Rancadarah, Saksi Pertempuran Kelompok China Makao Melawan Belanda
![Rancadarah, Saksi Pertempuran...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2018/04/06/29/1295692/rancadarah-saksi-pertempuran-kelompok-china-makao-melawan-belanda-rW4-thumb.jpg)
Rancadarah, Saksi Pertempuran Kelompok China Makao Melawan Belanda
A
A
A
PURWAKARTA - Jalan Raya Purwakarta-Wanayasa, Jawa Barat, sejauh 25 kilometer termasuk cukup familiar disaat arus mudik Lebaran, sebelum adanya Tol Cipali. Sebab jalan raya ini kerap menjadi jalur alternatif dan penting disaat jalur Pantura dan jalur tengah (Sadang-Subang) mengalami kemacetan cukup parah.
Sebenarnya ada satu kisah pilu di salah satu lokasi di jalur Purwakarta-Wanayasa ini, tepatnya sekitar daerah Rancadarah, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten Purwakarta. Sebab, Rancadarah erat kaitannya dengan peristiwa Pemberontakan China Makao, yang menurut beberapa catatan Belanda, terjadi pada 8–9 Mei 1832.
Menurut sejarawan Kabupaten Purwakarta, Budi Rahayu Tamsah, peristiwa itu bermula dari pekerja China Makao yang mengerjakan pembukaan perkebunan teh di Wanayasa, tepatnya di Pasir Nagara Cina atau Garacina. Para pekerja China itu tidak merasa puas karena upahnya selalu terlambat serta banyak potongan.
Sementara itu, di daerah Cilangkap, Purwakarta, banyak juga China Makao pendatang yang membuka lahan-lahan pertanian. Mereka juga kecewa, karena penguasa saat itu melarang melanjutkan pembukaan lahan-lahan baru di sana. Akhirnya, China Makao pekerja teh di Pasir Nagara Cina, diam-diam berunding dengan China Makao Cilangkap untuk melakukan perlawanan.
Pada 8 dan 9 Mei 1832, terjadilah kerusuhan besar-besaran di Purwakarta. China Makao membakari gedung-gedung dan bangunan pemerintah, yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Karawang bersama dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gudang-gudang di Pelabuhan Cikao pun dibakar habis. Bupati Karawang saat itu, Raden Adipati Suriawinata, bisa meloloskan diri dari pendopo dan bersembunyi di Loji Belanda di Kembangkuning.
"Untuk memadamkan kerusuhan tersebut, didatangkanlah bala bantuan dari beberapa kabupaten, seperti Cianjur, Sumedang, dan Bandung. Pasukan tentara Hindia Belanda yang bermarkas di Wanayasa, juga turun ke Purwakarta dengan membawa tiga buah meriam, dipimpin oleh komandannya langsung Heinrich Christian Macklot. Mereka bersama-sama mengejar para perusuh hingga ke sebelah barat. Karena ternyata, kerusuhan itu menyebar hingga ke Tanjungpura," ungkap Budi kepada SINDOnews.
Pada saat yang bersamaan, pasukan tentara Belanda dari Batavia yang dipimpin oleh Alibasyah Sentot Prawirodirjo (pascakalah dalam Perang Diponegoro), telah berhasil mengatasi kerusuhan di sana. Banyak China Makao yang terbunuh.
Sisanya kembali ke daerah Purwakarta. Tapi di daerah Dawuan telah dihadang oleh pasukan Macklot. Gerombolan China Makao yang telah gelap mata itu, melakukan perlawanan habis-habisan. Macklot terkena sabetan senjata tajam China Makao. Ia terluka parah dan tiga hari kemudian, tepatnya 12 Mei 1832, meninggal dunia di Purwakarta dalam usia 33 tahun.
Sementara itu, China Makao dari Wanayasa berencana akan menyerang Purwakarta dari arah selatan. China Makao dari Nagara Cina berduyun-duyun turun gunung menuju Purwakarta.
Perlawanan China Makao dari kaki Gunung Burangrang ini, terjadi pada tanggal 10 Mei 1832, sehari setelah terjadinya kerusuhan di Purwakarta. Mereka membuat kerusuhan di sepanjang jalan Wanayasa-Purwakarta. Namun anehnya, mereka tidak mengganggu bangunan atau pun penduduk yang berada di Kota Wanayasa.
