Peristiwa Kapal Tujuh: Pemberontakan Pelaut Indonesia di Atas Kapal Perang Belanda
A
A
A
”Pemberontakan ‘Kapal Tujuh’ adalah pemberontakan antikolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia. Jiwa ‘Kapal Tujuh’ adalah jiwa yang tidak akan ada mati-matinya, Dia adalah api abadi”.
“Harian Rakyat”, 5 Febuari 1958
Kisah pemberontakan pelaut Indonesia di atas kapal perang Belanda Hr Ms De Zeven Provincien atau yang dikenal dengan kapal Tujuh masih melegenda dalam catatan sejarah. Peristiwa yang terjadi pada 3 Febuari 1933, menjadi bukti bahwa pelaut pribumi masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabat.
Walau pemberontakan hanya berlangsung tujuh hari, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II.
Pemicu pemberontakan ini adalah keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17% yang diumumkan pada 1 Januari 1933. Penurunan gaji pegawai tersebut merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia saat itu.
Terjadi aksi mogok besar yang dilakukan anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Februari 1933 di Surabaya. Kabar itu pun didengar oleh Maud Boshart, pelaut Belanda yang bertugas di atas Kapal Tujuh ketika patroli di sebelah barat Aceh, pada 30 Januari 1933.
Merespons gerakan pemogokan itu, para pelaut di Kapal Tujuh melakukan rapat, di antara Rumambi, Paraja, Hendrik, dan Gosal. Para pelaut Kapal Tujuh yang sedang berada di perairan Sumatera menyatakan simpati dan dukungannya terhadap rekan-rekannya yang melakukan aksi di Surabaya.
“Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal Tujuh.
Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal. Momentum pemberontakan dilakukan ketika para pelaut Belanda mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue Aceh pada 4 Februari 1933. Pelaut Belanda menghamburkan uang 500 gulden dan menyediakan nona-nona untuk berdansa dengan pelaut pribumi.
Namun, tidak ada satu pun pelaut pribumi yang hadir dalam pesta tersebut. Ketika seorang Letnan kembali ke kapal, terkejutlah kala melihat perwira jaga kapal tewas di tangga kapal. Ternyata dalam waktu seketika, kapal sudah dikuasai oleh marinir Indonesia yang bersenjata lengkap di bawah pimpinan Martin Paradja dan Gosal.
Begitulah, pada 4 Februari 1933, sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Kelasi Paradja bertindak memegang komando, Kelasi Kelas Satu Kawilarang yang punya pengalaman di Eropa berfungsi sebagai navigator. Kelasi Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan.
Pada 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu), yang memberitahukan bahwa Kapal Tujuh sudah diambil-alih dan sedang bergerak ke Surabaya. “Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.
Dua pelaut Indonesia yang ikut memberontak di atas kapal Tujuh.
Mendengar berita pemberontakan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda dibuat kalang-kabut. Gubernur Jenderal De Jonge memerintahkan kapal Hr Ms Aldebaren untuk mengejar. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat.
Kapal Tujuh terus berlayar dan pada 5 Februari 1933 sudah berada di Pulau Breueh. Pada 6 Februari 1933 berada di Pulau Simeulue, kemudian singgah di Sinabang pada 7 Februari 1933, dan akhirnya pada 10 Februari 1933 kapal Tujuh sudah sampai di Selat Sunda.
Begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr Ms Java, dikawal dua kapal torpedo, Hr Ms Piet Hien dan Hr Ms Evetsen, langsung membayangi gerakan kapal Tujuh. Untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak di kapal Tujuh, dikerahkan juga sebuah pesawat pengebom Dornier.
Komandan Kapal Perang Java, Kapten van Dulm, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal Tujuh untuk menyerah, namun Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah. Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers, memberikan izin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer.
Pada Jumat, 10 Februari 1933, tepat pukul 09.18 WIB, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak memberikan perlawanan, namun sia-sia karena kapal Tujuh tidak dilengkapi persenjataan penangkis serangan udara.
Beberapa orang mengalami luka-luka. Martin Paradja tewas pada saat pengeboman. 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.
Para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan kapal Hr Ms Java dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan kapal Hr Ms Orion menuju Pulau Onrust. Total 545 orang awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan.
Kawilarang, karena dianggap yang memimpin pemberontakan selepas kematian Paradja, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun. Para pemberontak kapal Tujuh akhirnya ditahan di Pulau Onrust, di Kepulauan Seribu. Sebagian besar pemberontak meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut.
