Habib Sholeh Tanggul, Waliyullah yang Doanya Makbul
A
A
A
DERAJAT kewalian Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid tidak diragukan lagi. Kewaliannya telah mencapai tingkatan Qutub, yakni pemimpin dan pemuka bagi para aulia di masanya.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf pernah berkata bahwa Habib Sholeh adalah orang yang doanya selalu terkabul dan orang yang sangat dicintai dan disegani. Cerita Pagi kali ini akan menyuguhkan kisah dan karomah Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid.
Dari banyak referensi tentang karomah beliau, penulis sengaja mengambil kisahnya dari Managib Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid yang ditulis Shohibul Fadhilah Sayyidiy Al-Habib Muhammad Rafiq Al-Kaff yang dipublish pada 6 Juli 2017.
Dalam Managib tersebut diceritakan beberapa karomah dan perjalanan dakwah Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid. Habib Sholeh lahir di Korbah Ba Karman, Wadi ‘Amd, sebuah desa di Hadramaut, Yaman, pada tahun 1313 Hijriyah. Ayah beliau Habib Muhsin bin Ahmad Al-Hamid terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, ulama yang sangat dihormati. Ibundanya seorang wanita salehah bernama ‘Aisyah, dari keluarga Al-Abud Ba Umar dari Masyaikh Al-‘Amudi.
Beliau mempelajari Alquran dari seorang guru bernama Syaikh Said Ba Mudhij, di Wadi ‘Amd. Sedangkan ilmu fiqih dan tasawuf beliau pelajari dari ayahnya Al-Habib Muhsin bin Ahmad Al-Hamid.
Pada usia 26 tahun, bertepatan tahun 1921 Masehi, Al-Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut dan hijrah ke Indonesia ditemani Syeikh Fadli Sholeh Salim bin Ahmad Al-Asykariy. Setibanya di Indonesia, beliau singgah di Jakarta beberapa hari.
Mendengar kedatangan Habib Sholeh, sepupu beliau Habib Muhsin bin Abdullah Al-Hamid, meminta Habib Sholeh untuk tinggal sementara di kediamannya di Kota Lumajang. Setelah menetap beberapa hari, beliau pindah ke Tanggul, Jember, Jawa Timur. Dan akhirnya menetap di Tanggul, hingga akhir hayat beliau.
Sebelum memulai dakwahnya di Jember, Habib Sholeh pernah mengasingkan diri lebih dari tiga tahun. Beliau berkhalwat dengan membaca Alqur’an, bersalawat dan berdzikir. Guru besarnya Al-Imam Al-Qutub Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mengajak beliau keluar dari khalwatnya, lalu meminta Habib Sholeh datang ke kediamannya di Kota Gresik.
Sesampainya di rumah Al-Habib Abubakar, Habib Sholeh mendapat mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban hijau dari gurunya sebagai pertanda kewalian quthb (kutub) yang akan diembannya. Setelah itu, Habib Sholeh mendapat isyarat untuk datang ke Makkah dan Madinah. Usai berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, beliau kembali ke Indonesia untuk berdakwah.
Dakwah Habib Sholeh diawalinya dengan membangun musalla di tempat kediamannya. Habib Sholeh mengisinya dengan salat berjamaah dan menghidupkan Quran antara magrib dan Isya. Beliau juga memberi tausiyah dan pengajian yang membahas seputar ilmu syariat dan ilmu fiqih.
Setiap selesai salat Ashar, beliau membacakan kitab An-Nashaihud Dinniyah, karangan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.
Beberapa tahun kemudian, beliau mendapat hadiah sebidang tanah dari seorang Muhibbin (orang yang mencintai anak cucu keturunan Rasulullah SAW) yakni Haji Abdur Rasyid. Di atas tanah inilah beliau membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadus Shalihin dan kemudian mewakafkannya. Dakwah dan kegiatan keagamaan pun kian hidup setelah masjid ini berdiri.
Selain berdakwah di masjid, Habib Sholeh dalam kesehariannya, selalu melapangkan orang susah. Membantu orang-orang yang dililit utang, membantu fakir dan anak yatim. Jika beliau melihat gadis dan pemuda yang belum kawin, beliau mencarikan pasangan hidup dengan menawarkan seorang calon. Pernah pula dalam sehari beliau mendamaikan dua atau tiga orang yang bertikai.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Habib Sholeh tercatat sebagai pemberi semangat dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Beliau dikenal karena akhlaknya yang mulia, tidak pernah menyakiti hati orang lain.
