Halalbihalal; Sejarah dan Filosofinya
A
A
A
Halalbihalal merupakan budaya khas Indonesia, khususnya di Jawa. Istilah ini sudah meng-Indonesia, meskipun banyak mendapatkan kritik dari sisi bahasa dan terlepas betul tidaknya istilah halalbihalal dari sisi tata bahasa. Namun, istilah ini memiliki nilai historis tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Halalbihalal memang bukanlah syariat Islam, tapi merupakan kearifan lokal. Ini merupakan produk asli Indonesia, baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya. Halalbihalal bisa dilakukan di mana-mana, mulai dari perkampungan, perkotaan, sekolahan, perkuliahan, bahkan sampai di perkantoran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halalbihalal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa halalbihalal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikalnya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahmi.
Drs H Ibnu Djarir (MUI Jawa Tengah) menulis bahwa ada banyak versi sejarah dimulainya halalbihalal. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang masyhur dijuluki Pangeran Sambernyawa.
Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Di sana mereka saling bersalaman, sungkeman kepada orang-orang tua, dan meminta restu kepada raja. Kegiatan serupa kemudian diikuti oleh pemimpin Jawa lainnya sebagai tradisi yang dikenal dengan istilah sungkeman, belum bernama halalbihalal. Boleh jadi kegiatan itu mirip dengan Open House yang biasa dilakukan para pejabat atau tokoh di tanah air setiap Hari Raya Idul Fitri saat ini.
Sejarah mencatat, bahwa Bung Karno sempat menghadiri tradisi sungkeman ini pada Idul Fitri 1930 di keraton. Saat itu polisi Belanda sempat ingin menangkap Bung Karno, karena curiga akan ada aktivitas pemberontakan.
Sedangkan dikutip dari nu.or.id, sebagaimana diceritakan oleh KH Fuad Hasyim (alm) Buntet, Cirebon, pada acara Halalbihalal di Ponpes Mambaul Ulum Tunjungmuli, Purbalingga, yang diselenggarakan oleh Alumni Ponpes Lirboyo, 12 Desember 2002/9 Syawal 1423 H, penggagas istilah halalbihalal adalah KH Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu perintis organisasi Nahdahtul Ulama ( NU ) yang biasa dipanggil Kiai Wahab.
Bermula pada 1948 ketika Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Saat itu para elite politik saling bertengkar, pemberontakan terjadi di mana-mana. Pada pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno mengundang Kiai Wahab ke Istana Negara, untuk diminta pendapat mengenai solusi konflik politik Indonesia pada masa itu.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi antar pemimpin politik, apalagi Hari Raya Idul Fitri segera tiba. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturahmi, kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
Kiai Wahab pun memberi istilah Halalbihalal beserta penjelasan makna filosofinya. Kiai Wahab menjelaskan, terkait permusuhan antar tokoh politik yang menurutnya adalah haram, maka harus dihalalkan, disudahkan.
“Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halalbihalal’,” jelas Kiai Wahab.
Atas saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halalbihalal’. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Tercatat sejarah, bahwa undangan tersebut dinamakan dengan judul “Halalbihalal”, istilah yang yang diperoleh Bung Karno saat berdialog dengan Kiai Wahab. Aktivitas serupa pun kemudian menjadi tradisi rutin di istana negara.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halalbihalal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah halalbihalal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Sejumlah catatan menyatakan bahwa Prof DR H Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal akrab dengan nama Buya Hamka merupakan tokoh yang cukup memiliki pengaruh dalam mempopulerkan tradisi halalbihalal kepada khalayak.
Dikutip dari republika.co.id, pertemuannya dengan Presiden Soekarno yang notabene memiliki perbedaan pandangan politik dengannya di istana Negara pada 1963 dalam suasana Idul Fitri, berhasil menyedot perhatian masyarakat luas. Sejarah mencatat, pada saat itu keduanya berjabat tangan, Buya Hamka mengatakan "kita halalbihalal". Oleh karena itu, Halalbihalal pun semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.
