Dilema Besar RSHS Tangani Bayi Kembar Siam Asal Padalarang
A
A
A
BANDUNG - Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung sedang merawat bayi kembar siam asal Padalarang, Kabupaten Bandung, sejak 11 November 2017. Tim dokter RSHS pun mengalami dilema untuk menangani bayi kembar siam berjenis kelamin laki-laki tersebut.
Penyebabnya, kondisi bayi kembar anak pasangan Agus Priyanto (47) dan Mariah (37) tersebut sangat berbeda. Satu bayi memiliki organ-organ tubuh yang berfungsi sempurna. Sedangkan satu bayi lainnya berukuran lebih kecil organ-organ tubuhnya tidak berfungsi sempurna.
Ketua Tim Dokter Penanganan Bayi Kembar Siam RSHS Sjarif Hidayat mengatakan, kondisi bayi yang berukuran lebih kecil itu masuk kategori kritis. Sedangkan bayi lainnya dalam kondisi stabil. "Bayi yang satu stabil, tapi bayi yang satu lagi masih belum baik," ujar Sjarif di RSHS, Selasa (14/11/2017).
Secara umum, kondisi bayi yang berukuran lebih kecil, peluang hidupnya lebih kecil daripada kembarannya. Jika bayi berukuran kecil meninggal, maka hal itu akan berdampak negatif pada kembarannya. Dalam kondisi parah, kedua bayi itu justru bisa meninggal.
"Kemarin kita sudah konsultasikan dengan bagian bedah anak, ternyata mereka berpendapat kalau bayi satu meninggal, kemungkinan akan mempengaruhi bayi yang satu lagi," jelasnya.
Hal itu yang kemudian menjadi dilema tim dokter RSHS. Sebab, bayi yang kondisinya kritis harus 'dikorbankan' jika ingin menyelamatkan kembarannya. Tapi, hal itu tidak boleh dilakukan di Indonesia. Dalam istilah medis, menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja demi menyelematkan nyawa disebut euthanasia.
Persoalannya, di Indonesia tidak mengatur hal itu. Yang ada, dokter harus berupaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Jika bayi yang kritis 'dikorbankan', hal itu akan melanggar kode etik kedokteran. Tapi, jika dibiarkan dengan kondisi saat ini, maka nyawa kedua bayi itu akan terancam.
Untuk mengatasinya, tim dokter akan segera berkonsultasi dengan Komite Etik RSHS dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) demi mencari solusi atas persoalan itu. Sehingga saat penanganan medis dilakukan, tim dokter tidak melanggar kode etik kedokteran.
"Tentu ini terbentuk kepada masalah etik. Bayi yang kecil ini akan dibagaimanakan? Ini sangat bersentuhan dengan etik karena euthanasia belum pernah dilakukan untuk yang (kembar siam) yang hidup," papar Sjarif.
Selain dari segi etika kedokteran, tim dokter juga akan berkonsultasi dengan ahli agama. Sehingga, tim dokter akan memiliki pandangan jelas dari berbagai sudut pandang untuk dipertimbangkan sebelum mengambil tindakan. Pihak keluarga pun tentu akan dilibatkan untuk mengambil keputusan.
Direktur Medik dan Keperawatan RSHS Nucki Nursjamsi mengatakan kondisi bayi kembar siam yang ditangani saat ini beda dengan kembar siam yang salah satunya parasit atau sudah meninggal. Untuk kasus bayi kembar dengan salah satunya parasit, tim dokter bisa langsung melakukan operasi pemisahan.
Sementara untuk bayi kembar siam dengan kondisi stabil, tim dokter juga bisa melakukan pemisahan. Tapi, untuk 'mengorbankan' salah satu bayi demi kembarannya, hal itu tidak pernah dilakukan RSHS. "Karena itu tidak mudah untuk memutuskan. Maka dari itu, kita akan ada tim khusus yang membicarakan soal itu," tutur Nucki.
Jika bayi kembar itu menjalani operasi pemisahan dan berjalan sukses, maka, masing-masing hanya akan memiliki satu kaki. Sebab, saat ini di tubuh bayi kembar tersebut hanya menempel dua kaki. Itu karena jaringan kedua kaki itu berbeda, alias satu kaki milik bayi berukuran besar, satu lagi milik bayi berukuran lebih kecil. Kendalanya, bayi berukuran lebih kecil tidak memiliki kelamin, anus, dan beberapa organ tubuhnya juga tidak berfungsi normal.
Seperti diberitakan, bayi kembar siam tersebut lahir melalui proses persalinan normal dengan dibantu bidan setempat pada 10 November 2017. Karena kondisinya, bayi itu kemudian dirujuk ke RSHS. Secara keseluruhan, bayi itu memiliki bobot 3,75 kilogram dan panjang 47 centimeter. Bayi itu memiliki dua kepala, dua badan, dua lengan, tapi hanya memiliki dua kaki. Bayi itu merupakan anak ketiga dan keempat dari pasangan Agus dan Mariah.