Dikisahkan, suatu waktu beliau sedang berjalan bersama Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta. Beliau berkunjung ke kediaman Habib Ali di Bungur, Jakarta. Saat melintasi sebuah lapangan, beliau melihat banyak orang berkumpul melaksanakan salat Istisqa (salat minta hujan), lantaran Jakarta saat itu dilanda kemarau panjang. Tak lama kemudian, setelah Habib Sholeh menengadahkan tangannya ke langit, seraya membaca doa meminta hujan. Taklama kemudian, hujan pun turun.
Suatu ketika ada orang bertanya, "Ya Habib Sholeh, apa sih kelebihan ibadah Habib sehingga doa Habib cepat terkabul ? Habib Sholeh menjawab, "Mau tahu rahasianya? Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali, "Apa maksudnya, ya Habib?"
Habib Sholeh berkata, “jangan pernah pispot di kepala dalam beribadah artinya, jangan membanggakan dunia yang pada akhirnya hanya akan membuat diri kita malu. Pispot, walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang juga terbaik, kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu. Kalau orang membangga-banggakan diri bermodalkan dunianya, lihat saja, orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamer-pamerin," kata Habib Sholeh. Selain itu katanya, "Jangan melakukan dosa syirik."
Karomah Habib Sholeh
Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menceritakan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara kaffah (sempurna). Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.
Banyak yang meyakini, Habib Sholeh Tanggul adalah seorang waliyullah yang dekat dengan Nabi Khidir (Alaihiisalam). Karena itu pula beliau terkenal dermawan, seolah apapun yang beliau miliki ingin beliau berikan kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Pertemuannya dengan Nabi Khidir disebut-sebut sebagai salah satu karamah Habib Sholeh. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.
Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju Stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba seorang pengemis datang meminta uang. Habib Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki.
Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang.
Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik adalah ciri fisik Nabi Khidir. Tangannya pun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemis pun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu. Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang berpakaian serba hitam meminta Yik Sholeh menunjukkan rumah Habib Sholeh.
Karena tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada tuan, nama Habib Sholeh. Yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu Anda lah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.
Sejak peristiwa itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi orang, mulai sekadar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari Tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain.
Dari Adam Malik Hingga Alwi Shihab
Mantan Wakil Presiden RI Adam Malik adalah satu dari sekian pejabat yang pernah sowan ke rumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau apabila Habib Sholeh berkunjung ke Jakarta, penyambutannya melebihi penjemputan pejabat tinggi negara.
Saat Adam Malik menjabat Kepala Kantor Berita Antara, mengungkap keterlibatan Menlu RI Soebandrio, yang saat itu dikenal sebagai tokoh berpaham komunis. Berita-berita yang dimuat Adam Malik membuat Soebandrio dan jajarannya marah besar.
Mendapat ancaman itu, Adam Malik pun berusaha mencari perlindungan. Maka datanglah ia kepada Habib Sholeh Al-Hamid di Tanggul, Jember. Adam Malik menceritakan latar belakang persoalannya. Mendengar pengaduan itu, Habib Sholeh Tanggul hanya tersenyum. Beliau berkata: "Jangan takut terhadap ancamannya. Nanti kamu yang akan menggantikan kedudukannya."
Tak lama berselang, setelah Soeharto menjabat Presiden, giliran Adam Malik yang menjabat menteri luar negeri (Menlu). Apa yang pernah diucapkan Habib Sholeh Tanggul benar-benar jadi kenyataan.
Kisah serupa terjadi sekitar 30 tahun lalu. Alwi Shihab, mantan menteri luar negeri di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, pernah datang ke kediaman Habib Sholeh Tanggul. Pada masa itu, ia datang diantar ayahandanya. Keperluannya mohon doa restu untuk belajar luar negeri. Tujuannya belajar ke Amerika di Harvard University.
