Pelaku Pelecehan di RS National Hospital Divonis 9 Bulan Penjara
A
A
A
SURABAYA - Masih ingat kasus pelecehan seksual di RS National Hospital Surabaya melibatkan perawat Zunaidi Abdillah pada 25 Februari 2018 terhadap pasien perempuan W ?
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis Zunaidi sembilan bulan penjara karena terbukti melakukan tindak pidana pelecehan seksual, Rabu (6/6/2018).
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar terdakwa dihukum satu tahun enam bulan penjara.
Dalam surat putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Agus Hamzah menyatakan, terdakwa Zunaidi terbukti melanggar pasal 290 ayat 1 KUHP tentang Pencabulan yang dilakukan terhadap orang yang pingsan atau tidak berdaya.
Hal yang memberatkan hukuman, terdakwa berbelit-belit saat memberikan keterangan di persidangan. Sementara hal yang meringankan, terdakwa tidak pernah terlibat masalah hukum sebelumnya. "Dengan ini menjatuhkan hukuman sembilan bulan penjara kepada saudara terdakwa," kata Agus saat membacakan putusan.
Kasus ini mencuat pada Kamis 25 Februari 2018 lalu saat pasien berinisal W mengunggah video berdurasi sekitar 52 detik. Dalam video tersebut, W yang berstatus pasien di RS National Hospital memarahi perawat pria.
Video tersebut menggambarkan pasien wanita duduk di ranjang menangis dan meminta pengakuan perawat laki-laki. Pasien tersebut menangis dan didampingi dua perawat.
"Kamu remas payudara saya kan? Dua atau tiga kali. Kamu ngaku dulu apa yang kamu perbuat," teriak wanita itu histeris sambil menunjuk ke arah perawat pria.
Perawat pria yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual itu hanya diam dan menunduk. Perawat itu kemudian mengulurkan tangan untuk meminta maaf pada pasien perempuan itu. Dia kemudian berkeliling untuk menyalami keluarga pasien perempuan lainnya yang berada di kamar rumah sakit tersebut.
Tak terima dengan perlakuan perawat, suami W, Yudi Wibowo lantas melaporkan dugaan pelecehan tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Menanggapi vonis tersebut, kuasa hukum terdakwa, M Sholeh mengaku kecewa. Seharusnya, terdakwa divonis bebas.
Pasalnya, tidak ada satupun fakta di persidangan yang memberatkan pria yang berprofesi sebagai perawat tersebut.
Sebagian besar saksi justru meringankan terdakwa. Sehingga, menurutnya aneh ketika majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah pada terdakwa.
"Saat persidangan sebelumnya, terdakwa juga sempat mencabut BAP (berita acara pemeriksaan) karena merasa dalam tekanan penyidik kepolisian. Saya akan minta pada terdakwa untuk mengajukan banding," katanya.
Pihaknya menilai ada banyak kejanggalan dalam perkara ini. Antara lain, alat bukti yang digunakan hanya keterangan pelapor saja.
Terdakwa yang mengakui melakukan pencabulan, bukanlah alat bukti. Selanjutnya, tidak logis ketika orang mendapat perlakuan cabul tapi tidak melawan.
Dari fakta persidangan disebutkan, korban diperlakukan tidak senonoh selama satu menit dengan diremas payudaranya. Saat itu korban tidak berteriak.
Padahal menurut ahli anestesi, korban masih bisa berteriak. Kejadian siang hari, tapi baru pukul 21.30 WIB korban menyampaikan ke perawat. Padahal perawat berjaga mulai pukul 14.00 WIB hingga malam, sudah berkomunikasi selama tiga kali dengan korban.
"Tapi tidak muncul keluhan dari korban. Kok tiba - tiba pukul 21.30 WIB baru mengatakan kalau pada siang tadi merasa ada yang mencabulinya," ujarnya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis Zunaidi sembilan bulan penjara karena terbukti melakukan tindak pidana pelecehan seksual, Rabu (6/6/2018).
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar terdakwa dihukum satu tahun enam bulan penjara.
Dalam surat putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Agus Hamzah menyatakan, terdakwa Zunaidi terbukti melanggar pasal 290 ayat 1 KUHP tentang Pencabulan yang dilakukan terhadap orang yang pingsan atau tidak berdaya.
Hal yang memberatkan hukuman, terdakwa berbelit-belit saat memberikan keterangan di persidangan. Sementara hal yang meringankan, terdakwa tidak pernah terlibat masalah hukum sebelumnya. "Dengan ini menjatuhkan hukuman sembilan bulan penjara kepada saudara terdakwa," kata Agus saat membacakan putusan.
Kasus ini mencuat pada Kamis 25 Februari 2018 lalu saat pasien berinisal W mengunggah video berdurasi sekitar 52 detik. Dalam video tersebut, W yang berstatus pasien di RS National Hospital memarahi perawat pria.
Video tersebut menggambarkan pasien wanita duduk di ranjang menangis dan meminta pengakuan perawat laki-laki. Pasien tersebut menangis dan didampingi dua perawat.
"Kamu remas payudara saya kan? Dua atau tiga kali. Kamu ngaku dulu apa yang kamu perbuat," teriak wanita itu histeris sambil menunjuk ke arah perawat pria.
Perawat pria yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual itu hanya diam dan menunduk. Perawat itu kemudian mengulurkan tangan untuk meminta maaf pada pasien perempuan itu. Dia kemudian berkeliling untuk menyalami keluarga pasien perempuan lainnya yang berada di kamar rumah sakit tersebut.
Tak terima dengan perlakuan perawat, suami W, Yudi Wibowo lantas melaporkan dugaan pelecehan tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Menanggapi vonis tersebut, kuasa hukum terdakwa, M Sholeh mengaku kecewa. Seharusnya, terdakwa divonis bebas.
Pasalnya, tidak ada satupun fakta di persidangan yang memberatkan pria yang berprofesi sebagai perawat tersebut.
Sebagian besar saksi justru meringankan terdakwa. Sehingga, menurutnya aneh ketika majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah pada terdakwa.
"Saat persidangan sebelumnya, terdakwa juga sempat mencabut BAP (berita acara pemeriksaan) karena merasa dalam tekanan penyidik kepolisian. Saya akan minta pada terdakwa untuk mengajukan banding," katanya.
Pihaknya menilai ada banyak kejanggalan dalam perkara ini. Antara lain, alat bukti yang digunakan hanya keterangan pelapor saja.
Terdakwa yang mengakui melakukan pencabulan, bukanlah alat bukti. Selanjutnya, tidak logis ketika orang mendapat perlakuan cabul tapi tidak melawan.
Dari fakta persidangan disebutkan, korban diperlakukan tidak senonoh selama satu menit dengan diremas payudaranya. Saat itu korban tidak berteriak.
Padahal menurut ahli anestesi, korban masih bisa berteriak. Kejadian siang hari, tapi baru pukul 21.30 WIB korban menyampaikan ke perawat. Padahal perawat berjaga mulai pukul 14.00 WIB hingga malam, sudah berkomunikasi selama tiga kali dengan korban.
"Tapi tidak muncul keluhan dari korban. Kok tiba - tiba pukul 21.30 WIB baru mengatakan kalau pada siang tadi merasa ada yang mencabulinya," ujarnya.
(vhs)