Peristiwa Madiun 1948, Sejarah Kebiadaban PKI Terhadap Ulama
A
A
A
PERISTIWA Madiun 69 tahun silam tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 itu merupakan peristiwa kelam yang telah merenggut banyak nyawa ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya ancaman komunisme di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Adapun latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada masa itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama dan pejuang kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga menewaskan banyak perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun dijadikan PKI sebagai basis gerilya.
Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Sejak saat itu, gerakan PKI ini semakin merajalela hingga menguasai dan menduduki tempat-tempat penting di Madiun.
Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi seperti buku, makalah, buletin dan forum diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso.
Liputan wartawan ‘Sin Po’ yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: 'Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa "ketjipratan" djoega.'
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Gadis Rasid, seorang pejuang yang juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.
Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: “Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga.
Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.
Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Mereka bukan sekadar melihat peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin mencari anggota keluarganya yang diculik PKI. Diantara sumur-sumur ‘neraka’ yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri.
Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan.
Fakta kekejaman FDR/PKI tahun 1948 ini disaksikan ribuan warga masyarakat yang menyaksikan langsung pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu. Setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, polisi, camat, kepala desa, bahkan guru.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya ditemukan di Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai Imam Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch Noor.
Lalu, di sumur tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat (Inspektur Polisi Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Di sumur ‘neraka’ I Desa Soco ditemukan jasad Soehoed (camat Magetan); R Moerti (Kepala Pengadilan Magetan); Mas Ngabehi Soedibyo (Bupati Magetan). Kemudian ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan warga Magetan.
Selain itu, di Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan ditemukan jasad KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussa’ada Rejosari, Madiun. Imam Shofwan dikubur hidup-hidup di salam sumur tersebut. Ketika dimasukkan ke dalam sumur, ulama NU ini masih sempat mengumandangkan adzan.
Dua putranya Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga menjadi korban dan dikubur hidup bersama-sama. Sebanyak 22 jenazah ditemukan di sumur ini. Dan masih banyak tokoh ulama lainnya yang menjadi korban keganasan PKI.
Kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD diculik dan dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka selamatlah bangsa Indonesia dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di barisan terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
SUMBER:
[1] Sunyoto, Agus dkk. 1990. Lubang-Lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun. Grafiti Press.
[2] Sunyoto, Agus. 1996. Banser Berjihad Menumpas PKI. Lembaga Kajian dan Pengembangan, PW GP Ansor Jawa Timur & Pesulukan Thoriqoh Agung. Tulung Agung.
[3] Islamedia-Media Islam Online.
[4] Dihimpun dari berbagai sumber.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya ancaman komunisme di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Adapun latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada masa itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama dan pejuang kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga menewaskan banyak perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun dijadikan PKI sebagai basis gerilya.
Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Sejak saat itu, gerakan PKI ini semakin merajalela hingga menguasai dan menduduki tempat-tempat penting di Madiun.
Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi seperti buku, makalah, buletin dan forum diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso.
Liputan wartawan ‘Sin Po’ yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: 'Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa "ketjipratan" djoega.'
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Gadis Rasid, seorang pejuang yang juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.
Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: “Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga.
Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.
Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Mereka bukan sekadar melihat peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin mencari anggota keluarganya yang diculik PKI. Diantara sumur-sumur ‘neraka’ yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri.
Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan.
Fakta kekejaman FDR/PKI tahun 1948 ini disaksikan ribuan warga masyarakat yang menyaksikan langsung pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu. Setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, polisi, camat, kepala desa, bahkan guru.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya ditemukan di Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai Imam Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch Noor.
Lalu, di sumur tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat (Inspektur Polisi Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Di sumur ‘neraka’ I Desa Soco ditemukan jasad Soehoed (camat Magetan); R Moerti (Kepala Pengadilan Magetan); Mas Ngabehi Soedibyo (Bupati Magetan). Kemudian ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan warga Magetan.
Selain itu, di Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan ditemukan jasad KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussa’ada Rejosari, Madiun. Imam Shofwan dikubur hidup-hidup di salam sumur tersebut. Ketika dimasukkan ke dalam sumur, ulama NU ini masih sempat mengumandangkan adzan.
Dua putranya Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga menjadi korban dan dikubur hidup bersama-sama. Sebanyak 22 jenazah ditemukan di sumur ini. Dan masih banyak tokoh ulama lainnya yang menjadi korban keganasan PKI.
Kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD diculik dan dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka selamatlah bangsa Indonesia dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di barisan terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
SUMBER:
[1] Sunyoto, Agus dkk. 1990. Lubang-Lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun. Grafiti Press.
[2] Sunyoto, Agus. 1996. Banser Berjihad Menumpas PKI. Lembaga Kajian dan Pengembangan, PW GP Ansor Jawa Timur & Pesulukan Thoriqoh Agung. Tulung Agung.
[3] Islamedia-Media Islam Online.
[4] Dihimpun dari berbagai sumber.
(rhs)