Alwi Shihab mengutarakan apa yang menjadi masalahnya. Antara lain, ia tidak punya biaya yang cukup untuk mengurus visa dan paspor. Mendengar keluhan Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menyarankan agar Alwi Shihab mandi di dua sumur yang terdapat di sekitar kediamannya.
Alwi Shihab pun mandi mandi di dua sumur tersebut. Setelah itu, kepada Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menasehati agar datang ke Adam Malik yang saat itu menjabat Menlu. Spontan, Alwi Shihab mengatakan kekhawatirannya. Ia rakyat biasa, bagaimana bisa bertemu dengan seorang menteri?
Mendengar keberatan Alwi Shihab, akhirnya Habib Sholeh menasehatinya agar tidak takut, seraya menyuruhnya supaya menemui Adam Malik dengan membawa surat darinya, "Bawa surat saya ini. Jangan takut pada Adam Malik, kelak kamu akan menjadi seperti Adam Malik." Kata Habib Sholeh Tanggul. Apa yang diucapkan Habib Sholeh pun menjadi kenyataan.
Itu baru sedikit kisah karomah Habib Sholeh. Sebenarnya masih banyak kisah karomah beliau yang belum diketahui publik. Waliyullah yang doanya selalu dikabul ini wafat pada hari Ahad (Minggu) 9 Syawal 1396 H, bertepatan dengan tahun 1976 M dalam usia 83 tahun. Beliau meninggalkan 6 putera-puteri, Habib Abdullah, Habib Muhammad, Syarifah Nur, Syarifah Fatimah, Habib Ali, Syarifah Khadijah.
Setiap tahunnya pada tanggal 10 Syawal, ribuan orang tumpah ruah di sepanjang jalan menuju Masjid Riyadus Shalihin Tanggul, Jember, Jasad beliau dimakamkan di samping masjid tersebut. Banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Tanah Air dan luar negeri untuk memperingati haul Al Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid, yang lebih akrab dengan sebutan Al Habib Sholeh Tanggul.
Berikut wasiat atau ajarannya yang paling terkenal: "Hendaklah setiap kamu menjaga salat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan salat shubuh berjamaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan dimana pun."
Sumber:
Shohibul Fadhilah Sayyidiy Al-Habib Muhammad Rafiq Al-Kaff dalam Managib Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid, dipublish 6 Juli 2017.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf pernah berkata bahwa Habib Sholeh adalah orang yang doanya selalu terkabul dan orang yang sangat dicintai dan disegani. Cerita Pagi kali ini akan menyuguhkan kisah dan karomah Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid.
Dari banyak referensi tentang karomah beliau, penulis sengaja mengambil kisahnya dari Managib Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid yang ditulis Shohibul Fadhilah Sayyidiy Al-Habib Muhammad Rafiq Al-Kaff yang dipublish pada 6 Juli 2017.
Dalam Managib tersebut diceritakan beberapa karomah dan perjalanan dakwah Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid. Habib Sholeh lahir di Korbah Ba Karman, Wadi ‘Amd, sebuah desa di Hadramaut, Yaman, pada tahun 1313 Hijriyah. Ayah beliau Habib Muhsin bin Ahmad Al-Hamid terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, ulama yang sangat dihormati. Ibundanya seorang wanita salehah bernama ‘Aisyah, dari keluarga Al-Abud Ba Umar dari Masyaikh Al-‘Amudi.
Beliau mempelajari Alquran dari seorang guru bernama Syaikh Said Ba Mudhij, di Wadi ‘Amd. Sedangkan ilmu fiqih dan tasawuf beliau pelajari dari ayahnya Al-Habib Muhsin bin Ahmad Al-Hamid.
Pada usia 26 tahun, bertepatan tahun 1921 Masehi, Al-Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut dan hijrah ke Indonesia ditemani Syeikh Fadli Sholeh Salim bin Ahmad Al-Asykariy. Setibanya di Indonesia, beliau singgah di Jakarta beberapa hari.
Mendengar kedatangan Habib Sholeh, sepupu beliau Habib Muhsin bin Abdullah Al-Hamid, meminta Habib Sholeh untuk tinggal sementara di kediamannya di Kota Lumajang. Setelah menetap beberapa hari, beliau pindah ke Tanggul, Jember, Jawa Timur. Dan akhirnya menetap di Tanggul, hingga akhir hayat beliau.
