Pembangunan di Bekas Pabrik Gula Colomadu Diprotes
A
A
A
SOLO - Puro Mangkunegaran menyampaikan protes kepada pemerintah menyusul pembangunan di bekas Pabrik Gula (PG) Colomadu, Karanganyar. Sebagai tanah dan bangunan milik Puro Mangkunegaran yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, pemerintah semestinya meminta izin terlebih dahulu kepada Puro Mangkunegaran.
Ketua Tim Pengembalian Aset Puro Mangkunegaran (PAM) Alqaf Hudaya mengatakan, pihaknya pada awalnya menyampaikan keberatan kepada PTPN IX yang selama membawahi bekas PG Colomadu, Menteri BUMN, Bupati Karanganyar, dan konsorsium BUMN yang menangani perbaikan bekas PG Colomadu.
“Namun hal itu ternyata sama sekali tidak mendapat tanggapan baik surat atau telepon,” kata Alqah Hudaya. Sehingga dengan terpaksa mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan langsung mendapat respon.
Pada 9 Juni lalu pihaknya diundang Sekretariat Negara (Setneg) untuk membicarakan hal itu. Hadir juga dalam kesempatan itu PTPN IX, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bupati Karanganyar selaku pemilik wilayah.
Setneg ingin klarifikasi tentang riwayat kepemilikan PG Colomadu oleh Puro Mangkunegaran yang kemudian dikuasai pemerintah. Terjadi silang pendapat karena PTPN IX mengklaim telah memiliki sertifikat atas tanah bekas PG Colomadu.
“Namun berdasarkan sejarah nampak dalam sertifikatnya karena riwayat perolehannya. Catatannya permohonan kepada negara eks tanah Mangkunegaran,” terangnya.
Yang menjadi persoalan apakah pemerintah telah menerima palilah (izin) dari penguasa Puro Mangkunegaran secara benar atau tidak. Meski PTPN mendapat perintah untuk mengelola pabrik gula, namun bukan berarti bisa mengambil alih begitu saja.
Dari pembicaraan itu, kemudian muncul dua opsi jalan keluar dari Bupati Karanganyar dan BPN. Usulan itu adalah ketiga pihak bermusyawarah, yakni Puro Mangkunegaran, Bupati Karanganyar, dan PTPN IX.
“Karena PTPN IX tidak merasa tidak memiliki kewenangan apapun dan merasa hanya diperintah, maka Kementerian BUMN yang akan ikut dalam pembicaraan,” tegasnya. Pembicaraan itu diharapkan dapat mengerucut dan memberikan manfaat bagi ketiga pihak.
Dalam pembicaraan itu juga mengemuka agar Bupati Karanganyar Juliyatmono memfasilitasi perundingan. Hasil klarifikasi oleh Sesneg juga akan dilaporkan kepada Presiden Jokowi yang diharapkan diberikan jalan keluar. Dua opsi itu diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang memuaskan tergantung mana yang keluar terlebih dahulu.
Juru bicara Tim Pengembalian Aset Puro Mangkunegaran (PAM) Didik Wahyudiono melanjutkan, terjadi perbedaan yang sangat tajam antara perwakilan Puro Mangkunegaran dengan PTPN IX dari aspek legalitas aset. “Sertifikat itu baru lahir ketika zaman rezim Dahlan Iskan (mantan Menteri BUMN). Jadi baru saja,” urai Didik.
Perwakilan Puro Mangkunegaran dalam kesempatan itu juga sempat menanyakan kepada PTPN IX mengenai makna pemberian gula setiap bulan oleh PG Tasikmadu kepada Mangkunegaran. Pihak PTPN IX, kata Didik, jelas menjawab karena itu bekas milik Mangkunegaran.
“Tapi ketika mereka kami konfirmasi tentang PG Colomadu, mereka berlindung dibalik penjelasan palilah pada tahun 1946 yang dilakukan Mangkunegoro VIII kepada pemerintah,” ucapnya.
Padahal pada 1946 adalah terjadi revolusi sosial di Solo yang dipimpin Tan Malaka. Pada situasi politik seperti, posisi Puro Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta dalam posisi yang terjepit. Terlebih pada waktu itu juga muncul gerakan anti swapraja.“Sehingga palilah itu kami maknai dalam tanda petik di sana,” paparnya.
Sebab terbukti pada tahun 1949 ketika Belanda masuk, aset yang semula dikuasai pemerintah kembali dimiliki oleh Mangkunegaran.
Baru pada tahun 1952, aset itu ditarik kembali oleh pemerintah. Karena perbedaan pendapat yang tajam, akhirnya Bupati Karanganyar akhirnya diminta untuk memfasilitasi musyawarah lanjutan.
Pihaknya berharap Bupati Juliyatmono segera ditindaklanjuti. Hasil pembicaraan itu juga telah disampaikan kepada Sri Paduka Mangkunegoro IX.
“Dan beliau minta kepada Presiden agar pembangunan di bekas PG Colomadu dihentikan sampai masalah ini selesai dulu,” timpalnya.
Semestinya, Puro Mangkunegaran selaku pemilik aset diajak bermusyawarah terlebih dahulu. PG Colomadu sendiri dibangun di era Mangkunegoro IV pada tahun 1816. Luas tanah bekas PG Colomadu dan perumahan di depannya mencapai 13,5 hektare.
