Dr Sitanala, Dokter dan Peneliti Penyakit Kusta Pertama di Indonesia
A
A
A
Nama Doktor Jacob Bernadus Sitanala diabadikan sebagai nama rumah sakit dan jalan di Kota Tangerang, yaitu Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr Sitanala yang terletak di Desa Karangsari, Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari. Jalan utama di depan rumah sakit yang menempati lahan seluas sekitar 54 hektare ini, juga diberi nama Jalan Dr Sitanala.
Pada awalnya, RSK Dr Sitanala didirikan oleh Departemen Kesehatan RI tepat tanggal 28 Juli 1951 dengan nama Rumah Sakit Sewan karena lokasinya di Kampung Sewan. Rumah sakit yang diresmikan Ny Rahmi Hatta selaku Ibu Wakil Presiden RI Pertama ini, merupakan pindahan dari Leprosarium Lenteng Agung.
Kemudian, untuk menghargai jasa seorang dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta, yaitu Dr JB Sitanala, maka pada 1962 Rumah Sakit Sewan namanya diubah menjadi Pusat Rehabilitasi Sitanala oleh Menteri Kesehatan RI saat itu Prof Dr Satrio. Pada perkembangan selanjutnya, namanya menjadi Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr Sitanala Tangerang, sesuai Keputusan Menteri KesehatanRI No 140/ 1978.
Dr JB Sitanala dilahirkan dari keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Dia merupakan keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Sitanala memulai pendidikan dasar pada Ambonsche Burger School di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904.
Dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu STOVIA di Jakarta. Setelah berhasil memperoleh ijazah dokter pada 1912, dia ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Atas prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, Sitanala pun mendapat tugas belajar ke Belanda pada 1923 dan dia mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra).
Setelah tiga tahun, pada 1926 Sitanala berhasil memperoleh diploma Nederlandsche Arts dan pada 1927 mendapat gelar doktor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Ketika kembali ke tanah air, dia bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta dan diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia.
Dr Sitanala pun dikenal sebagai ahli penyakit Kusta bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, namanya juga dikenal di dunia Internasional atas karya-karya ilmiah, penelitian, dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang dikembangkannya.
Saat kuliah di STOVIA, Sitanala, bukan mahasiswa biasa. Dia juga ikut dalam pergerakan nasional. Namanya, tercatat hadir dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910 di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara tersebut dihadiri sekitar 123 orang dan beberapa personel militer Ambon yang bermarkas di Meester Cornelis (Jatinegara).
Sebagai orang muda, Sitanala begitu aktif dan kritis. Seperti banyak lulusan STOVIA lain, dokter muda yang kadang disebut dokter Jawa itu, umumnya menjadi dokter pemerintah yang dikirim ke berbagai penjuru Hindia Belanda. Setelah lulus pada 1912, Sitanala pun bekerja untuk pemerintah kolonial di jawatan kesehatan. Pada 1914, Belanda mengirim Sitanala ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit seks menular. Sitanala yang sering meneliti, akhirnya sekolah lagi ke negeri Belanda pada 1923.
Saat meneruskan studi di negeri Kincir Angin, Sitanala juga ikut tergabung dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Kehadirannya di Perhimpunan Indonesia tak mulus. Setelah rapat pada 11 Januari Perhimpunan Indonesia memecarnya karena dipandang telah melanggar garis politik organisasi.
Setelah itu dia pun fokus pada studinya yang hingga mencapai gelar doktor. Sepulang dari Belanda, Sitanala bekerja lagi jawatan kesehatan pemerintah yang mengurusi Lepra. Tercatat, pada 1 November 1927, Sitanala ditempatkan di Rumah Sakit Lepra Plantoengan, tak jauh dari Semarang.
Pada 27 Juli 1932, Dr Sitanala melakukan kunjungan ke rumah sakit Lepra di Semarang. Kemudian, Dr Sitanala dan Dr Kadijat pergi ke Surabaya. Tujuan kunjungan kedua dokter ahli penyakit Lepra itu untuk menyelidiki penyebab penyakit yang menyebar di Jawa itu. Penyakit Lepra atau Kusta, saat itu banyak diderita oleh masyarakat kelas bawah. Dia juga pernah berdiskusi dengan dr Soetomo untuk membicarakan penanggulangan penyakit Lepra di Jawa Timur.
Sitanala tampaknya begitu sohor sebagai dokter sehingga Batavia Nieuwsblad mewawancarai mengenai penyekit Lepra. Pada 24 Januari 1940, Dr JB Sitanala yang kala itu tinggal di Semarang, telah menjabat Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra). Dia juga menerima bintang kehormatan tertinggi dari Kerajaan Swedia, Wasa Orde yang setaraf dengan Nobelprijs (hadiah nobel). Penganugerahan penghargaan tersebut diserahkan oleh Jhr Ir FE Everts secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa orang dokter, di antaranya Dr Sardjito, Dr Djoehana, Dr Rehatta, dan Dr Rosendahl.
Dia juga menerima sebuah bintang jasa dari perkumpulan sarjana-sarjana internasional dalam bidang kesehatan. Hal tersebut terkait dengan beberapa penyelidikan Sitanala tentang penyakit Lepra di Hindia Belanda. Kemudian pada 1941, dia dipindahkan ke Surabaya dan terlibat dalam pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) –sebagai satu dari Panitia Lima.
Di antara Panitia Lima itu, adalah Dr Bahder Djohan, Dr Djoehana, Dr Sitanala, Dr R Muchtar, dan Dr Marzuki. Selain itu terdapat nama dokter Buntaran yang belakangan menjadi Menteri Kesehatan RI pada Kabinet I. Akhirnya, dengan bantuan Panitia Lima yang terdiri dari para dokter Indonesia yang tersohor, Palang Merah Indonesia terbentuk pada 17 September 1945.