Sebelum memulai dakwahnya di Jember, Habib Sholeh pernah mengasingkan diri lebih dari tiga tahun. Beliau berkhalwat dengan membaca Alqur’an, bersalawat dan berdzikir. Guru besarnya Al-Imam Al-Qutub Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mengajak beliau keluar dari khalwatnya, lalu meminta Habib Sholeh datang ke kediamannya di Kota Gresik.
Sesampainya di rumah Al-Habib Abubakar, Habib Sholeh mendapat mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban hijau dari gurunya sebagai pertanda kewalian quthb (kutub) yang akan diembannya. Setelah itu, Habib Sholeh mendapat isyarat untuk datang ke Makkah dan Madinah. Usai berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, beliau kembali ke Indonesia untuk berdakwah.
Dakwah Habib Sholeh diawalinya dengan membangun musalla di tempat kediamannya. Habib Sholeh mengisinya dengan salat berjamaah dan menghidupkan Quran antara magrib dan Isya. Beliau juga memberi tausiyah dan pengajian yang membahas seputar ilmu syariat dan ilmu fiqih.
Setiap selesai salat Ashar, beliau membacakan kitab An-Nashaihud Dinniyah, karangan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.
Beberapa tahun kemudian, beliau mendapat hadiah sebidang tanah dari seorang Muhibbin (orang yang mencintai anak cucu keturunan Rasulullah SAW) yakni Haji Abdur Rasyid. Di atas tanah inilah beliau membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadus Shalihin dan kemudian mewakafkannya. Dakwah dan kegiatan keagamaan pun kian hidup setelah masjid ini berdiri.
Selain berdakwah di masjid, Habib Sholeh dalam kesehariannya, selalu melapangkan orang susah. Membantu orang-orang yang dililit utang, membantu fakir dan anak yatim. Jika beliau melihat gadis dan pemuda yang belum kawin, beliau mencarikan pasangan hidup dengan menawarkan seorang calon. Pernah pula dalam sehari beliau mendamaikan dua atau tiga orang yang bertikai.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Habib Sholeh tercatat sebagai pemberi semangat dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Beliau dikenal karena akhlaknya yang mulia, tidak pernah menyakiti hati orang lain.
Dikisahkan, suatu waktu beliau sedang berjalan bersama Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta. Beliau berkunjung ke kediaman Habib Ali di Bungur, Jakarta. Saat melintasi sebuah lapangan, beliau melihat banyak orang berkumpul melaksanakan salat Istisqa (salat minta hujan), lantaran Jakarta saat itu dilanda kemarau panjang. Tak lama kemudian, setelah Habib Sholeh menengadahkan tangannya ke langit, seraya membaca doa meminta hujan. Taklama kemudian, hujan pun turun.
Suatu ketika ada orang bertanya, "Ya Habib Sholeh, apa sih kelebihan ibadah Habib sehingga doa Habib cepat terkabul ? Habib Sholeh menjawab, "Mau tahu rahasianya? Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali, "Apa maksudnya, ya Habib?"
Habib Sholeh berkata, “jangan pernah pispot di kepala dalam beribadah artinya, jangan membanggakan dunia yang pada akhirnya hanya akan membuat diri kita malu. Pispot, walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang juga terbaik, kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu. Kalau orang membangga-banggakan diri bermodalkan dunianya, lihat saja, orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamer-pamerin," kata Habib Sholeh. Selain itu katanya, "Jangan melakukan dosa syirik."
Karomah Habib Sholeh
Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menceritakan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara kaffah (sempurna). Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.
Banyak yang meyakini, Habib Sholeh Tanggul adalah seorang waliyullah yang dekat dengan Nabi Khidir (Alaihiisalam). Karena itu pula beliau terkenal dermawan, seolah apapun yang beliau miliki ingin beliau berikan kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Pertemuannya dengan Nabi Khidir disebut-sebut sebagai salah satu karamah Habib Sholeh. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.
Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju Stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba seorang pengemis datang meminta uang. Habib Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki.
Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang.
Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik adalah ciri fisik Nabi Khidir. Tangannya pun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemis pun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu. Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang berpakaian serba hitam meminta Yik Sholeh menunjukkan rumah Habib Sholeh.
