Para Penyandang Tunanetra Belajar Berjalan di Ruang Publik
A
A
A
MALANG - Garis penunjuk jalan, sangat berarti bagi Ahmad Muchlis (21), untuk menuntun laju jalan kakinya. Sambil memegang tongkat kecil berbahan aluminium, dia berusaha menyusuri pedestrian di sepanjang Taman Kertanegara, Kota Malang, Jawa Timur (Jatim).
Pria asli Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, tersebut, bersama-sama teman-temannya yang bersekolah di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra (RSBN) Malang, berjalan-jalan di taman-taman Kota Malang. Mereka mengikuti latihan orientasi dan mobilitas.
Muchlis yang mengalami tunanetra sejak lahir mengaku baru pertama kali ini mengikuti latihan jalan di taman kota. “Biasanya latihan jalan di lingkungan panti, suasananya lebih hening. Kalau di taman kota, suasananya lebih bising sehingga harus berhati-hati,” ungkapnya, Senin, 11 September 2017.
Tingkat kesulitan berjalan di keramaian dirasakan jauh lebih berat karena banyak kendaraan bermotor. Selain itu, tidak semua jalan ramah terhadap penyandang tunanetra, terutama saat mereka menyeberang jalan raya. Belum ada tanda khusus di jalan yang memudahkan bagi penyandang tunanetra.
Lasiono, instruktur dari UPT RSBN Malang menjelaskan, kegiatan para siswanya berjalan-jalan di ruang publik ini merupakan bagian dari penerapan latihan orientasi dan mobilitas. “Mereka kami kenalkan dengan lingkungan di luar panti. Biasanya, mereka hanya berlatih di dalam panti,” ungkapnya.
Tantangan yang harus dihadapi saat berjalan kaki di tempat umum, menurutnya jauh lebih berat. Mengingat, tidak semua jalan memiliki tanda khusus bagi penyandang tuna netra. Sementara saat berlatih di dalam panti, selain tingkat kebisingannya rendah, juga sudah ada tanda khusus bagi penyandang tunanetra untuk berjalan kaki.
Latihan di luar panti ini baru bisa dilakukan setelah para siswa menjalani pendidikan selama dua tahun. Awalnya, para siswa mendapat pendidikan dasar di dalam kelas dan lingkungan panti. “Setelah pendidikan dasar, mereka baru kami ajak keluar lingkungan panti,” tuturnya.
Pendidikan di UPT RSBN Malang meliputi beberapa tahapan. Tahap pertama dilakukan di Kelas A, yakni pendidikan dasar, yang banyak dilakukan di dalam kelas berupa orientasi dan mobilitas, merawat diri, serta mengenal huruf braille.
Setelah selesai di Kelas A, mereka melanjutkan pendidikan di Kelas B. Di kelas ini lebih difokuskan kepada belajar menulis dan membaca braille, belajar anatomi tubuh, latihan orientasi dan mobilitas di luar panti. “Mereka kami ajak ke stasiun, terminal, taman kota, mal, pasar, dan tempat ibadah,” kata Lasiono.
Peserta pelatihan orientasi dan mobilitas di luar panti ini berjumlah 20 orang siswa dari total 105 siswa di UPT RSBN Malang. Setelah mereka memiliki nilai akademis baik di Kelas B, mereka akan melanjutkan ke jenjang Kelas Kejuruan, berupa praktik berbagai keterampilan yang bisa dijadikan untuk membangun usaha mandiri.
Pria asli Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, tersebut, bersama-sama teman-temannya yang bersekolah di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra (RSBN) Malang, berjalan-jalan di taman-taman Kota Malang. Mereka mengikuti latihan orientasi dan mobilitas.
Muchlis yang mengalami tunanetra sejak lahir mengaku baru pertama kali ini mengikuti latihan jalan di taman kota. “Biasanya latihan jalan di lingkungan panti, suasananya lebih hening. Kalau di taman kota, suasananya lebih bising sehingga harus berhati-hati,” ungkapnya, Senin, 11 September 2017.
Tingkat kesulitan berjalan di keramaian dirasakan jauh lebih berat karena banyak kendaraan bermotor. Selain itu, tidak semua jalan ramah terhadap penyandang tunanetra, terutama saat mereka menyeberang jalan raya. Belum ada tanda khusus di jalan yang memudahkan bagi penyandang tunanetra.
Lasiono, instruktur dari UPT RSBN Malang menjelaskan, kegiatan para siswanya berjalan-jalan di ruang publik ini merupakan bagian dari penerapan latihan orientasi dan mobilitas. “Mereka kami kenalkan dengan lingkungan di luar panti. Biasanya, mereka hanya berlatih di dalam panti,” ungkapnya.
Tantangan yang harus dihadapi saat berjalan kaki di tempat umum, menurutnya jauh lebih berat. Mengingat, tidak semua jalan memiliki tanda khusus bagi penyandang tuna netra. Sementara saat berlatih di dalam panti, selain tingkat kebisingannya rendah, juga sudah ada tanda khusus bagi penyandang tunanetra untuk berjalan kaki.
Latihan di luar panti ini baru bisa dilakukan setelah para siswa menjalani pendidikan selama dua tahun. Awalnya, para siswa mendapat pendidikan dasar di dalam kelas dan lingkungan panti. “Setelah pendidikan dasar, mereka baru kami ajak keluar lingkungan panti,” tuturnya.
Pendidikan di UPT RSBN Malang meliputi beberapa tahapan. Tahap pertama dilakukan di Kelas A, yakni pendidikan dasar, yang banyak dilakukan di dalam kelas berupa orientasi dan mobilitas, merawat diri, serta mengenal huruf braille.
Setelah selesai di Kelas A, mereka melanjutkan pendidikan di Kelas B. Di kelas ini lebih difokuskan kepada belajar menulis dan membaca braille, belajar anatomi tubuh, latihan orientasi dan mobilitas di luar panti. “Mereka kami ajak ke stasiun, terminal, taman kota, mal, pasar, dan tempat ibadah,” kata Lasiono.
Peserta pelatihan orientasi dan mobilitas di luar panti ini berjumlah 20 orang siswa dari total 105 siswa di UPT RSBN Malang. Setelah mereka memiliki nilai akademis baik di Kelas B, mereka akan melanjutkan ke jenjang Kelas Kejuruan, berupa praktik berbagai keterampilan yang bisa dijadikan untuk membangun usaha mandiri.
(mcm)