Ada dugaan, mereka berjalan melalui daerah pinggiran Wanayasa, mungkin untuk menghindari penjagaan yang lebih ketat setelah adanya kabar kerusuhan di Purwakarta.
Mereka melintasi perkebunan teh, daerah yang sudah sangat dikenalnya, karena sudah lebih empat tahun bekerja di sana. Sebagian dari rombongan mereka sempat membunuh Sheper Leau, kepala perkebunan teh di Wanayasa yang terkenal bengis.
Sheper Leau dilempari dengan batu, sampai akhirnya disembelih. Mayatnya dibawa, lalu dibuang di tengah-tengah hutan. Kemudian hutan tersebut dikenal dengan nama Leuweung Ciperlaw (Hutan Ciperlaw). Mereka bersatu setelah keluar dari Kota Wanayasa dan mulai melakukan aksinya.
Rupanya aksi China Makao dari Pasir Nagara Cina ini, dengan cepat terendus oleh pasukan Belanda di Purwakarta. Mereka pun lantas naik ke arah Wanayasa. Dan bertemu dengan gerombolan China Makao di tanjakan Pasir Panjang.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Dalam pertempuran tersebut, banyak korban dari kedua belah pihak. Darah pun menggenangi tanah di mana-mana, layaknya sebuah rawa (dalam bahasa Sunda disebut ranca). Maka daerah itu pun oleh masyarakat setempat dinamai Rancadarah.
Mayat-mayatnya dibuang ke sebuah lembah di sekitar Rancadarah. Untuk mendata dan mencatat korban, harus menggunakan sigay, yakni tangga bambu yang biasa dipergunakan untuk menyadap nira enau. Maka daerah itu pun dinamai Legok Sigay.
Beberapa orang China Makao yang selamat, kembali ke Wanayasa. Mereka bersembunyi di sekitar Pasir Nagara Cina. Lalu berbaur dengan masyarakat setempat. Bahkan ada yang bermukim di perkampungan di dalam Kota Wanayasa.
Gang Pringgandani di samping Klinik Dokter Ridwan, misalnya, dulunya bernama Gang Babah Kecil. Karena di ujung gang tersebut, tinggal seorang China Makao dari Nagara Cina, yang bertubuh kecil. Tak ada yang tahu nama sebenarnya, tidak diketahui pula menikah dengan penduduk setempat.
Saat ini di sekitar daerah Rancadarah, berupa hutan yang masih terpelihara. Bahkan, aroma mistis pun akan terasa ketika melintasi daerah itu, terutama saat malam hari, apalagi ketika teringat peristiwa pembantaian dimasa lalu.
Sebenarnya ada satu kisah pilu di salah satu lokasi di jalur Purwakarta-Wanayasa ini, tepatnya sekitar daerah Rancadarah, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten Purwakarta. Sebab, Rancadarah erat kaitannya dengan peristiwa Pemberontakan China Makao, yang menurut beberapa catatan Belanda, terjadi pada 8–9 Mei 1832.
Menurut sejarawan Kabupaten Purwakarta, Budi Rahayu Tamsah, peristiwa itu bermula dari pekerja China Makao yang mengerjakan pembukaan perkebunan teh di Wanayasa, tepatnya di Pasir Nagara Cina atau Garacina. Para pekerja China itu tidak merasa puas karena upahnya selalu terlambat serta banyak potongan.
Sementara itu, di daerah Cilangkap, Purwakarta, banyak juga China Makao pendatang yang membuka lahan-lahan pertanian. Mereka juga kecewa, karena penguasa saat itu melarang melanjutkan pembukaan lahan-lahan baru di sana. Akhirnya, China Makao pekerja teh di Pasir Nagara Cina, diam-diam berunding dengan China Makao Cilangkap untuk melakukan perlawanan.
Pada 8 dan 9 Mei 1832, terjadilah kerusuhan besar-besaran di Purwakarta. China Makao membakari gedung-gedung dan bangunan pemerintah, yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Karawang bersama dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gudang-gudang di Pelabuhan Cikao pun dibakar habis. Bupati Karawang saat itu, Raden Adipati Suriawinata, bisa meloloskan diri dari pendopo dan bersembunyi di Loji Belanda di Kembangkuning.
