Masjid Sultoni Gunungkidul, Wujud Komitmen Keraton Yogya terhadap Penyebaran Islam

Senin, 18 Juni 2018 - 05:00 WIB
Masjid Sultoni Gunungkidul,...
Masjid Sultoni Gunungkidul, Wujud Komitmen Keraton Yogya terhadap Penyebaran Islam
A A A
Penyebaran Islam di Gunungkidul semakin kuat pada pertengahan 1800-an hingga awal 1900-an. Setelah Masjid AL Huda Playen yang menunjukkan peranan Keraton Yogyakarta untuk penyebaran siar Islam, di Wonosari juga terdapat sebuah masjid tua yang juga pemberian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Masjid yang kini diberi nama Nurul Huda itu terletak di Dusun Kepek I, Desa Kepek, Wonosari. Masjid kecil yang berada di atas tanah seluas 500 meter persegi ini merupakan salah satu masjid dengan bangunan inti masih kuno, yaitu model joglo (model rumah jawa).

Meski telah mengalami pemugaran atau rehab pada tahun 1984, namun model inti masjid berupa empat tiang (saka) dan atapnya yang kahs joglo masih utuh seperti saat masjid ini dipindah dari dusun Purbosari, yang dulu disebut Kakiman pada kisaran tahun 1901.

Takmir masjid setempat Suripto mengungkapkan, bangunan masjid ini awalnya berupa joglo dengan gebyok kayu. Namun pada tahun 1984, masjid yang dulu dikenal dengan sebutan mesjid lawastersebut diperbaiki dengan penggunaan dinding tembok.

Namun demikian, model joglo khas masjid gaya keraton Yogyakarta masih khas terlihat di bangunan yang kini menjadi dua ruang tersebut. "Masjid ini pemberian Sri Sulthan HB VIII untuk salah seorang naib (penghulu) di panewon (sekarang KUA) Wonosari, begitu juga dengan tanahnya adalah tanah milik keraton," ucapnya.

Diakuinya dengan pemberian beberapa masjid Sultoni ini, membuktikan peran kuat keraton Yogyakarta untuk membesarkan pengaruh islam di wilayah Yogyakarta. "Para penewon, diberikan masjid untuk dibangun dan digunakan untuk ibadah," katanya.

Dijelaskan, selain bangunan masjid bentuk rumah joglo, di masjid juga diberikan bedug besar. Namun sayang semenjak pemerintah membangun Masjid Agung Al Iklhas, bedug diboyong ke masjid besar tersebut dan kini sulit dilacak keberadaannya. "Katanya bedug dibawa ke ponjong," ulasnya.

Dia pun mengaku di Gunungkidul ada beberapa masjid lain yang umurnya hampir bersamaan dengan masjid Nurul Huda tersebut. "Yang jelas hampir sama adalah masjid di Ponjong, dan Playen," kata dia.

Meksi berstatus sebagai masjid, namun beberpa pemuka Islam sempat memberikan aturan untuk menggunakan Masjid AL Ikhlas yang letaknya sekitar 300 meter dari masjid tersebut untuk shalat Jumat.

Akibatnya, sejak tahun 1952 masjid ini hanya untuk ibadah lima waktu warga sekitar saja. Sedangkan shalat jumat dipindah ke masjid Al Ikhlas yang berada di sisi barat Alun-Alun Wonosari. "Dulu katanya biar masjid yang besar rame. Maka umat di sekitar mesjid lawas ini pindah Salat Jumat di Masjid AL Ikhlas," lanjutnya.

Karena untuk Salat Jumat dipindah, jamaah putrilah yang sering menggunakan masjid yang hingga kini belum jelas berdirinya tersebut untuk berbagai kegiatan pengajian. "Dulu masjid ini juga dikenal sebagai masjid putri, karena banyak digunakan untuk pengajian dan kegiatan ibu-ibu kompleks pasar Wonosari," beber dia.

Gempa yang terjadi tahun 2006 lalu menjadikan sejarah baru bagi Salat Jumat di masjid lawas tersebut. Pengurus takmir dan warga akhirnya sepakat menggunakan masjid tersebut untuk shalat jumat kembali. "Jadi masjid Al iklas juga sudah ramai dan kami gelar shalat jumat di sini, smapais ekarang," kata Suripto.

Salah satu jamaah masjid Nurul Huda, Ervan Bambang mengatakan, sejak kecil dirinya berjamaah dan juga belajar mengaji di masjid tersebut. Kegiatan Taman Pendidikan Alquran (TPA) di lingkungan masjid juga berjalan setiap bulan ramadan. "Dulu saya sering takut kalau sendirian di di dalam bangunan inti," tuturnya.

Menurutnya, masjid ini berbeda dengan masjid-masjid modern lainnya. "Suasannya di dalam sangat lain, kedetakan dengan keraton masih terlihat di bangunan utama dan model pintu pintunya," pungkasnya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1038 seconds (0.1#10.140)