Kyai Bagelen, Bedug Terbesar Dunia di Pojok Masjid Agung Purworejo

Minggu, 12 Agustus 2018 - 05:00 WIB
Kyai Bagelen, Bedug...
Kyai Bagelen, Bedug Terbesar Dunia di Pojok Masjid Agung Purworejo
A A A
Tidak banyak yang mengetahui, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terdapat benda sejarah perkembangan Islam yang cukup penting. Adalah Bedug Kiai Bagelen atau Pendowo, alat penanda salat yang diyakini terbesar di dunia.

Sejarah perkembangan Islam di Kabupaten Purworejo tak terlepas dari keberadaan Bedug Kiai Bagelen atau biasa disebut Bedug Pendowo. Bedug raksasa itu telah memberikan kontribusi penting bagi syiar-syiar Islam dari satu generasi ke generasi lain di Kabupaten Purworejo sejak abad XIX.

Pada masanya, Bedug Pendowo dijadikan sebagai alat penanda salat dan peringatan bagi masyarakat. Mereka dapat mengetahui waktu salat atau sesuatu peristiwa telah terjadi. Sehingga masyarakat dapat segera mengetahui informasi lebih cepat.

Menurut sejarah, pembuatan Bedug Kyai Bagelen terkait dengan berdirinya Masjid Agung Bagelen (saat ini dikenal Masjid Agung Purworejo) yang menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok berukuran ± 10 x 21 m2. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825–1830), Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I sebagai Bupati di wilayah Tanah Bagelen. Sedang jabatan Pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo.

Bupati Cokro I yang kebetulan sudah beragama Islam lalu mendirikan masjid agung. Berdasarkan tulisan dalam prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, pembangunannya selesai tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi. Untuk melengkapi tempat ibadah itu, Bupati Cokronegoro I memiliki gagasan membuat sebuah bedug istimewa untuk menjadi tanda peringatan di kemudian hari.

Saat bermusyarah, Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan yang juga adik kandung Bupati Cokro I, menyarankan supaya bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon jati. Akhirnya dipilihlah pohon jati berusia ratusan tahun yang tumbuh di Dusun Pendowo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo.

Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon jati yang digunakan mempunyai cabang cabang lima atau disebut pendowo. Dalam ilmu kejawen, pohon jati besar bercabang lima mengandung sifat perkasa dan berwibawa.

Setelah disetujui, pembuatan bedug raksasa lalu dimulai dan selesai pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Berdasarkan hasil pengukuran, panjang rata-rata bedug 292 cm, garis tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm dan keliling bagian belakang 564 cm.

Saking besarnya, lubang depan dan belakang ditutup dengan kulit banteng dengan jumlah pakuan 120 buah untuk bagian depan dan 98 buah untuk bagian belakang. Bedug itu lalu dinamai Kyai Bagelen atau Pendowo.

"Namun setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian belakang mengalami kerusakan. Sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala) dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri, Purworejo," kata tokoh ulama asal Desa Jenarkidul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, M Djalal Sujuti, beberapa waktu silam.

Dilanjutkan, ketika bedug selesai dibuat muncul persoalan, bagaimana memindahkan Bedug Kyai Bagelen dari Dusun Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo yang jaraknya sekitar 9 kilometer. Padahal kondisi jalan saat itu yang sangat susah dilalui.

Akhirnya, Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano ditunjuk Bupati Cokro I sebagai pemimpin proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Bedug raksasa itu lalu diangkat ramai-ramai oleh para pekerja diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo.

Kini, Bedug Kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi masjid. Suaranya akan terdengar saat asar, magrib, isya, subuh, zuhur dan menjelang salat Jumat. Juga pada saat menjelang salat sunat Idul Fitri dan Idul Adha serta acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam. Bahkan untuk memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai Bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)