"Untuk memadamkan kerusuhan tersebut, didatangkanlah bala bantuan dari beberapa kabupaten, seperti Cianjur, Sumedang, dan Bandung. Pasukan tentara Hindia Belanda yang bermarkas di Wanayasa, juga turun ke Purwakarta dengan membawa tiga buah meriam, dipimpin oleh komandannya langsung Heinrich Christian Macklot. Mereka bersama-sama mengejar para perusuh hingga ke sebelah barat. Karena ternyata, kerusuhan itu menyebar hingga ke Tanjungpura," ungkap Budi kepada SINDOnews.
Pada saat yang bersamaan, pasukan tentara Belanda dari Batavia yang dipimpin oleh Alibasyah Sentot Prawirodirjo (pascakalah dalam Perang Diponegoro), telah berhasil mengatasi kerusuhan di sana. Banyak China Makao yang terbunuh.
Sisanya kembali ke daerah Purwakarta. Tapi di daerah Dawuan telah dihadang oleh pasukan Macklot. Gerombolan China Makao yang telah gelap mata itu, melakukan perlawanan habis-habisan. Macklot terkena sabetan senjata tajam China Makao. Ia terluka parah dan tiga hari kemudian, tepatnya 12 Mei 1832, meninggal dunia di Purwakarta dalam usia 33 tahun.
Sementara itu, China Makao dari Wanayasa berencana akan menyerang Purwakarta dari arah selatan. China Makao dari Nagara Cina berduyun-duyun turun gunung menuju Purwakarta.
Perlawanan China Makao dari kaki Gunung Burangrang ini, terjadi pada tanggal 10 Mei 1832, sehari setelah terjadinya kerusuhan di Purwakarta. Mereka membuat kerusuhan di sepanjang jalan Wanayasa-Purwakarta. Namun anehnya, mereka tidak mengganggu bangunan atau pun penduduk yang berada di Kota Wanayasa.
Ada dugaan, mereka berjalan melalui daerah pinggiran Wanayasa, mungkin untuk menghindari penjagaan yang lebih ketat setelah adanya kabar kerusuhan di Purwakarta.
Mereka melintasi perkebunan teh, daerah yang sudah sangat dikenalnya, karena sudah lebih empat tahun bekerja di sana. Sebagian dari rombongan mereka sempat membunuh Sheper Leau, kepala perkebunan teh di Wanayasa yang terkenal bengis.
Sheper Leau dilempari dengan batu, sampai akhirnya disembelih. Mayatnya dibawa, lalu dibuang di tengah-tengah hutan. Kemudian hutan tersebut dikenal dengan nama Leuweung Ciperlaw (Hutan Ciperlaw). Mereka bersatu setelah keluar dari Kota Wanayasa dan mulai melakukan aksinya.
Rupanya aksi China Makao dari Pasir Nagara Cina ini, dengan cepat terendus oleh pasukan Belanda di Purwakarta. Mereka pun lantas naik ke arah Wanayasa. Dan bertemu dengan gerombolan China Makao di tanjakan Pasir Panjang.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Dalam pertempuran tersebut, banyak korban dari kedua belah pihak. Darah pun menggenangi tanah di mana-mana, layaknya sebuah rawa (dalam bahasa Sunda disebut ranca). Maka daerah itu pun oleh masyarakat setempat dinamai Rancadarah.
Mayat-mayatnya dibuang ke sebuah lembah di sekitar Rancadarah. Untuk mendata dan mencatat korban, harus menggunakan sigay, yakni tangga bambu yang biasa dipergunakan untuk menyadap nira enau. Maka daerah itu pun dinamai Legok Sigay.
Beberapa orang China Makao yang selamat, kembali ke Wanayasa. Mereka bersembunyi di sekitar Pasir Nagara Cina. Lalu berbaur dengan masyarakat setempat. Bahkan ada yang bermukim di perkampungan di dalam Kota Wanayasa.
Gang Pringgandani di samping Klinik Dokter Ridwan, misalnya, dulunya bernama Gang Babah Kecil. Karena di ujung gang tersebut, tinggal seorang China Makao dari Nagara Cina, yang bertubuh kecil. Tak ada yang tahu nama sebenarnya, tidak diketahui pula menikah dengan penduduk setempat.
Saat ini di sekitar daerah Rancadarah, berupa hutan yang masih terpelihara. Bahkan, aroma mistis pun akan terasa ketika melintasi daerah itu, terutama saat malam hari, apalagi ketika teringat peristiwa pembantaian dimasa lalu.
(nag)