikis yang dialami Audrey membutuhkan pemulihan jangka panjang, mari kita menjadi kendali atas keadilan yang sedang diperjuangkan untuk Audrey. Hentikan hate speech terhadap pelaku. Bagaimanapun pelaku adalah generasi bangsa yang wajib kita bangun kesadarannya dan kita perbaiki tata lakunya. Janganlah kita menjadi bagian bullying terhadap anak dengan mencaci maki pelaku, jika tidak dihentikan maka jumlah anak-anak yang menderita trauma akibat kekerasan bukan bertambah, melainkan akan terus bertambah," pungkasnya.
Petisi yang menuntut keadilan untuk menjerat para pelaku penganiayaan pun sudah ditandatangani ribuan orang. Dukungan untuk Audrey datang dari berbagai elemen masyarakat, tagar #justiceforaudrey pun menjadi trending topic.
Menurut Ketua Departemen Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo Dyah Arum Sari, fokus kekerasan pada anak ada tiga, yaitu di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak-anak bisa menjadi korban, bahkan berpotensi menjadi pelaku.
"Di era digital ini informasi sangat cepat menyebar melalui sosial media, platform pesan, grup dan sebagainya. Ini menandakan bahwa masyarakat kita semakin peka" kata Dyah, Rabu 10 April 2019.
Aktivis perempuan dan anak yang dipercaya sebagai Ketua DPP Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) ini menyampaikan, kepekaan seperti ini memang dibutuhkan, guna menekan angka tindak kekerasan terutama terhadap anak-anak. Kepedulian masyarakat ini juga merupakan proses edukasi bagi para orangtua pelaku bahwa anak membutuhkan pola asuh yang baik dan benar.
"Oleh sebab itu orang tua harus mampu mengetahui kausa primer yang menyebabkan anak-anak cenderung melakukan kekerasan terhadap anak-anak lainnya," terang Dyah.
Dalam kasus pengeroyokan Audrey yang diawali konflik di media sosial ini, Dyah beranggapan, selain pengaruh banalitas pergaulan, arkatipe gadget-lah yang menjadi kausa primer tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak. Penggunaan gadget bagi anak yang tidak dipantau dapat berakibat buruk.
"Ketidakmampuan anak dalam mengontrol pemakaian gadget dapat berdampak buruk pada dirinya. Resultannya beragam, bisa karena kemudahan aksesibilitas situs kekerasan, games yang sarat kekejaman, penyalahgunaan media sosial, laman sharing video youtube dan spesimen kejahatan lainnya di dunia maya," tuturnya.
Penyalahgunaan sosial media oleh anak-anak yang paling banyak ditemui berpotensi menyebabkan konflik pertemanan akibat saling sindir dan saling bully yang berujung pada perkelahian saat mereka bertemu. "Orang tua tidak boleh abai soal ini", tegasnya.
Dyah yang tengah fokus pada program pelatihan kemandirian dan pemberdayaan sumber daya manusia di pelosok-pelosok desa di Indonesia ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Lembaga Pembangungan Kepemudaan Nasional, Bintang Muda Nusantara BIUUS Indonesia. Dalam hal ini, dia juga mengimbau, agar semua pihak terus mengawal kasus Audrey secara komprehensif serta memastikan proses hukum terus berjalan tanpa menghilangkan hak keadilan bagi korban dan hak tumbuh kembang bagi pelaku.
"Stop mengupload foto korban, trauma psikis yang dialami Audrey membutuhkan pemulihan jangka panjang, mari kita menjadi kendali atas keadilan yang sedang diperjuangkan untuk Audrey. Hentikan hate speech terhadap pelaku. Bagaimanapun pelaku adalah generasi bangsa yang wajib kita bangun kesadarannya dan kita perbaiki tata lakunya. Janganlah kita menjadi bagian bullying terhadap anak dengan mencaci maki pelaku, jika tidak dihentikan maka jumlah anak-anak yang menderita trauma akibat kekerasan bukan bertambah, melainkan akan terus bertambah," pungkasnya.
(mhd)