Jabar Fokus pada Penguatan Soft Skill Lembaga Vokasi
A
A
A
BANDUNG - Provinsi Jawa Barat (Jabar) terus memperkuat penguasaan soft skill bagi peserta pendidikan vokasi. Adapun aspek hard skill dinilai cukup memadai keinginan industri di Jabar.Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jabar Ferry Sofwan Arif mengatakan, tahun lalu lembaga vokasi milik pemerintah daerah dan provinsi meluluskan sekitar 600 orang dan vokasi APBN sekitar 300 orang.
Dari jumlah itu, 60% terserap industri. “Memang tidak terserap semua, ini karena banyak peserta BLK yang enggan bekerja di pantura atau jauh dari rumah. Padahal kemampuan mereka sudah cukup mumpuni.
Keterampilan dan sertifikasi kompetensi sudah cukup bagus,” kata Ferry. Menurut dia, respons industri atas lulusan lembaga vokasi di Jabar cukup bagus. Walaupun mesin di BLK tertinggal, masih cukup bagus.
Hard skill mereka cukup memenuhi syarat. “Tapi memang yang perlu didorong adalah soft skill. Misalnya soal semangat kerja yang kurang. Atau sekadar sedang ada masalah dengan pacar, jadi kebawa ke pekerjaan. Itu yang kami tingkatkan,” tegas dia.
Untuk penguatan soft skill, sejak 2018 pihaknya lebih mendorong aspek kedisiplinan, kerja keras, dan aspek lain seperti bangun pagi. Untuk penguatan itu pihaknya melibatkan TNI juga.
Tak hanya itu, Disnakertrans Provinsi Jabar juga terus mempertahankan standar mutu lembaga vokasi. Instruktur pada balai pelatihan adalah mereka yang berpengalaman dan mayoritas diangkat Kementerian Tenaga Kerja. Instrukturnya pun harus disertifikasi.
“LPK swasta juga diakreditasi oleh kami. Jadi tidak bisa sembarangan. Instrukturnya harus di bawah Kemenaker. Do Jabar, LPK wasta 50% sudah bersertifikat.
Lulusannya pun terserap bagus walaupun mereka memang banyak bergerak di IT dan menjahit,” bebernya. Kendati demikian pihaknya tidak bisa menutup mata, perlu ada link and match antara lembaga vokasi dan industri.
Misalnya SMK selain meluluskan dalam bentuk ijazah, juga peserta didik harus sudah memegang sertifikasi kompetensi. Bagaimanapun, menurut dia, dari 1,85 juta pengangguran di Jabar, 13-14% adalah lulusan SMK dan SMA 9%.
Artinya pendidikan SMK/SMA menyumbang hampir 24% terhadap pengangguran di Jabar. “Itu bukti bahwa sekolah kejuruan atau vokasi belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Apakah karena kurikulum, keterbatasan sarana-prasarana, atau program studinya yang belum sesuai dengan kondisi industri di Jabar,” kata dia. (Arif Budianto)
Dari jumlah itu, 60% terserap industri. “Memang tidak terserap semua, ini karena banyak peserta BLK yang enggan bekerja di pantura atau jauh dari rumah. Padahal kemampuan mereka sudah cukup mumpuni.
Keterampilan dan sertifikasi kompetensi sudah cukup bagus,” kata Ferry. Menurut dia, respons industri atas lulusan lembaga vokasi di Jabar cukup bagus. Walaupun mesin di BLK tertinggal, masih cukup bagus.
Hard skill mereka cukup memenuhi syarat. “Tapi memang yang perlu didorong adalah soft skill. Misalnya soal semangat kerja yang kurang. Atau sekadar sedang ada masalah dengan pacar, jadi kebawa ke pekerjaan. Itu yang kami tingkatkan,” tegas dia.
Untuk penguatan soft skill, sejak 2018 pihaknya lebih mendorong aspek kedisiplinan, kerja keras, dan aspek lain seperti bangun pagi. Untuk penguatan itu pihaknya melibatkan TNI juga.
Tak hanya itu, Disnakertrans Provinsi Jabar juga terus mempertahankan standar mutu lembaga vokasi. Instruktur pada balai pelatihan adalah mereka yang berpengalaman dan mayoritas diangkat Kementerian Tenaga Kerja. Instrukturnya pun harus disertifikasi.
“LPK swasta juga diakreditasi oleh kami. Jadi tidak bisa sembarangan. Instrukturnya harus di bawah Kemenaker. Do Jabar, LPK wasta 50% sudah bersertifikat.
Lulusannya pun terserap bagus walaupun mereka memang banyak bergerak di IT dan menjahit,” bebernya. Kendati demikian pihaknya tidak bisa menutup mata, perlu ada link and match antara lembaga vokasi dan industri.
Misalnya SMK selain meluluskan dalam bentuk ijazah, juga peserta didik harus sudah memegang sertifikasi kompetensi. Bagaimanapun, menurut dia, dari 1,85 juta pengangguran di Jabar, 13-14% adalah lulusan SMK dan SMA 9%.
Artinya pendidikan SMK/SMA menyumbang hampir 24% terhadap pengangguran di Jabar. “Itu bukti bahwa sekolah kejuruan atau vokasi belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Apakah karena kurikulum, keterbatasan sarana-prasarana, atau program studinya yang belum sesuai dengan kondisi industri di Jabar,” kata dia. (Arif Budianto)
(nfl)