Saharjo, Pengusul Istilah Narapidana dan Pemasyarakatan

Jum'at, 02 Juni 2017 - 05:00 WIB
Saharjo, Pengusul Istilah Narapidana dan Pemasyarakatan
Saharjo, Pengusul Istilah Narapidana dan Pemasyarakatan
A A A
Saharjo dikenal kreatif dalam menciptakan berbagai hal yang hingga sekarang dipakai oleh pemerintah dan masyarakat. Di antaranya, penggunaan istilah narapidana dan pemasyarakatan.

Penggunaan istilah 'narapidana' untuk menyebut orang hukuman atau terhukum yang kita kenal sekarang ini dan pemasyarakatan untuk menyebut penjara, ternyata diusulkan oleh Sahardjo (ejaan baru: Saharjo).

Dikutip dari www.pahlawancenter.com, istilah 'narapidana' sebagai pengganti 'orang terhukum' adalah ciptaan Saharjo, sewaktu menjabat Menteri Kehakiman (1959 -1962).

Pemikiran Saharjo tentang orang terhukum yang diganti istilahnya menjadi 'narapidana' berdasarkan beberapa rumusan, antara lain tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia sudah bersalah. Tidak boleh diperlihatkan kepada narapidana, bahwa ia diperlakukan sebagai penjahat, tetapi hendaklah dia merasa diperlakukan sebagai manusia.

Selanjutnya, tiap orang adalah makhluk di dalam masyarakat, tak seorang pun yang dapat hidup di luar masyarakat. Karena itu, narapidana harus dapat kemungkinan maju di dalam masyarakat seperti warga negara biasa akhirnya dapat berguna atau sekurang-kurangnya ia tidak terbelakang dengan perkembangan masyarakat.

Lalu, narapidana hanya dijatuhi hukuman dengan kehilangan kemerdekaan bergeraknya. Maka, perlu diusahakan supaya narapidana selama terhukum tetap mempunyai penghasilan dan memperoleh pendidikan.

Selain itu, Saharjo juga mengganti istilah 'penjara' menjadi 'pemasyarakatan'.Istilah 'pemasyarakatan' pertama kali dipakai Saharjo pada 5 Juli 1963, saat membacakan pidato berjudul 'Pohon Beringin Pengayom Pancasila'.

Tak cuma istilah 'narapidana' dan 'pemasyarakatan', lambang Departemen Kehakiman adalah ciptaan Saharjo. Selain itu, lambang hukum (keadilan) semula berupa 'Dewi Keadilan'-Themis yang matanya ditutup tangannya yang satu memegang pedang dan tangan lainnya memegang timbangan dianggap Saharjo tidak sesuai dengan sifat ketimuran.

Karena itu, dia menciptakan lambang baru pohon beringin sebagai lambang pengayoman (perlindungan). Hal ini lebih menyentuh rasa perasaan daripada pikiran semata (intelektualitas). Lambang ciptaan Saharjo itu diterima oleh Seminar Hukum di tahun 1963.

Saharjo lahir 26 Juni 1909 di Solo, Jawa Tengah. Dia adalah putra sulung Raden Ngabei Sastroprayitno, seorang pegawai Keraton Surakarta yang lazim disebut abdi dalem.

Saharjo pernah bekerja pada Departemen van Justisi (Kehakiman) Pemerintah Hindia Belanda. Empat tahun kemudian, sewaktu Pemerintahan Balatentara Jepang, Saharjo menjadi wakil Kepala Kantor Kehakiman (Hooki Kyokoyu) yang dipimpin oleh Prof Mr Dr Supomo. Delapan bulan kemudian ia ditarik kembali pada Kantor Kehakiman Jakarta.

Sebagai seorang ahli, Saharjo mengembangkan bakat dan kepandaiannya, dan memperoleh kesempatan baik setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia dekat dengan Prof Mr Dr Supomo yang merupakan ketua 'Gabungan Ahli Hukum' dan mendapat tugas merencanakan organisasi departemen-departemen Pemerintah RI. Saharjo ditunjuk menjadi anggota 'Panitia Perencana' yang bertugas merencanakan pasal demi pasal Undang-Undang Dasar RI.

Saharjo ikut hijrah ke Yogyakarta bersama Pemerintah RI pada permulaan tahun 1946. Selama sepuluh tahun dia memegang jabatan Kepala Bagian Hukum dan Tata Negara dalam Kementerian Kehakiman.

Selama menjabat posisi itu, Saharjo banyak menghasilkan peraturan maupun undang-undang, antara lain Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1947 dan 1958, dan Undang-undang Pemilihan Umum pada tahun 1953.

Setelah Presiden mendekritkan 'Kembali ke UUD 1945', pada 1959 Saharjo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Kerja I. Ia pun tetap menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Kerja II dan III pada tahun 1962. Bahkan, dia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri bidang Dalam Negeri yang bertugas mengoordinir Departemen Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah.

Pada tanggal 6 November 1963 dalam kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman Kabinet Kerja III Saharjo mempersembahkan gelar 'Pengayoman' kepada Presiden Soekarno dan menyematkan pula lambang keadilan. Saat itu, kondisi kesehatan Saharjo tampak terganggu karena tekanan darah tinggi.

Tiba di rumah, dia pun berkata kepada istrinya. "Tugas saya kepada negara telah selesai." Seminggu kemudian, pada tanggal 13 November 1963, Saharjo meninggal dunia dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

Melalui SK Presiden RI No 245 tanggal 29 November 1963, Saharjo ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sumber: www.pahlawancenter.com
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3618 seconds (0.1#10.140)