Saat ini, Puro Mangkunegaran juga tengah memetakan berbagai aset lainnya yang dikuasai pemerintah atau swasta.
Ketua Tim Pengembalian Aset Puro Mangkunegaran (PAM) Alqaf Hudaya mengatakan, pihaknya pada awalnya menyampaikan keberatan kepada PTPN IX yang selama membawahi bekas PG Colomadu, Menteri BUMN, Bupati Karanganyar, dan konsorsium BUMN yang menangani perbaikan bekas PG Colomadu.
“Namun hal itu ternyata sama sekali tidak mendapat tanggapan baik surat atau telepon,” kata Alqah Hudaya. Sehingga dengan terpaksa mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan langsung mendapat respon.
Pada 9 Juni lalu pihaknya diundang Sekretariat Negara (Setneg) untuk membicarakan hal itu. Hadir juga dalam kesempatan itu PTPN IX, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bupati Karanganyar selaku pemilik wilayah.
Setneg ingin klarifikasi tentang riwayat kepemilikan PG Colomadu oleh Puro Mangkunegaran yang kemudian dikuasai pemerintah. Terjadi silang pendapat karena PTPN IX mengklaim telah memiliki sertifikat atas tanah bekas PG Colomadu.
“Namun berdasarkan sejarah nampak dalam sertifikatnya karena riwayat perolehannya. Catatannya permohonan kepada negara eks tanah Mangkunegaran,” terangnya.
Yang menjadi persoalan apakah pemerintah telah menerima palilah (izin) dari penguasa Puro Mangkunegaran secara benar atau tidak. Meski PTPN mendapat perintah untuk mengelola pabrik gula, namun bukan berarti bisa mengambil alih begitu saja.
Dari pembicaraan itu, kemudian muncul dua opsi jalan keluar dari Bupati Karanganyar dan BPN. Usulan itu adalah ketiga pihak bermusyawarah, yakni Puro Mangkunegaran, Bupati Karanganyar, dan PTPN IX.
“Karena PTPN IX tidak merasa tidak memiliki kewenangan apapun dan merasa hanya diperintah, maka Kementerian BUMN yang akan ikut dalam pembicaraan,” tegasnya. Pembicaraan itu diharapkan dapat mengerucut dan memberikan manfaat bagi ketiga pihak.
Dalam pembicaraan itu juga mengemuka agar Bupati Karanganyar Juliyatmono memfasilitasi perundingan. Hasil klarifikasi oleh Sesneg juga akan dilaporkan kepada Presiden Jokowi yang diharapkan diberikan jalan keluar. Dua opsi itu diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang memuaskan tergantung mana yang keluar terlebih dahulu.
Juru bicara Tim Pengembalian Aset Puro Mangkunegaran (PAM) Didik Wahyudiono melanjutkan, terjadi perbedaan yang sangat tajam antara perwakilan Puro Mangkunegaran dengan PTPN IX dari aspek legalitas aset. “Sertifikat itu baru lahir ketika zaman rezim Dahlan Iskan (mantan Menteri BUMN). Jadi baru saja,” urai Didik.
Perwakilan Puro Mangkunegaran dalam kesempatan itu juga sempat menanyakan kepada PTPN IX mengenai makna pemberian gula setiap bulan oleh PG Tasikmadu kepada Mangkunegaran. Pihak PTPN IX, kata Didik, jelas menjawab karena itu bekas milik Mangkunegaran.
“Tapi ketika mereka kami konfirmasi tentang PG Colomadu, mereka berlindung dibalik penjelasan palilah pada tahun 1946 yang dilakukan Mangkunegoro VIII kepada pemerintah,” ucapnya.
Padahal pada 1946 adalah terjadi revolusi sosial di Solo yang dipimpin Tan Malaka. Pada situasi politik seperti, posisi Puro Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta dalam posisi yang terjepit. Terlebih pada waktu itu juga muncul gerakan anti swapraja.“Sehingga palilah itu kami maknai dalam tanda petik di sana,” paparnya.
Sebab terbukti pada tahun 1949 ketika Belanda masuk, aset yang semula dikuasai pemerintah kembali dimiliki oleh Mangkunegaran.
Baru pada tahun 1952, aset itu ditarik kembali oleh pemerintah. Karena perbedaan pendapat yang tajam, akhirnya Bupati Karanganyar akhirnya diminta untuk memfasilitasi musyawarah lanjutan.
Pihaknya berharap Bupati Juliyatmono segera ditindaklanjuti. Hasil pembicaraan itu juga telah disampaikan kepada Sri Paduka Mangkunegoro IX.
“Dan beliau minta kepada Presiden agar pembangunan di bekas PG Colomadu dihentikan sampai masalah ini selesai dulu,” timpalnya.
Semestinya, Puro Mangkunegaran selaku pemilik aset diajak bermusyawarah terlebih dahulu. PG Colomadu sendiri dibangun di era Mangkunegoro IV pada tahun 1816. Luas tanah bekas PG Colomadu dan perumahan di depannya mencapai 13,5 hektare.
Saat ini, Puro Mangkunegaran juga tengah memetakan berbagai aset lainnya yang dikuasai pemerintah atau swasta.
(sms)