Nungneng, Alat Musik Tabagsel yang Terlupakan
A
A
A
Keberagaman suku dan adat istiadat merupakan salah satu identitas Indonesia di mata dunia. Tak cuma keindahan alamnya, Indonesia juga menyimpan kekayaan seni dan budaya.
Seperti di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), Sumatera Utara, selama ini hanya dikenal dengan keberadaan alat seni Gordang Sembilan. Namun, ternyata ada satu alat musik yang sudah dikenal masyarakat di wilayah itu sejak ratusan tahun lalu dan kini nyaris terlupakan.
Adalah Nungneng, nama alat musik tersebut. Konon, menurut informasi yang didapatkan penulis dari masyarakat, Nungneng merupakan cikal bakal lahirnya alat musik yang saat ini dikenal (Gordang Sembilan). Bukan tanpa alasan, sebab di dalam alat yang terbuat dari bambu itu terdapat bagian-bagian musik yang dipakai gordang seperti, mok-mok, obung dan senar. Khusus di wilayah Mandailing, alat musik ini dikenal dengan sebutan Gondang Bulu.
Nungneng disebut juga Tanggelong, yaitu alat musik yang sumber bunyinya dari tali atau dawai. Tetapi cara memainkanya dengan cara dipukulkan pada suatu benda.
Tak mudah untuk membuat alat musik Nungneng ini. Setidaknya butuh waktu berbulan-bulan untuk merangkainya. Fokus dan ketelitian dalam pembuatan alat musik itu sangat diperlukan. Sebab, apabila terjadi sedikit kesalahan, maka hasilnya akan menjadi sia-sia.
Senar, bagian alat musik Nungneng yang tersulit untuk diracik. Senar berasal dari kulit bambu, sehingga diperlukan kelihaian dan ketelitian dalam mengupas dan membentuknya. Bambu yang akan dijadikan Nungneng harus bambu tua karena tidak mudah pecah.
”Kalau ada retak sedikit aja, maka suaranya akan berbeda, sehingga dibutuhkan bambu yang tua,”tutur Arjul Parluhutan Harahap, salah seorang pembuat alat musik Nungneng kepada SINDOnews ketika ditemui pada acara puncak perayaan HUT Pemko Padangsidimpuan ke-17, baru-baru ini.
Dia mengungkapkan, bambu tersebut tidak bisa dijemur langsung dibawah matahari. Sebab, batang bambu akan pecah. ”Penjemurannya harus di tempat yang sejuk, agar tidak pecah,” imbuhnya.
Butuh waktu tiga sampai empat hari agar proses penjemuran bambu itu. Kesabaran dari seorang pembuat Nungneng juga dibutuhkan. Alasannya, ketika proses pembuatan, emosi harus dijaga, sehingga tidak ada yang salah. Sebagai pembuat Nungneng, dia mengucapkan terima kasih kepada panitia kegiatan HUT Pemkot Padangsidimpuan.
Menurutnya, generasi muda di Tabagsel perlu mengetahui alat musik tradisional ini. Generasi muda tidak boleh melupakan sejarah yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Kapolres Kota Padangsidimpuan, AKBP Hilman Wijaya, selaku ketua panitia perayaan HUT Pemko Padangsidimpuan sengaja menampilkan seluruh alat musik tradisional dari kawasan Tabagsel. Tujuannya, agar generasi penerus tidak lupa akan kebesaran sejarah di wilayah itu. Semua alat musik tradisional dari wilayah Tabagsel dipertontonkan, sehingga tidak terkikis dengan zaman sekarang.
Sering Dipakai Menjelang Panen Padi
Sejarah alat musik Nungneng tidak terlepas dari kebiasaan hidup masyarakat di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Sejak ratusan tahun lalu, Nungneng sudah dipakai masyarakat terutama menjelang masa panen padi di sawah.
Bercocok tanam padi sudah menjadi mata pencaharian masyarakat di saat itu. Untuk menghasilkan panen padi yang berkualitas, para petani harus memikirkan cara untuk mengusir burung yang datang untuk memakan padi.
Nungneng menjadi cara masyarakat untuk mengusir burung, karena dari alat itu tercipta suara yang membuat burung jadi takut untuk datang memakan padi. Lokasi tempat memainkan alat musik ini juga tidak asal-asalan. Nungneng harus diletakkan di tempat yang lebih tinggi, sehingga suaranya lebih tajam.
