Mat Khalil, Sehari Bisa 40 Kali Naik Turun Pohon Siwalan
A
A
A
GRESIK - Gresik dikenal bukan hanya sebagai kota seribu wali, tapi juga peghasil legen. Ada tiga kecamatan di Gresik yang dikenal penghasil minuman legen. Namun, untuk mendapatkan legen yang baik, perlu keahlian khusus nan-heroik.
Perlahan matahari turun menuju peraduan petang di ufuk Barat. Pelan juga sengatan sinarnya tidak lagi setajam panas kala siang hari. Saat itulah, Mat Khalil, 56, di gubuk di belakang rumahnya di Dusun Suberoh, Desa Delegan, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Di rumah di lereng pegunungan Panceng itu, Mat Kalil bersiap-siap memasang ikat pinggang. Memaka topi dengan paduan celana panjang serta kaos lengan panjang. Tak lupa membawa parang dan bethek yang terbuat dari pring yang diikatkan di pinggang.“Mumpung tidak panas dan juga belum malam,” katanya sambil berlalu menuju pohon siwalan di lereng sisi kanan rumahnya. Pohon itu tinggnya sekitar 16 meter lebih.
Tidak ragu, juga tidak khawatir terjatuh, namun Mat Khalil begitu cekatan menaiki batang siwalan. Tidak ada alat tangga atau juga tambang. Hanya lubang dan lubang yang berjarak 45 sentimer. Kaki Mat Khalil yang terlihat otot-otonya seolah punya mata untuk melihat lubang yang dijadikan tumpuhan kakinya.
Hanya sekejap, Mat Khalil sudah berada di atas pohon siwalan yang mempunyai batang berdiameter 40 sentimeter. Entah apa yang dilakukan, hanya sekilas terlihat dari bawah, Mat Khalil mengambil bethek-bethek yang sudah terpasang di batang bunga siwalan. Yang mana mulut bethek itu terpasang untuk menadai air legen.
Sambil bertengger di sela-sela batang dedaunan siwalan, Mat Khalil terlihat mengganti bethek yang terpasang dengan bethek baru. Juga sesekali berpindah posisi bah burung yang begitu entengnya tangan dan kakinya menggapai singgahan lain.“Ini lagi cari batang bunga baru untuk mencari sumber legen baru,” teriaknya dari ayas pohon seolah memberitahu.
Tidak sampai 10 menit, Mat Khalil sudah tampak turun dari pohon siwalan. Bah monyet yang lagi menuruni pohon, bapak tiga putra itu berlompatan turun dengan mengandalkan kaki dan tangannya. Terlihat di belakangnya ada tiga bethek yang berisi air legen hasil panen pohon siwalan.
Usai turun dan mendekati gubuk yang berukuran 3 kali 4 meter persegi, Mat Khalil menaruh betheknya di tempat yang sudah terpasang. Sejurus kemudian, dia mengambil bethek yang kosong yang menuju pohon siwalan lainnya.
“Inilah yang saya lakukan setiap hari. Biasanya sehari dua kali. Pagi hari panen dan masang bethek baru, dan sore hari panen serta pasang bethek baru lagi. Biasanya 12 jam itu satu bethek dapat satu liter legen,” akunya.
Mat Khalil sendiri punya 20 batang pohon siwalan yang tumbuh di pekarangan miliknya, pekarangan itu peninggalan orang tuanya. Karena itu, satu pohon siwalan usianya puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun yang lalu. Bila ada 20 pohon siwalan, berarti dalam sehari, Mat Khalil harus turun naik pohon siwalan sebanyak 40 kali.
Kendati yang dilakukan cukup heroik karena menantang ketinggihan, namun hasilnya lumayan. Paling banyak sehari bisa medapatkan 60 botol seberat 1,5 liter. Satu botolnya biasanya dijual dengan harga Rp10.000. Bila tidak ada yang membeli, legen itu dibuat gula merah aren. Satu gula seberat 1 kilogram dijual Rp25.000.“Untuk menjadi gula butuh waktu tiga jam untuk dimasak,” aku Sholikah (50) istri Mat Khalil.
Mat Khalil adalah satu dari puluhan petani siwalan di Suberoh, Delegan, Kecamatan Panceng. Ada puluhan warga yang mata pencarianya mengandalkan pohon siwalan. Di Kecamatan Panceng, selain di wilayah Suberoh, juga ada di Larangan, Mulyorejo, dan Wonorejo yang kesemuanya masih di Desa Delegan.
