Kabupaten Grobogan Tidak Menerapkan Sekolah Lima Hari
A
A
A
GROBOGAN - Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, memilih tidak melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 terkait dengan sekolah lima hari.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Grobogan Soemarsono mengatakan, Pemerintah Kabupaten Grobogan tidak menerapkan sekolah lima hari untuk pelajar tingkat sekolah dasar (SD) dan juga sekolah menengah pertama (SMP) bukan berarti pemerintah daerah menolak, tetapi karena dari pemerintah pusat sendiri memberikan pilihan kepada daerah-daerah yakni boleh tidak menerapkan kebijakan sekolah lima hari.
"Dalam pidato Bapak Presiden (Joko Widodo), beliau menyampaikan bahwa daerah diberikan pilihan boleh menerapkan dan boleh tidak menerapkan. Dan kami dari Pemerintah Kabupaten Grobogan memilih tidak menerapkan sekolah lima hari," katanya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (19/8/2017).
Ia menyebutkan, tidak diterapkannya kebijakan sekolah lima hari juga karena adanya penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, salah satunya dari kalangan Nahdhatul Ulama.
"Kemarin juga ada semacam pernyataan sikap dari PCNU beserta banom-banomnya yang menolak full day school. Di Kabupaten Grobogan ada lebih dari 400 madrasah diniyah, kalau diterapkan bisa gulung tikar semua itu. Oleh karena itu, Kabupaten Grobogan belum menerapkan kebijakan sekolah lima hari," tandasnya.
Kalangan nahdliyin di Kabupaten Grobogan juga menolak jika Kabupaten Grobogan merapkan kebijakan sekolah lima hari. NU Kabupaten Grobogan beserta seluruh badan otonom (banom) mulai dari LP Ma'arif NU, FKDT, Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, Banser, IPNU, IPPNU, serta PMII, menolak Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 terkait sekolah lima hari.
Ketua PC NU Kabupaten Grobogan Abu Mansyur mengatakan, anak-anak sekolah khususnya usia SD dan SMP banyak yang mengikuti pendidikan agama di madrasah diniyah dan pondok pesantren. Kegiatan pendidikan yang dilakukan umumnya berlangsung antara pukul 14.00-sore. Jika diterapkan full day school maka kesempatan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan agama akan hilang.
"Muncul juga kekhawatiran terhadap keselamatan dan keamanan terutama siswi, jika pulang terlalu sore sementara jarak sekolah terlalu jauh," katanya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Grobogan Soemarsono mengatakan, Pemerintah Kabupaten Grobogan tidak menerapkan sekolah lima hari untuk pelajar tingkat sekolah dasar (SD) dan juga sekolah menengah pertama (SMP) bukan berarti pemerintah daerah menolak, tetapi karena dari pemerintah pusat sendiri memberikan pilihan kepada daerah-daerah yakni boleh tidak menerapkan kebijakan sekolah lima hari.
"Dalam pidato Bapak Presiden (Joko Widodo), beliau menyampaikan bahwa daerah diberikan pilihan boleh menerapkan dan boleh tidak menerapkan. Dan kami dari Pemerintah Kabupaten Grobogan memilih tidak menerapkan sekolah lima hari," katanya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (19/8/2017).
Ia menyebutkan, tidak diterapkannya kebijakan sekolah lima hari juga karena adanya penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, salah satunya dari kalangan Nahdhatul Ulama.
"Kemarin juga ada semacam pernyataan sikap dari PCNU beserta banom-banomnya yang menolak full day school. Di Kabupaten Grobogan ada lebih dari 400 madrasah diniyah, kalau diterapkan bisa gulung tikar semua itu. Oleh karena itu, Kabupaten Grobogan belum menerapkan kebijakan sekolah lima hari," tandasnya.
Kalangan nahdliyin di Kabupaten Grobogan juga menolak jika Kabupaten Grobogan merapkan kebijakan sekolah lima hari. NU Kabupaten Grobogan beserta seluruh badan otonom (banom) mulai dari LP Ma'arif NU, FKDT, Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, Banser, IPNU, IPPNU, serta PMII, menolak Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 terkait sekolah lima hari.
Ketua PC NU Kabupaten Grobogan Abu Mansyur mengatakan, anak-anak sekolah khususnya usia SD dan SMP banyak yang mengikuti pendidikan agama di madrasah diniyah dan pondok pesantren. Kegiatan pendidikan yang dilakukan umumnya berlangsung antara pukul 14.00-sore. Jika diterapkan full day school maka kesempatan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan agama akan hilang.
"Muncul juga kekhawatiran terhadap keselamatan dan keamanan terutama siswi, jika pulang terlalu sore sementara jarak sekolah terlalu jauh," katanya.
(zik)