Awal Masuk dan Akhir Partai Komunis Indonesia di Sulawesi Selatan
A
A
A
Makassar yang dikenal sebagai kota pelabuhan, menjadi target para pedagang untuk singgah, berdagang, hingga bertempat tinggal. Kondisi itu menjadikan arus pergerakan nasional juga menampakkan wajahnya di Makassar.
Pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di "Butta Daeng" ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin.
Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami.
Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong "Pemberita Makassar".
Lewat surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat SulSel untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah.
PKI cabang Makassar pun diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.
Namun, gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah. Perlawanan sosial terhadap kolonial Belanda menjadi "berhenti dan tiarap".
Dan banyak para akitivisnya yang ditangkap, bahkan ada yang di buang keluar negeri. Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat mau pun di daerah-daerah "tidak terdengar" lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat dipatahkah.
Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat SulSel pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya.
Hal ini didasari oleh kuatnya kontrol aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan "anti-tesa" dari PKI tersebut.
Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sulsel menjadikan partai ini "melunakkan" propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambang palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).
Walau pun giat melakukan propaganda turun ke grassroot, tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1,6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative.
Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap.
Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Dawah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Berbagai organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan "perlawanan-balik" terhadap PKI yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.
Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila.
Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI.
Pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dan lainnya.
Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya "dijebloskan" ke kamp pengasingan di Moncongloe.
Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang.
Di penjara, para tapol ditindak secara keras, disiksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam.
Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana.
Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari Ibu Kota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari Ibu Kota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan "Tanah Merah".
Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP. 024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya.
Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di SulSel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI.
Para aktivis dan simpatisan PKI ditangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di Kampong Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik (tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto.
Begitu pun di tempat lain, kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani ditangkap karena mempunyai hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68.
Sumber:
wikipedia
ilhamusman.blogspot
diolah dari berbagai sumber
Pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di "Butta Daeng" ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin.
Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami.
Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong "Pemberita Makassar".
Lewat surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat SulSel untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah.
PKI cabang Makassar pun diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.
Namun, gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah. Perlawanan sosial terhadap kolonial Belanda menjadi "berhenti dan tiarap".
Dan banyak para akitivisnya yang ditangkap, bahkan ada yang di buang keluar negeri. Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat mau pun di daerah-daerah "tidak terdengar" lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat dipatahkah.
Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat SulSel pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya.
Hal ini didasari oleh kuatnya kontrol aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan "anti-tesa" dari PKI tersebut.
Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sulsel menjadikan partai ini "melunakkan" propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambang palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).
Walau pun giat melakukan propaganda turun ke grassroot, tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1,6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative.
Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap.
Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Dawah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Berbagai organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan "perlawanan-balik" terhadap PKI yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.
Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila.
Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI.
Pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dan lainnya.
Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya "dijebloskan" ke kamp pengasingan di Moncongloe.
Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang.
Di penjara, para tapol ditindak secara keras, disiksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam.
Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana.
Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari Ibu Kota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari Ibu Kota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan "Tanah Merah".
Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP. 024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya.
Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di SulSel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI.
Para aktivis dan simpatisan PKI ditangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di Kampong Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik (tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto.
Begitu pun di tempat lain, kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani ditangkap karena mempunyai hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68.
Sumber:
wikipedia
ilhamusman.blogspot
diolah dari berbagai sumber
(nag)