Penyebabnya, kondisi bayi kembar anak pasangan Agus Priyanto (47) dan Mariah (37) tersebut sangat berbeda. Satu bayi memiliki organ-organ tubuh yang berfungsi sempurna. Sedangkan satu bayi lainnya berukuran lebih kecil organ-organ tubuhnya tidak berfungsi sempurna.
Ketua Tim Dokter Penanganan Bayi Kembar Siam RSHS Sjarif Hidayat mengatakan, kondisi bayi yang berukuran lebih kecil itu masuk kategori kritis. Sedangkan bayi lainnya dalam kondisi stabil. "Bayi yang satu stabil, tapi bayi yang satu lagi masih belum baik," ujar Sjarif di RSHS, Selasa (14/11/2017).
Secara umum, kondisi bayi yang berukuran lebih kecil, peluang hidupnya lebih kecil daripada kembarannya. Jika bayi berukuran kecil meninggal, maka hal itu akan berdampak negatif pada kembarannya. Dalam kondisi parah, kedua bayi itu justru bisa meninggal.
"Kemarin kita sudah konsultasikan dengan bagian bedah anak, ternyata mereka berpendapat kalau bayi satu meninggal, kemungkinan akan mempengaruhi bayi yang satu lagi," jelasnya.
Hal itu yang kemudian menjadi dilema tim dokter RSHS. Sebab, bayi yang kondisinya kritis harus 'dikorbankan' jika ingin menyelamatkan kembarannya. Tapi, hal itu tidak boleh dilakukan di Indonesia. Dalam istilah medis, menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja demi menyelematkan nyawa disebut euthanasia.
Persoalannya, di Indonesia tidak mengatur hal itu. Yang ada, dokter harus berupaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Jika bayi yang kritis 'dikorbankan', hal itu akan melanggar kode etik kedokteran. Tapi, jika dibiarkan dengan kondisi saat ini, maka nyawa kedua bayi itu akan terancam.
Untuk mengatasinya, tim dokter akan segera berkonsultasi dengan Komite Etik RSHS dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) demi mencari solusi atas persoalan itu. Sehingga saat penanganan medis dilakukan, tim dokter tidak melanggar kode etik kedokteran.
"Tentu ini terbentuk kepada masalah etik. Bayi yang kecil ini akan dibagaimanakan? Ini sangat bersentuhan dengan etik karena euthanasia belum pernah dilakukan untuk yang (kembar siam) yang hidup," papar Sjarif.
Selain dari segi etika kedokteran, tim dokter juga akan berkonsultasi dengan ahli agama. Sehingga, tim dokter akan memiliki pandangan jelas dari berbagai sudut pandang untuk dipertimbangkan sebelum mengambil tindakan. Pihak keluarga pun tentu akan dilibatkan untuk mengambil keputusan.
Direktur Medik dan Keperawatan RSHS Nucki Nursjamsi mengatakan kondisi bayi kembar siam yang ditangani saat ini beda dengan kembar siam yang salah satunya parasit atau sudah meninggal. Untuk kasus bayi kembar dengan salah satunya parasit, tim dokter bisa langsung melakukan operasi pemisahan.
Sementara untuk bayi kembar siam dengan kondisi stabil, tim dokter juga bisa melakukan pemisahan. Tapi, untuk 'mengorbankan' salah satu bayi demi kembarannya, hal itu tidak pernah dilakukan RSHS. "Karena itu tidak mudah untuk memutuskan. Maka dari itu, kita akan ada tim khusus yang membicarakan soal itu," tutur Nucki.
Jika bayi kembar itu menjalani operasi pemisahan dan berjalan sukses, maka, masing-masing hanya akan memiliki satu kaki. Sebab, saat ini di tubuh bayi kembar tersebut hanya menempel dua kaki. Itu karena jaringan kedua kaki itu berbeda, alias satu kaki milik bayi berukuran besar, satu lagi milik bayi berukuran lebih kecil. Kendalanya, bayi berukuran lebih kecil tidak memiliki kelamin, anus, dan beberapa organ tubuhnya juga tidak berfungsi normal.
Seperti diberitakan, bayi kembar siam tersebut lahir melalui proses persalinan normal dengan dibantu bidan setempat pada 10 November 2017. Karena kondisinya, bayi itu kemudian dirujuk ke RSHS. Secara keseluruhan, bayi itu memiliki bobot 3,75 kilogram dan panjang 47 centimeter. Bayi itu memiliki dua kepala, dua badan, dua lengan, tapi hanya memiliki dua kaki. Bayi itu merupakan anak ketiga dan keempat dari pasangan Agus dan Mariah.
(wib)