Pemberontakan kapal Tujuh tercatat sebagai pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Andre Therik, seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu, pernah mengatakan: “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”
Diolah dari berbagai sumber:
Wikipedia
arie-widodo.blogspot.co.id
berdikari online.com
“Harian Rakyat”, 5 Febuari 1958
Kisah pemberontakan pelaut Indonesia di atas kapal perang Belanda Hr Ms De Zeven Provincien atau yang dikenal dengan kapal Tujuh masih melegenda dalam catatan sejarah. Peristiwa yang terjadi pada 3 Febuari 1933, menjadi bukti bahwa pelaut pribumi masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabat.
Walau pemberontakan hanya berlangsung tujuh hari, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II.
Pemicu pemberontakan ini adalah keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17% yang diumumkan pada 1 Januari 1933. Penurunan gaji pegawai tersebut merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia saat itu.
Terjadi aksi mogok besar yang dilakukan anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Februari 1933 di Surabaya. Kabar itu pun didengar oleh Maud Boshart, pelaut Belanda yang bertugas di atas Kapal Tujuh ketika patroli di sebelah barat Aceh, pada 30 Januari 1933.
Merespons gerakan pemogokan itu, para pelaut di Kapal Tujuh melakukan rapat, di antara Rumambi, Paraja, Hendrik, dan Gosal. Para pelaut Kapal Tujuh yang sedang berada di perairan Sumatera menyatakan simpati dan dukungannya terhadap rekan-rekannya yang melakukan aksi di Surabaya.
“Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal Tujuh.
Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal. Momentum pemberontakan dilakukan ketika para pelaut Belanda mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue Aceh pada 4 Februari 1933. Pelaut Belanda menghamburkan uang 500 gulden dan menyediakan nona-nona untuk berdansa dengan pelaut pribumi.
Namun, tidak ada satu pun pelaut pribumi yang hadir dalam pesta tersebut. Ketika seorang Letnan kembali ke kapal, terkejutlah kala melihat perwira jaga kapal tewas di tangga kapal. Ternyata dalam waktu seketika, kapal sudah dikuasai oleh marinir Indonesia yang bersenjata lengkap di bawah pimpinan Martin Paradja dan Gosal.
Begitulah, pada 4 Februari 1933, sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Kelasi Paradja bertindak memegang komando, Kelasi Kelas Satu Kawilarang yang punya pengalaman di Eropa berfungsi sebagai navigator. Kelasi Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan.
Pada 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu), yang memberitahukan bahwa Kapal Tujuh sudah diambil-alih dan sedang bergerak ke Surabaya. “Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.
Dua pelaut Indonesia yang ikut memberontak di atas kapal Tujuh.
Mendengar berita pemberontakan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda dibuat kalang-kabut. Gubernur Jenderal De Jonge memerintahkan kapal Hr Ms Aldebaren untuk mengejar. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat.
Kapal Tujuh terus berlayar dan pada 5 Februari 1933 sudah berada di Pulau Breueh. Pada 6 Februari 1933 berada di Pulau Simeulue, kemudian singgah di Sinabang pada 7 Februari 1933, dan akhirnya pada 10 Februari 1933 kapal Tujuh sudah sampai di Selat Sunda.
Begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr Ms Java, dikawal dua kapal torpedo, Hr Ms Piet Hien dan Hr Ms Evetsen, langsung membayangi gerakan kapal Tujuh. Untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak di kapal Tujuh, dikerahkan juga sebuah pesawat pengebom Dornier.
Komandan Kapal Perang Java, Kapten van Dulm, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal Tujuh untuk menyerah, namun Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah. Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers, memberikan izin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer.
Pada Jumat, 10 Februari 1933, tepat pukul 09.18 WIB, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak memberikan perlawanan, namun sia-sia karena kapal Tujuh tidak dilengkapi persenjataan penangkis serangan udara.
Beberapa orang mengalami luka-luka. Martin Paradja tewas pada saat pengeboman. 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.
Para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan kapal Hr Ms Java dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan kapal Hr Ms Orion menuju Pulau Onrust. Total 545 orang awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan.
Kawilarang, karena dianggap yang memimpin pemberontakan selepas kematian Paradja, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun. Para pemberontak kapal Tujuh akhirnya ditahan di Pulau Onrust, di Kepulauan Seribu. Sebagian besar pemberontak meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut.
Pemberontakan kapal Tujuh tercatat sebagai pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Andre Therik, seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu, pernah mengatakan: “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”
Diolah dari berbagai sumber:
Wikipedia
arie-widodo.blogspot.co.id
berdikari online.com
(wib)