BMKG: Fenomena 'Salju' di Dieng Tak Ada Kaitan dengan Aphelion

Jum'at, 06 Juli 2018 - 23:00 WIB
BMKG: Fenomena \Salju\ di Dieng Tak Ada Kaitan dengan Aphelion
BMKG: Fenomena 'Salju' di Dieng Tak Ada Kaitan dengan Aphelion
A A A
JAKARTA - Masyarakat melalui media sosial dihebohkan oleh pemberitaan media mengenai fenomena embun es atau 'salju' di Pegunungan Dieng, Jumat (6/7/2018) pagi. Ada dugaan spekulatif bahwa fenomena tersebut berkaitan dengan kejadian Aphelion, di mana matahari pada Jumat (6/7/2018) pukul 23.48 WIB berada pada jarak terjauhnya dari bumi.

Data yang dihimpun Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan mengacu pada perhitungan Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA membenarkan bahwa Jumat (6/7/2018) jarak bumi-matahari berada pada kondisi terjauhnya (Aphelion) tahun ini dengan jarak maximum tepat terjadi pada 16:48 UTC atau 23.48 WIB.

"Namun Aphelion kali ini sebenarnya bukanlah jarak terjauh bumi-matahari yang pernah dialami, tetapi justru lebih pendek 2.129 km dari rerata Aphelion yang terjadi setiap tahun. Ini berimplikasi pada panjang durasi hari tahun ini yang hanya 363,64 hari," kata Deputi bidang Klimatologi BMKG, Herizal dalam siaran persnya yang diterima SINDOnews, Jumat (6/7/2018) malam. (Baca Juga: Suhu Turun hingga 3 Derajat Celcius, Dieng Diselimuti 'Salju'
Aphelion tak berkaitan dengan kejadian suhu dingin permukaan bumi yang tengah fenomenal di beberapa tempat di Pulau Jawa. Sebagai bukti, kata Herizal, Aphelion tahun lalu terjadi pada 4 Juli 2017, tapi suhu minimum terendah di Bandung justru terjadi pada 26 Juli 2017 yaitu 16.6°C yang tercatat di Stasiun Geofisika BMKG Bandung.

Fenomena suhu dingin malam hari dan embun beku di dataran tinggi Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. "Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin," katanya.

Herizal menjelaskan, permukaan bumi lebih kering pada musim kemarau. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. (Baca Juga: Ini Penjelasan Stasiun Klimatologi Semarang soal 'Salju' di Dieng
Catatan pengamatan Kelebaban Relatif (RH) udara permukaan di Stasiun BMKG Kemayoran, Jakarta saat ini menunjukkan, rerata harian pada Kamis (5/7/2018) mencapai nilai 58% dan suhu udara minimum tercatat 24,2°C. Padahal pada Juni lalu, kelembaban udara umumnya masih berkisar 65%-78% dan suhu udara belum mencapai catatan terendah.

Pada kondisi puncak kemarau saat ini di Jawa, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0°C. Hal ini disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, apalagi pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan.

Pada malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel di pucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat.

"Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua," kata Herizal. (Baca Juga: Bun Upas, Istilah Warga Menyebut Fenomena Salju di Dieng(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5853 seconds (0.1#10.140)