Hadapi Gerakan Separatis, Ini yang Dilakukan Polda Papua Barat
A
A
A
MANOKWARI - Wilayah Papua Barat berbatasan langsung dengan pusat gerakan Papua merdeka. Namun, gerakan kelompok pendukung kemerdekaan di Papua Barat bisa didekati dengan pendekatan polisi yang humanis.
Wakapolda Papua Barat Kombes Pol Tatang mengatakan, dalam menghadapi gerakan separatis, pihaknya melakukan pendekatan persuasif.
"Seperti berdiskusi dan melakukan hal-hal positif. Kegiatan 1 Desember misalnya, boleh berunjuk rasa, tetapi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak NKRI," kata Tatang, Selasa (11/12/2018).
Dijelaskan, kegiatan separatis di Papua Barat berbeda dengan di Papua. Jika di Papua gerakannya bersifat radikal dengan melakukan serangan-serangan langsung, di Papua Barat lebih ke agitasi kemerdekaan.
"Di Papua Barat ini beda dengan di induk. Di sini, ada Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dengan tokohnya Markus Yenu. Mereka tidak punya senjata," ungkap Tatang.
Meski gerakan tersebut cukup aktif, namun dengan pendekatan humanis yang dilakukan polisi, gerakan NRFPB bisa lebih lunak. Saat peringatan 1 Desember, mereka bahkan tak mengibarkan bendera dan longmarch.
Tidak hanya itu, pendekatan humanis dari jajaran Polda Papua Barat ini juga dinilai bisa mengambil hati masyarakat, sehingga tidak terpengaruh agitasi NRFPB selama ini.
"Situasi di sini juga beda dengan di Papua. Di sini rentan dengan bentrok suku, antarormas. Sehingga jangan sampai terjadi seperti yang di polda induk, di Polda Papua. Ini yang jadi perhatian kita lagi," paparnya.
Perang suku dan ormas di Papua Barat banyak dipicu oleh persoalan kecil, seperti hewan ternak, senggolan, tabrakan, dan lainnya. Namun, karena cepat diatasi, bentrok berkepanjangan bisa diminimalisir.
"Keberhasilan kami di sini bisa membuat wilayah kondusif dan pemerintah pusat bisa lebih tenang dan tidak terganggu. Karena sedikit saja masalah di sini, bisa menjadi isu nasional dan internasional," katanya.
Wakapolda Papua Barat Kombes Pol Tatang mengatakan, dalam menghadapi gerakan separatis, pihaknya melakukan pendekatan persuasif.
"Seperti berdiskusi dan melakukan hal-hal positif. Kegiatan 1 Desember misalnya, boleh berunjuk rasa, tetapi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak NKRI," kata Tatang, Selasa (11/12/2018).
Dijelaskan, kegiatan separatis di Papua Barat berbeda dengan di Papua. Jika di Papua gerakannya bersifat radikal dengan melakukan serangan-serangan langsung, di Papua Barat lebih ke agitasi kemerdekaan.
"Di Papua Barat ini beda dengan di induk. Di sini, ada Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dengan tokohnya Markus Yenu. Mereka tidak punya senjata," ungkap Tatang.
Meski gerakan tersebut cukup aktif, namun dengan pendekatan humanis yang dilakukan polisi, gerakan NRFPB bisa lebih lunak. Saat peringatan 1 Desember, mereka bahkan tak mengibarkan bendera dan longmarch.
Tidak hanya itu, pendekatan humanis dari jajaran Polda Papua Barat ini juga dinilai bisa mengambil hati masyarakat, sehingga tidak terpengaruh agitasi NRFPB selama ini.
"Situasi di sini juga beda dengan di Papua. Di sini rentan dengan bentrok suku, antarormas. Sehingga jangan sampai terjadi seperti yang di polda induk, di Polda Papua. Ini yang jadi perhatian kita lagi," paparnya.
Perang suku dan ormas di Papua Barat banyak dipicu oleh persoalan kecil, seperti hewan ternak, senggolan, tabrakan, dan lainnya. Namun, karena cepat diatasi, bentrok berkepanjangan bisa diminimalisir.
"Keberhasilan kami di sini bisa membuat wilayah kondusif dan pemerintah pusat bisa lebih tenang dan tidak terganggu. Karena sedikit saja masalah di sini, bisa menjadi isu nasional dan internasional," katanya.
(amm)