Sedangkan lainnya Kecamatan Kebomas, tepatnya di Kelurahan Segoromadu dan Gending. Juga ada di Desa Hendrosari Kecamatan Menganti. Hanya saja di Kebomas sudah punah karena terkikis masuknya industry. Lahan-lahan yang menjadi tempat tumbuhnya silalan ditebangi berganti dengan cerobong yang mengeluarkan asap-asap sisa produksi pabrik.
Memang produksi legen di Gresik tidak sebesar di Tuban, namun bila tidak dilakukan penataan, maka siwalan yang termasuk heritage akan punah. Kepunahan itu tidak hanya perubahan fungsi lahan pertanian, menjadi industry. Namun, juga faktor bertani siwalan diangap para pemuda desa kurang menarik.
“Ya sekarang hanya orang-orang tua. Mereka yang muda biasanya kerja pabrik, baru sudah tua balik ke desa menjadi petani siwalan. Orang tua saya dulu petani siwalan, tetapi sekarang keluarga saya tidak ada yang menjadi petani siwalan,” aku Azmil Muftaqor (36) toko pemuda Desa Delegan.
Lain lagi di Desa Hendrosari, Kecamatan Menganti. Meski pabrik-pabrik berdiri di sekitar desa, namun lahan-lahan pohon siwalan tidak boleh digusur. Sampai saat ini, ada ratusan pohon siwalan.
Bahkan, Pemdes Hendrosari berencana menjadi desanya menjadi wisata siwalan. Selan menyediakan minuman legen, juga ada minuman tuak yaitu minuman legen yang sudah berubah memabukkan.
Bahkan, untuk mendukung Hendrosari sebagai desa wisata juga berkembang rumah makan dengan menu ayam bakar. Menu itu dipadu dengan minuman legen atau tuak. Dan, saat ini rumah makan-rumah makan di Hendrosari kerap dikunjungan pembeli yang di luar Kecamatan Menganti. Bahkan, juga dari luar kota seperti Surabaya, Lamongan dan Mojokerto.
“Masih cukup banyak pohon siwalan. Satu-satunya jalan harus dilindungi biar tidak punah, seperti di wilayah Kecamatan Kebomas,” ujar Suep, 41, tokoh pemuda Hendrosari.
Perlahan matahari turun menuju peraduan petang di ufuk Barat. Pelan juga sengatan sinarnya tidak lagi setajam panas kala siang hari. Saat itulah, Mat Khalil, 56, di gubuk di belakang rumahnya di Dusun Suberoh, Desa Delegan, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Di rumah di lereng pegunungan Panceng itu, Mat Kalil bersiap-siap memasang ikat pinggang. Memaka topi dengan paduan celana panjang serta kaos lengan panjang. Tak lupa membawa parang dan bethek yang terbuat dari pring yang diikatkan di pinggang.“Mumpung tidak panas dan juga belum malam,” katanya sambil berlalu menuju pohon siwalan di lereng sisi kanan rumahnya. Pohon itu tinggnya sekitar 16 meter lebih.
Tidak ragu, juga tidak khawatir terjatuh, namun Mat Khalil begitu cekatan menaiki batang siwalan. Tidak ada alat tangga atau juga tambang. Hanya lubang dan lubang yang berjarak 45 sentimer. Kaki Mat Khalil yang terlihat otot-otonya seolah punya mata untuk melihat lubang yang dijadikan tumpuhan kakinya.
Hanya sekejap, Mat Khalil sudah berada di atas pohon siwalan yang mempunyai batang berdiameter 40 sentimeter. Entah apa yang dilakukan, hanya sekilas terlihat dari bawah, Mat Khalil mengambil bethek-bethek yang sudah terpasang di batang bunga siwalan. Yang mana mulut bethek itu terpasang untuk menadai air legen.
Sambil bertengger di sela-sela batang dedaunan siwalan, Mat Khalil terlihat mengganti bethek yang terpasang dengan bethek baru. Juga sesekali berpindah posisi bah burung yang begitu entengnya tangan dan kakinya menggapai singgahan lain.“Ini lagi cari batang bunga baru untuk mencari sumber legen baru,” teriaknya dari ayas pohon seolah memberitahu.