Karena tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada tuan, nama Habib Sholeh. Yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu Anda lah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.
Sejak peristiwa itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi orang, mulai sekadar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari Tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain.
Dari Adam Malik Hingga Alwi Shihab
Mantan Wakil Presiden RI Adam Malik adalah satu dari sekian pejabat yang pernah sowan ke rumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau apabila Habib Sholeh berkunjung ke Jakarta, penyambutannya melebihi penjemputan pejabat tinggi negara.
Saat Adam Malik menjabat Kepala Kantor Berita Antara, mengungkap keterlibatan Menlu RI Soebandrio, yang saat itu dikenal sebagai tokoh berpaham komunis. Berita-berita yang dimuat Adam Malik membuat Soebandrio dan jajarannya marah besar.
Mendapat ancaman itu, Adam Malik pun berusaha mencari perlindungan. Maka datanglah ia kepada Habib Sholeh Al-Hamid di Tanggul, Jember. Adam Malik menceritakan latar belakang persoalannya. Mendengar pengaduan itu, Habib Sholeh Tanggul hanya tersenyum. Beliau berkata: "Jangan takut terhadap ancamannya. Nanti kamu yang akan menggantikan kedudukannya."
Tak lama berselang, setelah Soeharto menjabat Presiden, giliran Adam Malik yang menjabat menteri luar negeri (Menlu). Apa yang pernah diucapkan Habib Sholeh Tanggul benar-benar jadi kenyataan.
Kisah serupa terjadi sekitar 30 tahun lalu. Alwi Shihab, mantan menteri luar negeri di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, pernah datang ke kediaman Habib Sholeh Tanggul. Pada masa itu, ia datang diantar ayahandanya. Keperluannya mohon doa restu untuk belajar luar negeri. Tujuannya belajar ke Amerika di Harvard University.
Alwi Shihab mengutarakan apa yang menjadi masalahnya. Antara lain, ia tidak punya biaya yang cukup untuk mengurus visa dan paspor. Mendengar keluhan Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menyarankan agar Alwi Shihab mandi di dua sumur yang terdapat di sekitar kediamannya.
Alwi Shihab pun mandi mandi di dua sumur tersebut. Setelah itu, kepada Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menasehati agar datang ke Adam Malik yang saat itu menjabat Menlu. Spontan, Alwi Shihab mengatakan kekhawatirannya. Ia rakyat biasa, bagaimana bisa bertemu dengan seorang menteri?
Mendengar keberatan Alwi Shihab, akhirnya Habib Sholeh menasehatinya agar tidak takut, seraya menyuruhnya supaya menemui Adam Malik dengan membawa surat darinya, "Bawa surat saya ini. Jangan takut pada Adam Malik, kelak kamu akan menjadi seperti Adam Malik." Kata Habib Sholeh Tanggul. Apa yang diucapkan Habib Sholeh pun menjadi kenyataan.
Itu baru sedikit kisah karomah Habib Sholeh. Sebenarnya masih banyak kisah karomah beliau yang belum diketahui publik. Waliyullah yang doanya selalu dikabul ini wafat pada hari Ahad (Minggu) 9 Syawal 1396 H, bertepatan dengan tahun 1976 M dalam usia 83 tahun. Beliau meninggalkan 6 putera-puteri, Habib Abdullah, Habib Muhammad, Syarifah Nur, Syarifah Fatimah, Habib Ali, Syarifah Khadijah.
Setiap tahunnya pada tanggal 10 Syawal, ribuan orang tumpah ruah di sepanjang jalan menuju Masjid Riyadus Shalihin Tanggul, Jember, Jasad beliau dimakamkan di samping masjid tersebut. Banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Tanah Air dan luar negeri untuk memperingati haul Al Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid, yang lebih akrab dengan sebutan Al Habib Sholeh Tanggul.
Berikut wasiat atau ajarannya yang paling terkenal: "Hendaklah setiap kamu menjaga salat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan salat shubuh berjamaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan dimana pun."
Sumber:
Shohibul Fadhilah Sayyidiy Al-Habib Muhammad Rafiq Al-Kaff dalam Managib Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid, dipublish 6 Juli 2017.
(rhs)