Kebocoran Air PDAM Sleman Masih Tinggi
A
A
A
SLEMAN - Tingkat kebocoran air perusahaan daerah air minum (PDAM) Sleman masih cukup tinggi. Data PDAM setempat tahun 2017 persentase kebocoran air mencapai 27,80%.
Sistem exiting yang sebagian besar masih mengunakan perpompaan diduga menjadi penyebabnya. Jika hal ini tidak ada solusi, selain dapat menganggu pasokan kebutuhan air ke pelanggan juga percepatan tambahan sambungan.
Direktur PDAM Sleman Dwi Nurwata mengakui hingga sekarang kebocoran air PDAM masih terjadi, meski secara persentase jika dibandingkan dengan daerah lain di DIY paling rendah. Kebocoran sendiri akibat sistem distribusi. Sebab untuk penyaluran air masih memakai perpompaan. Akibatnya banyak air yang terbuang, terutama saat pengolahan air (washing water) menjadi air bersih yang layak konsumsi.
“Dari 380 liter/detik debit air, yang menggunakan sistem grativikasi baru 96 liter/detik sisanya 284 liter/detik masih memakai sistem perpompaan. Sehingga kebocoran masih relatif tinggi,” kata Dwi Nurwata usai pelantikan dewan pengawas PDAM Sleman di Pemkab Sleman, (12/3/2018).
Dwi menjelaskan, guna menekan kebocoran air tersebut, selain akan mengoptimalkan sistem yaitu dari perpompaan menjadi gravitasi juga dengan menerapkan zona sistem (distrik meteran), yaitu alat untuk mendeteksi dini kebocoran air, pengecekan meteran pelanggan dan jaringan transmisi serta audit debit air .
"Ditargetkan dengan langkah ini, tingkat kebocoran dapat ditekan hingga 1,5% pada tahun 2018,” paparnya.
Dwi menambahkan, PDAM Sleman juga akan meningkatkan layanan dan percepatan sambungan. Untuk percepatan ini, di antaranya dengan mengembangkan empat pengelolaan sumber air baru yaitu di Pakem, Kalasan, Gamping dan Prambanan. Selain itu pemasangan baru melalui program pelanggaran hibah air minum (PHAM), yaitu berupa keringangan biaya sambungan dari Rp1 juta menjadi Rp300.000. Terutama di daerah pinggiran, seperti Seyegan, Godean, Gampimg, Minggir dan Moyudan.
Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, maka PDAM dituntut untuk peka dan jeli dalam membaca kondisi riil di lapangan. Termasuk dapat terus berinovasi dalam program kerja yang dicanangkan dan dapat secara dinamis meningkatkan layanan kepada masyarakat sehingga mampu meminimalisir ketidakpuasan masyarakat atas layanan yang diberikan.
Sistem exiting yang sebagian besar masih mengunakan perpompaan diduga menjadi penyebabnya. Jika hal ini tidak ada solusi, selain dapat menganggu pasokan kebutuhan air ke pelanggan juga percepatan tambahan sambungan.
Direktur PDAM Sleman Dwi Nurwata mengakui hingga sekarang kebocoran air PDAM masih terjadi, meski secara persentase jika dibandingkan dengan daerah lain di DIY paling rendah. Kebocoran sendiri akibat sistem distribusi. Sebab untuk penyaluran air masih memakai perpompaan. Akibatnya banyak air yang terbuang, terutama saat pengolahan air (washing water) menjadi air bersih yang layak konsumsi.
“Dari 380 liter/detik debit air, yang menggunakan sistem grativikasi baru 96 liter/detik sisanya 284 liter/detik masih memakai sistem perpompaan. Sehingga kebocoran masih relatif tinggi,” kata Dwi Nurwata usai pelantikan dewan pengawas PDAM Sleman di Pemkab Sleman, (12/3/2018).
Dwi menjelaskan, guna menekan kebocoran air tersebut, selain akan mengoptimalkan sistem yaitu dari perpompaan menjadi gravitasi juga dengan menerapkan zona sistem (distrik meteran), yaitu alat untuk mendeteksi dini kebocoran air, pengecekan meteran pelanggan dan jaringan transmisi serta audit debit air .
"Ditargetkan dengan langkah ini, tingkat kebocoran dapat ditekan hingga 1,5% pada tahun 2018,” paparnya.
Dwi menambahkan, PDAM Sleman juga akan meningkatkan layanan dan percepatan sambungan. Untuk percepatan ini, di antaranya dengan mengembangkan empat pengelolaan sumber air baru yaitu di Pakem, Kalasan, Gamping dan Prambanan. Selain itu pemasangan baru melalui program pelanggaran hibah air minum (PHAM), yaitu berupa keringangan biaya sambungan dari Rp1 juta menjadi Rp300.000. Terutama di daerah pinggiran, seperti Seyegan, Godean, Gampimg, Minggir dan Moyudan.
Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, maka PDAM dituntut untuk peka dan jeli dalam membaca kondisi riil di lapangan. Termasuk dapat terus berinovasi dalam program kerja yang dicanangkan dan dapat secara dinamis meningkatkan layanan kepada masyarakat sehingga mampu meminimalisir ketidakpuasan masyarakat atas layanan yang diberikan.
(rhs)