Sumber:
hidayatullah
mwcnukarangmoncol
hype.idntimes.com
Halalbihalal memang bukanlah syariat Islam, tapi merupakan kearifan lokal. Ini merupakan produk asli Indonesia, baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya. Halalbihalal bisa dilakukan di mana-mana, mulai dari perkampungan, perkotaan, sekolahan, perkuliahan, bahkan sampai di perkantoran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halalbihalal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa halalbihalal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikalnya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahmi.
Drs H Ibnu Djarir (MUI Jawa Tengah) menulis bahwa ada banyak versi sejarah dimulainya halalbihalal. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang masyhur dijuluki Pangeran Sambernyawa.
Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Di sana mereka saling bersalaman, sungkeman kepada orang-orang tua, dan meminta restu kepada raja. Kegiatan serupa kemudian diikuti oleh pemimpin Jawa lainnya sebagai tradisi yang dikenal dengan istilah sungkeman, belum bernama halalbihalal. Boleh jadi kegiatan itu mirip dengan Open House yang biasa dilakukan para pejabat atau tokoh di tanah air setiap Hari Raya Idul Fitri saat ini.
Sejarah mencatat, bahwa Bung Karno sempat menghadiri tradisi sungkeman ini pada Idul Fitri 1930 di keraton. Saat itu polisi Belanda sempat ingin menangkap Bung Karno, karena curiga akan ada aktivitas pemberontakan.
Sedangkan dikutip dari nu.or.id, sebagaimana diceritakan oleh KH Fuad Hasyim (alm) Buntet, Cirebon, pada acara Halalbihalal di Ponpes Mambaul Ulum Tunjungmuli, Purbalingga, yang diselenggarakan oleh Alumni Ponpes Lirboyo, 12 Desember 2002/9 Syawal 1423 H, penggagas istilah halalbihalal adalah KH Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu perintis organisasi Nahdahtul Ulama ( NU ) yang biasa dipanggil Kiai Wahab.
Bermula pada 1948 ketika Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Saat itu para elite politik saling bertengkar, pemberontakan terjadi di mana-mana. Pada pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno mengundang Kiai Wahab ke Istana Negara, untuk diminta pendapat mengenai solusi konflik politik Indonesia pada masa itu.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi antar pemimpin politik, apalagi Hari Raya Idul Fitri segera tiba. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturahmi, kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
Kiai Wahab pun memberi istilah Halalbihalal beserta penjelasan makna filosofinya. Kiai Wahab menjelaskan, terkait permusuhan antar tokoh politik yang menurutnya adalah haram, maka harus dihalalkan, disudahkan.
“Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halalbihalal’,” jelas Kiai Wahab.
Atas saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halalbihalal’. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Tercatat sejarah, bahwa undangan tersebut dinamakan dengan judul “Halalbihalal”, istilah yang yang diperoleh Bung Karno saat berdialog dengan Kiai Wahab. Aktivitas serupa pun kemudian menjadi tradisi rutin di istana negara.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halalbihalal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah halalbihalal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Sejumlah catatan menyatakan bahwa Prof DR H Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal akrab dengan nama Buya Hamka merupakan tokoh yang cukup memiliki pengaruh dalam mempopulerkan tradisi halalbihalal kepada khalayak.
Dikutip dari republika.co.id, pertemuannya dengan Presiden Soekarno yang notabene memiliki perbedaan pandangan politik dengannya di istana Negara pada 1963 dalam suasana Idul Fitri, berhasil menyedot perhatian masyarakat luas. Sejarah mencatat, pada saat itu keduanya berjabat tangan, Buya Hamka mengatakan "kita halalbihalal". Oleh karena itu, Halalbihalal pun semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.
Sumber:
hidayatullah
mwcnukarangmoncol
hype.idntimes.com
(wib)