Diolah dari berbagai sumber:
sejarahkita.blogspot.co.id
rsdrsitanala.blogspot.co.id
matanasi.blogspot.co.id
Pada awalnya, RSK Dr Sitanala didirikan oleh Departemen Kesehatan RI tepat tanggal 28 Juli 1951 dengan nama Rumah Sakit Sewan karena lokasinya di Kampung Sewan. Rumah sakit yang diresmikan Ny Rahmi Hatta selaku Ibu Wakil Presiden RI Pertama ini, merupakan pindahan dari Leprosarium Lenteng Agung.
Kemudian, untuk menghargai jasa seorang dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta, yaitu Dr JB Sitanala, maka pada 1962 Rumah Sakit Sewan namanya diubah menjadi Pusat Rehabilitasi Sitanala oleh Menteri Kesehatan RI saat itu Prof Dr Satrio. Pada perkembangan selanjutnya, namanya menjadi Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr Sitanala Tangerang, sesuai Keputusan Menteri KesehatanRI No 140/ 1978.
Dr JB Sitanala dilahirkan dari keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Dia merupakan keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Sitanala memulai pendidikan dasar pada Ambonsche Burger School di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904.
Dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu STOVIA di Jakarta. Setelah berhasil memperoleh ijazah dokter pada 1912, dia ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Atas prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, Sitanala pun mendapat tugas belajar ke Belanda pada 1923 dan dia mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra).
Setelah tiga tahun, pada 1926 Sitanala berhasil memperoleh diploma Nederlandsche Arts dan pada 1927 mendapat gelar doktor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Ketika kembali ke tanah air, dia bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta dan diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia.
Dr Sitanala pun dikenal sebagai ahli penyakit Kusta bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, namanya juga dikenal di dunia Internasional atas karya-karya ilmiah, penelitian, dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang dikembangkannya.
Saat kuliah di STOVIA, Sitanala, bukan mahasiswa biasa. Dia juga ikut dalam pergerakan nasional. Namanya, tercatat hadir dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910 di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara tersebut dihadiri sekitar 123 orang dan beberapa personel militer Ambon yang bermarkas di Meester Cornelis (Jatinegara).
Sebagai orang muda, Sitanala begitu aktif dan kritis. Seperti banyak lulusan STOVIA lain, dokter muda yang kadang disebut dokter Jawa itu, umumnya menjadi dokter pemerintah yang dikirim ke berbagai penjuru Hindia Belanda. Setelah lulus pada 1912, Sitanala pun bekerja untuk pemerintah kolonial di jawatan kesehatan. Pada 1914, Belanda mengirim Sitanala ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit seks menular. Sitanala yang sering meneliti, akhirnya sekolah lagi ke negeri Belanda pada 1923.
Saat meneruskan studi di negeri Kincir Angin, Sitanala juga ikut tergabung dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Kehadirannya di Perhimpunan Indonesia tak mulus. Setelah rapat pada 11 Januari Perhimpunan Indonesia memecarnya karena dipandang telah melanggar garis politik organisasi.
Setelah itu dia pun fokus pada studinya yang hingga mencapai gelar doktor. Sepulang dari Belanda, Sitanala bekerja lagi jawatan kesehatan pemerintah yang mengurusi Lepra. Tercatat, pada 1 November 1927, Sitanala ditempatkan di Rumah Sakit Lepra Plantoengan, tak jauh dari Semarang.
Pada 27 Juli 1932, Dr Sitanala melakukan kunjungan ke rumah sakit Lepra di Semarang. Kemudian, Dr Sitanala dan Dr Kadijat pergi ke Surabaya. Tujuan kunjungan kedua dokter ahli penyakit Lepra itu untuk menyelidiki penyebab penyakit yang menyebar di Jawa itu. Penyakit Lepra atau Kusta, saat itu banyak diderita oleh masyarakat kelas bawah. Dia juga pernah berdiskusi dengan dr Soetomo untuk membicarakan penanggulangan penyakit Lepra di Jawa Timur.
Sitanala tampaknya begitu sohor sebagai dokter sehingga Batavia Nieuwsblad mewawancarai mengenai penyekit Lepra. Pada 24 Januari 1940, Dr JB Sitanala yang kala itu tinggal di Semarang, telah menjabat Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra). Dia juga menerima bintang kehormatan tertinggi dari Kerajaan Swedia, Wasa Orde yang setaraf dengan Nobelprijs (hadiah nobel). Penganugerahan penghargaan tersebut diserahkan oleh Jhr Ir FE Everts secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa orang dokter, di antaranya Dr Sardjito, Dr Djoehana, Dr Rehatta, dan Dr Rosendahl.
Dia juga menerima sebuah bintang jasa dari perkumpulan sarjana-sarjana internasional dalam bidang kesehatan. Hal tersebut terkait dengan beberapa penyelidikan Sitanala tentang penyakit Lepra di Hindia Belanda. Kemudian pada 1941, dia dipindahkan ke Surabaya dan terlibat dalam pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) –sebagai satu dari Panitia Lima.
Di antara Panitia Lima itu, adalah Dr Bahder Djohan, Dr Djoehana, Dr Sitanala, Dr R Muchtar, dan Dr Marzuki. Selain itu terdapat nama dokter Buntaran yang belakangan menjadi Menteri Kesehatan RI pada Kabinet I. Akhirnya, dengan bantuan Panitia Lima yang terdiri dari para dokter Indonesia yang tersohor, Palang Merah Indonesia terbentuk pada 17 September 1945.
Diolah dari berbagai sumber:
sejarahkita.blogspot.co.id
rsdrsitanala.blogspot.co.id
matanasi.blogspot.co.id
(wib)