Perang Kuning, Perlawanan Sengit Rakyat Lasem- Rembang Melawan VOC
A
A
A
Perang Kuning adalah serangkaian perlawanan rakyat Lasem-Rembang dan sekitarnya terhadap kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Semarang (1741-1742) dan Lasem (1750).
Konflik muncul sebagai dampak terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740 yang diikuti migrasi besar-besaran penduduk Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem.
Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1741-1743), sementara Perang Kuning merupakan perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem secara khusus.
Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740, banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Kedatangan mereka disambut oleh Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang mengizinkan mereka untuk membuka beberapa perkampungan baru.
Bersamaan dengan berkobarnya pemberontakan melawan Kompeni oleh gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin pemberontak bernama Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie.
Pasukan pemberontak dari Lasem (juga dikenal dengan nama "Laskar Dampo Awang Lasem") pada mulanya berhasil menguasai Rembang, tetapi menderita kekalahan saat menyerang Jepara, disertai gugurnya salah satu pemimpin pemberontak Tan Kee Wie pada tahun 1742.
Setelah selama beberapa tahun tidak terjadi perlawanan terhadap kekuasaan VOC, pada Agustus 1750 Raden Panji Margono mendengar bahwa para pemberontak di Argosoka berniat untuk mengangkat senjata.
Hal tersebut membuat semangatnya kembali bangkit. Ia meminta penduduk Lasem untuk berkumpul di alun-alun depan Masjid Lasem pada keesokan harinya, pada saat Salat Jumat.
Pengajian tersebut dipimpin oleh Kiai Ali Badawi, seorang ulama besar di Lasem yang mengasuk Pondok Pesantren Purikawak di Sumurkepel, selatan Masjid Lasem.
Setelah memimpin pengajian, Kiai Ali Badawi mengajak umat untuk berperang jihad mengusir Belanda dari Rembang dan bergabung dengan para pemberontak Tionghoa.
Oei Ing Kiat juga kembali bangkit memimpin para pemberontak Tionghoa untuk berperang. Namun, rencana penyerangan bocor dua minggu sebelumnya sehingga Belanda dan Adipati Suroadimenggolo III sempat mengungsi ke Jepara.
Peperangan antara VOC dan pasukan pemberontak kembali meletus. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran.
Pasukan VOC dari Jepara berusaha melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem), tetapi kehadiran mereka dihadang pasukan Lasem di bawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang.
Selama ini senjata-senjata tersebut disembunyikan di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai Paturenan.
Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan yang dipimpin Kiai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma, tetapi banyak yang tewas akibat serangan meriam dari kapal VOC.
Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut.
Di Narukan, perut sebelah kiri Raden Panji Margono terkena sabetan pedang hingga sebagian ususnya keluar. Ia digendong oleh pengawal pribadinya, yaitu Ki Galiya, dengan perlindungan Ki Mursada.
Setelah mencapai tempat aman di utara Gombong, luka Raden Panji Margono dirawat, tetapi ia meninggal karena kehabisan banyak darah.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Konflik muncul sebagai dampak terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740 yang diikuti migrasi besar-besaran penduduk Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem.
Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1741-1743), sementara Perang Kuning merupakan perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem secara khusus.
Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740, banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Kedatangan mereka disambut oleh Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang mengizinkan mereka untuk membuka beberapa perkampungan baru.
Bersamaan dengan berkobarnya pemberontakan melawan Kompeni oleh gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin pemberontak bernama Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie.
Pasukan pemberontak dari Lasem (juga dikenal dengan nama "Laskar Dampo Awang Lasem") pada mulanya berhasil menguasai Rembang, tetapi menderita kekalahan saat menyerang Jepara, disertai gugurnya salah satu pemimpin pemberontak Tan Kee Wie pada tahun 1742.
Setelah selama beberapa tahun tidak terjadi perlawanan terhadap kekuasaan VOC, pada Agustus 1750 Raden Panji Margono mendengar bahwa para pemberontak di Argosoka berniat untuk mengangkat senjata.
Hal tersebut membuat semangatnya kembali bangkit. Ia meminta penduduk Lasem untuk berkumpul di alun-alun depan Masjid Lasem pada keesokan harinya, pada saat Salat Jumat.
Pengajian tersebut dipimpin oleh Kiai Ali Badawi, seorang ulama besar di Lasem yang mengasuk Pondok Pesantren Purikawak di Sumurkepel, selatan Masjid Lasem.
Setelah memimpin pengajian, Kiai Ali Badawi mengajak umat untuk berperang jihad mengusir Belanda dari Rembang dan bergabung dengan para pemberontak Tionghoa.
Oei Ing Kiat juga kembali bangkit memimpin para pemberontak Tionghoa untuk berperang. Namun, rencana penyerangan bocor dua minggu sebelumnya sehingga Belanda dan Adipati Suroadimenggolo III sempat mengungsi ke Jepara.
Peperangan antara VOC dan pasukan pemberontak kembali meletus. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran.
Pasukan VOC dari Jepara berusaha melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem), tetapi kehadiran mereka dihadang pasukan Lasem di bawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang.
Selama ini senjata-senjata tersebut disembunyikan di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai Paturenan.
Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan yang dipimpin Kiai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma, tetapi banyak yang tewas akibat serangan meriam dari kapal VOC.
Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut.
Di Narukan, perut sebelah kiri Raden Panji Margono terkena sabetan pedang hingga sebagian ususnya keluar. Ia digendong oleh pengawal pribadinya, yaitu Ki Galiya, dengan perlindungan Ki Mursada.
Setelah mencapai tempat aman di utara Gombong, luka Raden Panji Margono dirawat, tetapi ia meninggal karena kehabisan banyak darah.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
(nag)