Tak hanya itu, memainkan alat musik Nungneng harus disertai dengan perasaan, sehingga bunyi yang dikeluarkan sesuai dengan yang diinginkan. "Biasanya ketika masa mamura eme (menjelang panen), alat musik inilah yang dipergunakan untuk mengusir burung," ujar Sahat Barita Pasaribu, pemerhati alat musik tradisional Tapanuli Selatan.
Menurutnya, Gondang Bulu, Gondang Etek, Gondang Nungneng, adalah tiga nama untuk satu alat musik tradisional yang berasal dari bumi Dalihan Natolu, Tapanuli Selatan.
Dalam memainkan alat musik bambu itu, satu orang penabuh gendang (pargondang) memukul senar bambu dengan sebuah alat pukul dari potongan bambu yang dikecilkan menyerupai lidi daun kelapa sesuai irama dan nada musik gondang Tapsel.
"Yang memainkan alat musik ini juga tidak bisa sembarangan, karena harus memiliki jiwa seni yang tinggi," ujarnya.
Ketika ditanya kenapa alat musik Nungneng kalah populer dari yang lainnya, Barita panggilan akrabnya menegaskan, Nungneng sangat jarang dipakai ketika ada acara-acara adat. Sehingga, keberadaannya tidak banyak orang yang mengenalnya.
"Karena dia hanya dipakai ketika menjelang panen padi, makanya alat itu jarang dipakai untuk acara acara adat," imbuhnya.
Meskipun alat musik itu hanya untuk panen, namun selayaknya pemerintah melestarikannya. Sebab, alat musik Nungneng mempunyai sejarah kental dengan kehidupan masyarakat di zaman dahulu. Sebagai generasi saat ini sudah semestinya memberikan pengetahuan tentang sejarah budaya di Tabagsel.
Apabila alat musik ini masih diabaikan, maka lambat laun sejarahnya tidak akan ada lagi, karena kurangnya perhatian dari seluruh kalangan. "Mari sama sama kita jaga dan lestarikan, karena sedikit sejarah akan banyak nilai yang tersimpan," pungkas Barita.
Seperti di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), Sumatera Utara, selama ini hanya dikenal dengan keberadaan alat seni Gordang Sembilan. Namun, ternyata ada satu alat musik yang sudah dikenal masyarakat di wilayah itu sejak ratusan tahun lalu dan kini nyaris terlupakan.
Adalah Nungneng, nama alat musik tersebut. Konon, menurut informasi yang didapatkan penulis dari masyarakat, Nungneng merupakan cikal bakal lahirnya alat musik yang saat ini dikenal (Gordang Sembilan). Bukan tanpa alasan, sebab di dalam alat yang terbuat dari bambu itu terdapat bagian-bagian musik yang dipakai gordang seperti, mok-mok, obung dan senar. Khusus di wilayah Mandailing, alat musik ini dikenal dengan sebutan Gondang Bulu.
Nungneng disebut juga Tanggelong, yaitu alat musik yang sumber bunyinya dari tali atau dawai. Tetapi cara memainkanya dengan cara dipukulkan pada suatu benda.
Tak mudah untuk membuat alat musik Nungneng ini. Setidaknya butuh waktu berbulan-bulan untuk merangkainya. Fokus dan ketelitian dalam pembuatan alat musik itu sangat diperlukan. Sebab, apabila terjadi sedikit kesalahan, maka hasilnya akan menjadi sia-sia.
Senar, bagian alat musik Nungneng yang tersulit untuk diracik. Senar berasal dari kulit bambu, sehingga diperlukan kelihaian dan ketelitian dalam mengupas dan membentuknya. Bambu yang akan dijadikan Nungneng harus bambu tua karena tidak mudah pecah.
”Kalau ada retak sedikit aja, maka suaranya akan berbeda, sehingga dibutuhkan bambu yang tua,”tutur Arjul Parluhutan Harahap, salah seorang pembuat alat musik Nungneng kepada SINDOnews ketika ditemui pada acara puncak perayaan HUT Pemko Padangsidimpuan ke-17, baru-baru ini.
