Misteri Candi Sumberawan, Stupa Penjaga Air Suci Abadi
A
A
A
MALANG - Garis-garis cahaya matahari pagi, mampu menembus celah-celah dedaunan pohon yang tumbuh begitu rapatnya di lereng Gunung Arjuna. Cahaya-cahaya putih itu, menyatu dengan lembut kabut tipis yang turun menyapa setumpuk batu andesit hitam tersusun dalam bentuk stupa.
Candi Sumberawan. Demikian banyak orang mengenal tatanan batu andesit hitam, di lembah lereng Gunung Arjuno, tersebut. Terletak di Dusun Sumberawan, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kawasan ini menghadirkan ketenangan.
Udara sejuk, dan hembusan angin gunung yang lembut, membuat siapapun yang mengunjungi kawasan ini akan mendapatkan ketenangan. Ya… setengah aliran air yang merembes dari setiap celah bukit, dan memenuhi danau di samping candi.
Aliran air jernih dari celah-celah bukit ini, menjadi salah satu mata air terbesar di wilayah Malang. Gemerciknya hadirkan kedamaian dan kehidupan. “Sumberawan, berasal dari dua kata. Yakni sumber dan rawan. Artinya, sumber yang berasal dari rerawan atau rawa-rawa,” ungkap juru kunci Candi Sumberawan, Nuryadi (59).
Dia menyebutkan, kawasan Sumberawan, dahulu disebut juga sebagai tanah Kasurangganan, atau tanah bidadari. Letaknya berada di lereng Gunung Arjuna, dengan ketinggian 650 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Kawasan ini, banyak ditumbuhi pohon pinus. Hal ini membuat suasananya selalu teduh, dan terlindung dari terik sinar matahari pada siang hari. Untuk menuju kawasan ini, bisa dilalui dengan berjalan kaki di jalan setapak dengan hiasan hamparan persawahan.
Nuryadi menyebutkan, candi ini pernah dipugar pada masa kolonila Belanda. Tepatnya, pada sekitar tahun 1937. “Banyak yang percaya, sumber air berada tepat di bawah candi. Tetapi, akibat ditutup untuk proses pemugaran candi pada masa kolonial Belanda, akhirnya airnya merembes ke mana-mana, dan di beberapa lokasi muncul sumber air,” ungkapnya.
Menurut cerita dari pria yang sudah 39 tahun ini menjadi juru kunci candi, Candi Sumberawan, merupakan penggambaran dari Gunung Mandara, yang berfungsi sebagai mandala atau tempat pemujaan dan meditasi, serta tempat mencari air amerta atau air kehidupan.
Sumber air dari Candi Sumberawan, juga dijadikan air suci bagi umat beragama Budha. Sehingga, ketika menyambut upacara Waisak, umat beragama Budha, melakukan upacara khusus di sumber air ini, untuk prosesi pengambilan air suci.
Air dari Sumberawan, diakui Nuryadi, dahulu sangat berlimpah. Bahkan, airnya sampai meluber ke sungai. Tetapi, kebutuhan manusia yang tiada mengenal batas, mulai menganggu kelestarian air suci ini.
Tanah yang dahulu disakralkan, mulai terdesak oleh pembangunan permukiman untuk memenuhi hasrat hidup manusia. Sumber air ini, juga dialirkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan mengairi lahan pertanian. “Dahulu orang mengenal tanah ini wingit atau sakral dan berhantu. Sekarang, hatunya takut sama manusia,” ujar Jianto, 40, salah seorang warga yang biasa berjualan di kawasan ini.
Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, Candi Sumberawan merupakan satu-satunya candi dengan bangunan stupa di Jawa Timur. Biasanya stupa terdapat pada candi-candi di Jawa Tengah. Memiliki ukuran panjang 6,25 meter, lebar 6,25 meter, dan tinggi 5,23 meter.
Melihat ciri-ciri pada bangunan candi, dia menyebutkan, candi ini berlatar belakang agama Budha. “Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-14-15 Masehi. Tepatnya, pada masa Kerajaan Majapahit. Tahun 1359, ada catatan sejarah, kawasan ini disinggahi Raja Hayam Wuruk dalam salah satu perjalanan dinas kelilingnya,” ungkapnya.
Candi ini, ditemukan pertama kali pada 1845. Dikunjungi Dinas Purbakala Hindia Belanda pada 1028, dan 1935. Lalu pada 1937 diadakan pemugaran. Candinya sendiri, diduga didirikan setelah adanya kunjungan Raja Hayam Wuruk. “Kunjungan ini, juga disebut dalam Kitab Negara Kertagama. Kawasan ini disucikan, karena memiliki sumber air suci, sehingga candinya difungsikan untuk pemujaan,” imbuhnya.
