Harmoni Percikan Bunga Api dan Merdu Suara Nada Pentatonis

Minggu, 07 Oktober 2018 - 16:00 WIB
Harmoni Percikan Bunga Api dan Merdu Suara Nada Pentatonis
Harmoni Percikan Bunga Api dan Merdu Suara Nada Pentatonis
A A A
SUKOHARJO - Kerajinan gamelan telah menjadi bagian urat nadi kehidupan masyarakat Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Tak hanya dari sisi kerajinan, kepiawaian membuat perangkat gamelan menjadi sesuatu yang unik untuk diangkat dari sektor pariwisata.

Desa Wirun telah ditetapkan sebagai desa wisata dengan potensi kerajinan gamelan. Lokasinya sekitar 15 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukoharjo. Akses akan lebih dekat dari Kota Solo yang hanya berjarak kurang lebih 7 kilometer dari Alun-Alun Kidul Keraton Kasunanan Surakarta. "Kerajinan gamelan berkembang di antaranya karena turun-temurun, atau semula ikut lalu mendirikan sendiri," kata Warseno (48), salah satu pekerja kerajinan gamelan, Palu Gongso di Dusun Gendengan RT 2/RW 4 Desa Wirun, Kecamatan Mojoloban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu (7/10/2018).

Gamelan telah lekat dengan kehidupan masyarakat sejak puluhan tahun silam. Saat ini ada sekitar 15 perajin gamelan yang tersebar di berbagai dusun di wilayah Desa Wirun. Dari cerita para orang tua di desa setempat, kerajinan gamelan diperkirakan telah ada sekitar 50 tahun lalu. Untuk satu pengrajin, jumlah tenaga bervariasi antara 6-15 orang, tergantung besar kecilnya usaha. Pesanan terbanyak biasanya adalah gamelan komplet slendro-pelog.

Kerajinan gamelan di Desa Wirun memiliki andil besar dalam pelestarian budaya hingga pariwisata di daerah lain. Sebab pesanan gamelan tak hanya dari wilayah Jawa, namun juga datang dari Bali, Kalimantan, dan berbagai pulau lainnya di Indonesia. Bahkan pesanan dari luar negeri juga ada seperti Jepang, Malaysia, Jerman, dan Belanda. "Kalau dari Bali hampir setiap hari ada pesanan," katanya. Sehingga para perajin sudah memiliki referensi tentang jenis gamelan dari berbagai daerah. Yang membedakan antara lain mengenai bentuk dan suaranya.

Kemajuan teknologi juga sangat membantu para perajin. Saat ini sudah ada alat khusus untuk nyetem (menyetel) suara gamelan yang memiliki tangga nada pentatonis. "Kalau dulu hanya mengandalkan feeling saja," urainya.

Dari gamelan, para pekerja mendapatkan penghasilan yang lumayan karena di atas upah minimum kabupaten/kota (UMK). Para pekerja mayoritas dari lingkungan sekitar meski ada juga dari luar desa. Namun diakui, pelestarian kerajinan di tengah persimpangan karena generasi muda di wilayah setempat mulai jarang yang berminat untuk menggeluti. Beratnya proses pembuat gamelan, seperti mengangkat palu seberat 10 kg, dan berada di ruangan yang panas sebagai dampak bara api, diperkirakan menjadi salah satu penyebab.

Saroyo, pemilik usaha kerajinan gamelan Palu Gongso mengaku telah memulai usahanya sejak 1995. Satu set gamelan berisi antara 20 hingga 25 instrumen seperti kenong, gong, kempul, saron, slenthem maupun gender, butuh waktu lebih dari enam bulan pengerjaan hingga menjadi barang kerajinan siap pakai. Soal harga, sangat tergantung dengan bahan baku logamnya. Baik perunggu, timah atau tembaga. Namun, harga satu set gamelan tidak akan berada di bawah Rp60 juta. "Harga gamelan mahal karena memang prosesnya sangat panjang dan bahan bakunya juga pilihan," kata Saroyo.

Perajin gamelan Desa Wirun pernah mengalami masa kejayaan antara tahun 2000–2005. Desa Wirun menjadi rujukan pembeli gamelan dari seluruh Indonesia bahkan sering melayani pesanan dari luar negeri seperti Jepang. Pada saat itu, minat masyarakat terhadap alat musik tradisional cukup tinggi baik perorangan maupun instansi. Namun masa kejayaan berangsur surut hingga saat ini. Mencapai titik terendah dengan banyaknya perajin yang gulung tikar. Tinggal beberapa perajin dengan modal yang cukup besar yang tetap bertahan. Itupun dengan berbagai strategi memasarkan produk. Faktor harga yang tinggi dan minat masyarakat mengkoleksi gemelan menurun, dinilai menjadi pemicu lesunya pesanan, utamanya pasar Wilayah Jawa.

Sedangkan pasar luar Jawa, seperti Bali justru lebih menjanjikan. "Penjualan ke Bali masih bagus. Kalau dari daerah sekitar biasanya ada yang datang untuk memperbaiki atau pesan instrumen tertentu saja," kata Saroyo.
Harmoni Percikan Bunga Api dan Merdu Suara Nada Pentatonis

Semakin surutnya pesanan menjadi tantangan tersendiri untuk para perajin. Mulai dari mengupayakan usaha tetap berjalan, dan menjaga profesi membuat gamelan tetap lestari. Regenerasi harus tetap dilakukan di tengah berbagai benturan. Kekhawatiran muncul ketika anak muda tidak mau lagi menempa logam menjadi instrumen gamelan, dan lebih memilih bekerja di pabrik.

Tak hilang akal, Saroyo merangkul perajin perajin kecil yang dulunya membuat gamelan sendiri dan bangkrut menjadi pekerjanya. Sekarang ini, tak kurang 15 orang warga sekitar dengan kisaran usia 40–50 tahun menjadi rekan kerjanya. Produksi terus menerus dan mencari penjual ke berbagai daerah diharapkan membuat gamelan tetap lestari. Ketika ada pesanan, jumlah pekerja bisa bertambah sesuai dengan kebutuhan waktu menyelesaikan pesanan.

"Saya tetap berusaha perajin gamelan terus hidup di Wirun, soal regenerasi memang menjadi pekerjaan rumah bagi kami," tandasnya.

CFO/CBDO Triponyu.com, Alfonsus Aditya berpendapat ada sisi menarik dalam pembuatan gamelan di Desa Wirun. Di antaranya adalah percikan bunga api dan logam membara ketika gamelan dibuat. Proses pembuatan gamelan hingga ditabuh dengan suara yang khas, dapat dikemas menjadi sebuah paket wisata yang unik, dan menarik. Termasuk keterlibatan langsung masyarakatnya.

"Perjalanan wisata yang ditawarkan dengan melibatkan local wisdom ternyata menarik turis dari mancanegara," kata Aditya.

Dari pengalamannya sebagai sebagai startup pariwisata yang melibatkan masyarakat lokal sebagai guide, kendala yang biasa dihadapi adalah kesiapan masyarakat itu sendiri. "Mereka sering kali kebingungan harus berbuat apa ketika wilayahnya dijadikan desa wisata," ujar pimpinan startup yang mendapatkan award dari United Nation World Tourism Organization (UNWTO), Organisasi PBB yang membidangi pariwisata tersebut.

Melalui kemasan wisata yang berbeda, diharapkan gamelan tak hanya memberi manfaat penghasilan bagi perajin maupun pekerjanya. Namun lebih luas kepada warga lain di sekitarnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4826 seconds (0.1#10.140)