Pernikahan di Bawah Umur Didominasi Wilayah Perdesaan

Minggu, 25 Februari 2018 - 11:34 WIB
Pernikahan di Bawah...
Pernikahan di Bawah Umur Didominasi Wilayah Perdesaan
A A A
SEMARANG - Jawa Tengah termasuk daerah dengan angka perkawinan tertinggi di Indonesia, selain Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ada banyak alasan atas perkawinan anak, mulai dari faktor lingkungan sampai faktor salah pergaulan. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, pada tahun 2016 saja setidaknya ada 30.000 lebih pengajuan permintaan dispensasi menikah karena usia kurang dari 16 tahun.

Sementara itu sesuai dengan data dari BKKBN Jawa Tengah, kasus perkawinan anak di provinsi ini termasuk tertinggi, yaitu mencapai 3.876 pada 2016 dan tercatat 358 kasus kematian dalam 100.000 kelahiran bayi. Kabupaten Brebes menempati urutan pertama di Jawa Tengah, disusul Grobogan dan Demak.

Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, wilayah perdesaan memiliki potensi lebih besar atas pernikahan di bawah umur daripada wilayah perkotaan. Dia menyebutkan, hal itu dikarenakan ada beberapa faktor.

Pertama adalah faktor ekonomi, yaitu yang bersangkutan tidak memungkinkan melanjutkan sekolah dan daripada lontang-lantung, menikah menjadi salah satu pilihan yang diambil.

Kedua adalah karena salah satu pihak sudah memiliki pekerjaan. Meski belum cukup umur, dia dianggap sudah mampu menghidupi keluarga.

“Orang desa standar hidupnya tidak tinggi, mereka tidak idealis, yang penting sudah memiliki pendapatan sudah dianggap mampu membina rumah tangga,” katanya. Faktor ketiga adalah tidak adanya visi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dan keempat yang merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor lingkungan dan budaya setempat. Menurut dia, banyak daerah yang memiliki budaya menikah di bawah umur. Maka tak jarang masih banyak ditemukan pengajuan pernikahan di bawah umur.

“Budaya atau kebiasaan warga setempat menjadi faktor penentu. Di desa biasanya kalau melihat anak tetangga yang seumuran sudah menikah, orang tua sudah buru-buru ingin menikahkan anaknya,“ tambahnya.

Sementara itu Sekretaris Komisi Perlindungan Korban Kekerasan berbasis gender dan anak Eko Roesanto mengatakan, UU perkawinan sudah menetapkan batasan usia perkawinan laki-laki usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 7 UU Nomor 1/74.

“Namun UU tersebut saat diundangkan ada proses perdebatan terkait dengan usia dewasa untuk seseorang yang akan menikah, yaitu di Pasal 6 yang menyebutkan manakala pasangan yang akan menikah belum berusia 21 tahun belum cakap melakukan perbuatan hukum harus ada ijin dari kedua orang tua,” katanya.

Menurutnya, paradigma UU Nomor 1/1974 tentu harus menyesuaikan kondisi saat ini, baik dari aspek regulasi serta sosial yang terus berkembang dengan UU Nomor 35/2014 tentang perubahan UU No 23/2002 tentang perlindungan anak.

“Batasan usia perkawinan seharusnya menyesuaikan dengan ketentuan UU ini khususnya syarat usia untuk calon mempelai perempuan (seharusnya 18 tahun) karena di dalam UU tersebut juga diatur tentang ketentuan pidana terkait dengan melakukan persetubuhan terhadap anak (yang belum berusia 18 tahun),” ujarnya.

Dikatakannya, menikahkan perempuan yang belum cukup umur juga menyebabkan kerentanan terhadap kondisi kesehatan reproduksinya yang berdampak terhadap kematian pre-/post-natal baik terhadap perempuan maupun anak yang dikandungnya.

“Hal ini disebabkan kondisi ketidakmatangan fungsi reproduksi serta psikologis perempuan yang belum cukup umur,“ tuturnya. Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan perda pencegahan perkawinan di bawah umur. “Sesuai dengan UU 32/2014, pemerintah daerah punya kewenangan yang seharusnya bisa diilakukan,” tandasnya. (Andik Sismanto)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1081 seconds (0.1#10.140)