Pensucian, dan pensakralan kawasan sumber air, oleh masyarakat di masa lampau. Diakui Dwi, memiliki fungsi efektif dalam menjaga kelestarian sumber air. Air tetap terjaga hingga kini. Tetapi, ancaman perambahan hutan, pendirian bangunan, dan ulah manusia yang serakah, terus mengancam kelestarian sumber air suci ini.
Candi Sumberawan. Demikian banyak orang mengenal tatanan batu andesit hitam, di lembah lereng Gunung Arjuno, tersebut. Terletak di Dusun Sumberawan, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kawasan ini menghadirkan ketenangan.
Udara sejuk, dan hembusan angin gunung yang lembut, membuat siapapun yang mengunjungi kawasan ini akan mendapatkan ketenangan. Ya… setengah aliran air yang merembes dari setiap celah bukit, dan memenuhi danau di samping candi.
Aliran air jernih dari celah-celah bukit ini, menjadi salah satu mata air terbesar di wilayah Malang. Gemerciknya hadirkan kedamaian dan kehidupan. “Sumberawan, berasal dari dua kata. Yakni sumber dan rawan. Artinya, sumber yang berasal dari rerawan atau rawa-rawa,” ungkap juru kunci Candi Sumberawan, Nuryadi (59).
Dia menyebutkan, kawasan Sumberawan, dahulu disebut juga sebagai tanah Kasurangganan, atau tanah bidadari. Letaknya berada di lereng Gunung Arjuna, dengan ketinggian 650 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Kawasan ini, banyak ditumbuhi pohon pinus. Hal ini membuat suasananya selalu teduh, dan terlindung dari terik sinar matahari pada siang hari. Untuk menuju kawasan ini, bisa dilalui dengan berjalan kaki di jalan setapak dengan hiasan hamparan persawahan.
Nuryadi menyebutkan, candi ini pernah dipugar pada masa kolonila Belanda. Tepatnya, pada sekitar tahun 1937. “Banyak yang percaya, sumber air berada tepat di bawah candi. Tetapi, akibat ditutup untuk proses pemugaran candi pada masa kolonial Belanda, akhirnya airnya merembes ke mana-mana, dan di beberapa lokasi muncul sumber air,” ungkapnya.
Menurut cerita dari pria yang sudah 39 tahun ini menjadi juru kunci candi, Candi Sumberawan, merupakan penggambaran dari Gunung Mandara, yang berfungsi sebagai mandala atau tempat pemujaan dan meditasi, serta tempat mencari air amerta atau air kehidupan.
Sumber air dari Candi Sumberawan, juga dijadikan air suci bagi umat beragama Budha. Sehingga, ketika menyambut upacara Waisak, umat beragama Budha, melakukan upacara khusus di sumber air ini, untuk prosesi pengambilan air suci.
Air dari Sumberawan, diakui Nuryadi, dahulu sangat berlimpah. Bahkan, airnya sampai meluber ke sungai. Tetapi, kebutuhan manusia yang tiada mengenal batas, mulai menganggu kelestarian air suci ini.
Tanah yang dahulu disakralkan, mulai terdesak oleh pembangunan permukiman untuk memenuhi hasrat hidup manusia. Sumber air ini, juga dialirkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan mengairi lahan pertanian. “Dahulu orang mengenal tanah ini wingit atau sakral dan berhantu. Sekarang, hatunya takut sama manusia,” ujar Jianto, 40, salah seorang warga yang biasa berjualan di kawasan ini.
Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, Candi Sumberawan merupakan satu-satunya candi dengan bangunan stupa di Jawa Timur. Biasanya stupa terdapat pada candi-candi di Jawa Tengah. Memiliki ukuran panjang 6,25 meter, lebar 6,25 meter, dan tinggi 5,23 meter.
Melihat ciri-ciri pada bangunan candi, dia menyebutkan, candi ini berlatar belakang agama Budha. “Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-14-15 Masehi. Tepatnya, pada masa Kerajaan Majapahit. Tahun 1359, ada catatan sejarah, kawasan ini disinggahi Raja Hayam Wuruk dalam salah satu perjalanan dinas kelilingnya,” ungkapnya.
Candi ini, ditemukan pertama kali pada 1845. Dikunjungi Dinas Purbakala Hindia Belanda pada 1028, dan 1935. Lalu pada 1937 diadakan pemugaran. Candinya sendiri, diduga didirikan setelah adanya kunjungan Raja Hayam Wuruk. “Kunjungan ini, juga disebut dalam Kitab Negara Kertagama. Kawasan ini disucikan, karena memiliki sumber air suci, sehingga candinya difungsikan untuk pemujaan,” imbuhnya.
Pensucian, dan pensakralan kawasan sumber air, oleh masyarakat di masa lampau. Diakui Dwi, memiliki fungsi efektif dalam menjaga kelestarian sumber air. Air tetap terjaga hingga kini. Tetapi, ancaman perambahan hutan, pendirian bangunan, dan ulah manusia yang serakah, terus mengancam kelestarian sumber air suci ini.
(vhs)