Dia mengungkapkan, bambu tersebut tidak bisa dijemur langsung dibawah matahari. Sebab, batang bambu akan pecah. ”Penjemurannya harus di tempat yang sejuk, agar tidak pecah,” imbuhnya.
Butuh waktu tiga sampai empat hari agar proses penjemuran bambu itu. Kesabaran dari seorang pembuat Nungneng juga dibutuhkan. Alasannya, ketika proses pembuatan, emosi harus dijaga, sehingga tidak ada yang salah. Sebagai pembuat Nungneng, dia mengucapkan terima kasih kepada panitia kegiatan HUT Pemkot Padangsidimpuan.
Menurutnya, generasi muda di Tabagsel perlu mengetahui alat musik tradisional ini. Generasi muda tidak boleh melupakan sejarah yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Kapolres Kota Padangsidimpuan, AKBP Hilman Wijaya, selaku ketua panitia perayaan HUT Pemko Padangsidimpuan sengaja menampilkan seluruh alat musik tradisional dari kawasan Tabagsel. Tujuannya, agar generasi penerus tidak lupa akan kebesaran sejarah di wilayah itu. Semua alat musik tradisional dari wilayah Tabagsel dipertontonkan, sehingga tidak terkikis dengan zaman sekarang.
Sering Dipakai Menjelang Panen Padi
Sejarah alat musik Nungneng tidak terlepas dari kebiasaan hidup masyarakat di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Sejak ratusan tahun lalu, Nungneng sudah dipakai masyarakat terutama menjelang masa panen padi di sawah.
Bercocok tanam padi sudah menjadi mata pencaharian masyarakat di saat itu. Untuk menghasilkan panen padi yang berkualitas, para petani harus memikirkan cara untuk mengusir burung yang datang untuk memakan padi.
Nungneng menjadi cara masyarakat untuk mengusir burung, karena dari alat itu tercipta suara yang membuat burung jadi takut untuk datang memakan padi. Lokasi tempat memainkan alat musik ini juga tidak asal-asalan. Nungneng harus diletakkan di tempat yang lebih tinggi, sehingga suaranya lebih tajam.
Tak hanya itu, memainkan alat musik Nungneng harus disertai dengan perasaan, sehingga bunyi yang dikeluarkan sesuai dengan yang diinginkan. "Biasanya ketika masa mamura eme (menjelang panen), alat musik inilah yang dipergunakan untuk mengusir burung," ujar Sahat Barita Pasaribu, pemerhati alat musik tradisional Tapanuli Selatan.
Menurutnya, Gondang Bulu, Gondang Etek, Gondang Nungneng, adalah tiga nama untuk satu alat musik tradisional yang berasal dari bumi Dalihan Natolu, Tapanuli Selatan.
Dalam memainkan alat musik bambu itu, satu orang penabuh gendang (pargondang) memukul senar bambu dengan sebuah alat pukul dari potongan bambu yang dikecilkan menyerupai lidi daun kelapa sesuai irama dan nada musik gondang Tapsel.
"Yang memainkan alat musik ini juga tidak bisa sembarangan, karena harus memiliki jiwa seni yang tinggi," ujarnya.
Ketika ditanya kenapa alat musik Nungneng kalah populer dari yang lainnya, Barita panggilan akrabnya menegaskan, Nungneng sangat jarang dipakai ketika ada acara-acara adat. Sehingga, keberadaannya tidak banyak orang yang mengenalnya.
"Karena dia hanya dipakai ketika menjelang panen padi, makanya alat itu jarang dipakai untuk acara acara adat," imbuhnya.
Meskipun alat musik itu hanya untuk panen, namun selayaknya pemerintah melestarikannya. Sebab, alat musik Nungneng mempunyai sejarah kental dengan kehidupan masyarakat di zaman dahulu. Sebagai generasi saat ini sudah semestinya memberikan pengetahuan tentang sejarah budaya di Tabagsel.
Apabila alat musik ini masih diabaikan, maka lambat laun sejarahnya tidak akan ada lagi, karena kurangnya perhatian dari seluruh kalangan. "Mari sama sama kita jaga dan lestarikan, karena sedikit sejarah akan banyak nilai yang tersimpan," pungkas Barita.
(rhs)