Kampung Kapitan, Saksi Perjalanan Etnis Tionghoa di Palembang
A
A
A
Peradaban etnis Tionghoa di Palembang, Sumatera Selatan, sudah sejak zaman dahulu telah ada. Salah satu saksi bisu sejarah masuknya etnis Tionghoa di bumi Sriwijaya yakni kampung Kapitan yang berada di kawasan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Di bagian utara kampung Kapitan sendiri berbatasan dengan sungai Musi, sedangkan di bagian Selatan berbatasan dengan Jalan KH Azhari. Lalu bagian barat berbatasan dengan sungai Kelenteng yang kini sudah ditimbun dan sebelah timur berbatasan dengan sungai Kedemangan.
Kampung Kapitan bukan hanya sebagai pemukiman etnis Tionghoa saja. Namun, tempat ini merupakan tempat sejarah budaya Tionghoa sejak zaman kolonial Belanda.
Dari sejarahnya, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI. Nama Kampung Kapitan sendiri diambil dari jabatan pria asal Cina bernama Tjoa Ham Hin yang menggantikan kedudukan ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan.
Pada masa itu, Tjoa Ham Hin diangkat oleh Belanda menjadi Kapitan. Kapitan artinya sama dengan Kapiten atau zaman sekarang disebut Kapten. Dimana pemilihan itu berdasarkan status ekonomi tertinggi.
Tugas dari Kapitan Tjoa Ham Hin adalah mengurus kependudukan, pernikahan, perceraian, serta pembayaran pajak. Pajak yang didapat oleh Kapitan Tjia Ham Hin ini disetor ke kompeni Belanda yang kala itu menjajah Palembang.
Oleh sebab itu, di Kampung Kapitan terdapat banyak bentuk rumah yang mengadopsi tipologi rumah masyarakat Cina yang dipadukan dengan dengan rumah Limas serta sedikit sentuhan Eropa dengan diberikan ruang terbuka pada bagian tengahnya, yang berguna untuk masuknya cahaya.
Sedangkan di bagian dalam dilengkapi dengan meja altar dan meja abu yang dihiasi beberapa patung dewa untuk pemujaan bagi leluhur. Tidak hanya itu, beberapa foto kapitan juga masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.
Bangunan inti di Kampung Kapitan tersebut terdiri dari tiga rumah yang merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah paling sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan tempat pertemuan, sementara kedua rumah di sisi timur dan barat untuk rumah tinggal anak cucu serta kerabat dari Kapitan Tjoa Ham Hin.
Akses menuju Kampung Kapitan bisa dituju dari dua jalur, yakni jalur darat dab sungai. Dari jalur sungai dapat ditempuh dengan perahu getek. Sedangkan dari jalur darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera.
Suasana Tionghoa masih terasa kental saat memasuki kawasan tersebut. Namun, karena kurangnya perhatian, ketenaran kampung Kapitan ini menjadi sirna.
Informasi yang diterima dari warga setempat, sebelumnya di depan rumah Kapitan persis di tengah kampung tersebut terdapat taman dan dua patung singa, lambang rumah perwira Cina yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti.
Namun saat ini sudah hilang lantaran kurang terawat. "Kampung ini sudah tidak terurus setelah ditinggal oleh anak cucu Kapitan yang sekarang banyak di luar kota," kata Hadi.
Meski sempat dijadikan objek wisata, namun kampung Kapitan luput dari kepedulian pemerintah. Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kota Palembang sempat membangun taman beton di halaman bangunan tua tersebut. Namun, taman itu terbengkalai dan di sana-sini mengalami kerusakan.
"Tidak ada perhatian, kini cuma kami saja yang mengurusnya dengan biaya seadanya. Padahal tempat ini merupakan salah satu tempat yang banyak dikunjunhi saat cap go meh," pungkasnya.
Di bagian utara kampung Kapitan sendiri berbatasan dengan sungai Musi, sedangkan di bagian Selatan berbatasan dengan Jalan KH Azhari. Lalu bagian barat berbatasan dengan sungai Kelenteng yang kini sudah ditimbun dan sebelah timur berbatasan dengan sungai Kedemangan.
Kampung Kapitan bukan hanya sebagai pemukiman etnis Tionghoa saja. Namun, tempat ini merupakan tempat sejarah budaya Tionghoa sejak zaman kolonial Belanda.
Dari sejarahnya, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI. Nama Kampung Kapitan sendiri diambil dari jabatan pria asal Cina bernama Tjoa Ham Hin yang menggantikan kedudukan ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan.
Pada masa itu, Tjoa Ham Hin diangkat oleh Belanda menjadi Kapitan. Kapitan artinya sama dengan Kapiten atau zaman sekarang disebut Kapten. Dimana pemilihan itu berdasarkan status ekonomi tertinggi.
Tugas dari Kapitan Tjoa Ham Hin adalah mengurus kependudukan, pernikahan, perceraian, serta pembayaran pajak. Pajak yang didapat oleh Kapitan Tjia Ham Hin ini disetor ke kompeni Belanda yang kala itu menjajah Palembang.
Oleh sebab itu, di Kampung Kapitan terdapat banyak bentuk rumah yang mengadopsi tipologi rumah masyarakat Cina yang dipadukan dengan dengan rumah Limas serta sedikit sentuhan Eropa dengan diberikan ruang terbuka pada bagian tengahnya, yang berguna untuk masuknya cahaya.
Sedangkan di bagian dalam dilengkapi dengan meja altar dan meja abu yang dihiasi beberapa patung dewa untuk pemujaan bagi leluhur. Tidak hanya itu, beberapa foto kapitan juga masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.
Bangunan inti di Kampung Kapitan tersebut terdiri dari tiga rumah yang merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah paling sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan tempat pertemuan, sementara kedua rumah di sisi timur dan barat untuk rumah tinggal anak cucu serta kerabat dari Kapitan Tjoa Ham Hin.
Akses menuju Kampung Kapitan bisa dituju dari dua jalur, yakni jalur darat dab sungai. Dari jalur sungai dapat ditempuh dengan perahu getek. Sedangkan dari jalur darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera.
Suasana Tionghoa masih terasa kental saat memasuki kawasan tersebut. Namun, karena kurangnya perhatian, ketenaran kampung Kapitan ini menjadi sirna.
Informasi yang diterima dari warga setempat, sebelumnya di depan rumah Kapitan persis di tengah kampung tersebut terdapat taman dan dua patung singa, lambang rumah perwira Cina yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti.
Namun saat ini sudah hilang lantaran kurang terawat. "Kampung ini sudah tidak terurus setelah ditinggal oleh anak cucu Kapitan yang sekarang banyak di luar kota," kata Hadi.
Meski sempat dijadikan objek wisata, namun kampung Kapitan luput dari kepedulian pemerintah. Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kota Palembang sempat membangun taman beton di halaman bangunan tua tersebut. Namun, taman itu terbengkalai dan di sana-sini mengalami kerusakan.
"Tidak ada perhatian, kini cuma kami saja yang mengurusnya dengan biaya seadanya. Padahal tempat ini merupakan salah satu tempat yang banyak dikunjunhi saat cap go meh," pungkasnya.
(nag)