Tidak sampai 10 menit, Mat Khalil sudah tampak turun dari pohon siwalan. Bah monyet yang lagi menuruni pohon, bapak tiga putra itu berlompatan turun dengan mengandalkan kaki dan tangannya. Terlihat di belakangnya ada tiga bethek yang berisi air legen hasil panen pohon siwalan.
Usai turun dan mendekati gubuk yang berukuran 3 kali 4 meter persegi, Mat Khalil menaruh betheknya di tempat yang sudah terpasang. Sejurus kemudian, dia mengambil bethek yang kosong yang menuju pohon siwalan lainnya.
“Inilah yang saya lakukan setiap hari. Biasanya sehari dua kali. Pagi hari panen dan masang bethek baru, dan sore hari panen serta pasang bethek baru lagi. Biasanya 12 jam itu satu bethek dapat satu liter legen,” akunya.
Mat Khalil sendiri punya 20 batang pohon siwalan yang tumbuh di pekarangan miliknya, pekarangan itu peninggalan orang tuanya. Karena itu, satu pohon siwalan usianya puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun yang lalu. Bila ada 20 pohon siwalan, berarti dalam sehari, Mat Khalil harus turun naik pohon siwalan sebanyak 40 kali.
Kendati yang dilakukan cukup heroik karena menantang ketinggihan, namun hasilnya lumayan. Paling banyak sehari bisa medapatkan 60 botol seberat 1,5 liter. Satu botolnya biasanya dijual dengan harga Rp10.000. Bila tidak ada yang membeli, legen itu dibuat gula merah aren. Satu gula seberat 1 kilogram dijual Rp25.000.“Untuk menjadi gula butuh waktu tiga jam untuk dimasak,” aku Sholikah (50) istri Mat Khalil.
Mat Khalil adalah satu dari puluhan petani siwalan di Suberoh, Delegan, Kecamatan Panceng. Ada puluhan warga yang mata pencarianya mengandalkan pohon siwalan. Di Kecamatan Panceng, selain di wilayah Suberoh, juga ada di Larangan, Mulyorejo, dan Wonorejo yang kesemuanya masih di Desa Delegan.
Sedangkan lainnya Kecamatan Kebomas, tepatnya di Kelurahan Segoromadu dan Gending. Juga ada di Desa Hendrosari Kecamatan Menganti. Hanya saja di Kebomas sudah punah karena terkikis masuknya industry. Lahan-lahan yang menjadi tempat tumbuhnya silalan ditebangi berganti dengan cerobong yang mengeluarkan asap-asap sisa produksi pabrik.
Memang produksi legen di Gresik tidak sebesar di Tuban, namun bila tidak dilakukan penataan, maka siwalan yang termasuk heritage akan punah. Kepunahan itu tidak hanya perubahan fungsi lahan pertanian, menjadi industry. Namun, juga faktor bertani siwalan diangap para pemuda desa kurang menarik.
“Ya sekarang hanya orang-orang tua. Mereka yang muda biasanya kerja pabrik, baru sudah tua balik ke desa menjadi petani siwalan. Orang tua saya dulu petani siwalan, tetapi sekarang keluarga saya tidak ada yang menjadi petani siwalan,” aku Azmil Muftaqor (36) toko pemuda Desa Delegan.
Lain lagi di Desa Hendrosari, Kecamatan Menganti. Meski pabrik-pabrik berdiri di sekitar desa, namun lahan-lahan pohon siwalan tidak boleh digusur. Sampai saat ini, ada ratusan pohon siwalan.
Bahkan, Pemdes Hendrosari berencana menjadi desanya menjadi wisata siwalan. Selan menyediakan minuman legen, juga ada minuman tuak yaitu minuman legen yang sudah berubah memabukkan.
Bahkan, untuk mendukung Hendrosari sebagai desa wisata juga berkembang rumah makan dengan menu ayam bakar. Menu itu dipadu dengan minuman legen atau tuak. Dan, saat ini rumah makan-rumah makan di Hendrosari kerap dikunjungan pembeli yang di luar Kecamatan Menganti. Bahkan, juga dari luar kota seperti Surabaya, Lamongan dan Mojokerto.
“Masih cukup banyak pohon siwalan. Satu-satunya jalan harus dilindungi biar tidak punah, seperti di wilayah Kecamatan Kebomas,” ujar Suep, 41, tokoh pemuda Hendrosari.
(vhs)