Jejak Muhammad Mangundiprojo di Pertempuran Surabaya

Minggu, 06 Agustus 2017 - 05:00 WIB
Jejak Muhammad Mangundiprojo di Pertempuran Surabaya
Jejak Muhammad Mangundiprojo di Pertempuran Surabaya
A A A
Selain Bung Tomo, ada tokoh lain yang juga punya peran penting dalam Pertempuran Surabaya, November 1945. Dia adalah HR Muhammad Mangundiprojo.

Pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 5 Januari 1905 ini bernama Raden Moehammad Mangoendiprojo (selanjutnya ditulis Muhammad Mangundiprojo).

Dia adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setjodiwirjo merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda.

Garis hidup sebenarnya memberi kesempatan kepada Muhammad Mangundiprojo untuk bisa hidup berkecukupan dengan menjadi pamong praja, wakil kepala jaksa, dan kemudian asisten wedana di Jombang, Jawa Timur, setelah lulus dari OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) pada tahun 1927. Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, ia memilih menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944 di Buduran, Sidoarjo.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal TNI.

Berbagai jabatan pernah dipegang Muhammad Mangundiprojo, antara lain sebagai bendahara Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Surabaya, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BPKNI) Keresidenan Surabaya. Saat Drg Mustopo mengangkat dirinya menjadi "Menteri Pertahanan", Muhammad diangkat sebagai anggota staf Urusan Angkatan Darat.

Bersama rombongan ketua BKR Keresidenan (Mustopo), Muhammad ikut mendesak Panglima Pertahanan Jawa Timur Jepang Jenderal Iwabe, untuk menyerahkan senjata yang terdapat di beberapa gudang senjata.

Singkat cerita, kedatangan pasukan Inggris di bawah pimpinan Aubertin Walter Sothern (AWS.) Mallaby atau lebih dikenal dengan Brigjen Mallaby di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menyebabkan pecahnya pertempuran dengan pihak Indonesia pada 28-29 Oktober 1945.

Tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu. Selain Muhammad, ada juga tokoh lain yang menjadi kontak biro yakni Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, dan TD Kundan.

Pada tanggal yang sama, sore harinya, Muhammad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio.

Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari Kesatuan Gurkha dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad bersama Kapten Shaw dan TD Kundan masuk gedung dan bernegosiasi. Namun, belum ada 15 menit, TD Kundan lari keluar dan berteriak menyuruh semua orang di lapangan berlindung.

Teriakan TD Kundan itu diikuti dengan rentetan tembakan dari dalam gedung. Baku tembak pecah. Anggota kontak biro lari menyelamatkan diri. Sementara, Muhammad disekap di dalam Gedung Internatio.

Keesokan harinya, mobil Mallaby ditemukan hangus. Mallaby ditemukan tewas di dalamnya. Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah, lalu mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945.

Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Setelah Pertempuran Surabaya, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi Mayor Jenderal oleh Presiden Soekarno.

Pada Januari 1946, Muhammad diangkat sebagai Panglima Komandan TRI Jawa Timur, yang bertugas mengoordinasikan divisi-divisi TKR berkedudukan di Madiun. Selanjutnya, dia dipindahkan ke Staf Kementerian Pertahanan, sebagai penasihat menteri.

Pasca-pengakuan kedaulatan RI, Muhammad dikembalikan ke profesi awal, sebagai pamong praja. Tahun 1950, dia diangkat sebagai bupati Ponorogo dan lima tahun kemudian sebagai residen Lampung.

Pada 13 Desember 1998, Muhammad Mangundiprojo tutup usia di Bandar Lampung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung. Atas jasa-jasanya, Muhammad Mangundiprojo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 7 November 2014.

Sumber: id.wikipedia.org dan www.pahlawancenter.com
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6039 seconds (0.1#10.140)